A. Pengertian
Warna dan Kasta dalam Agama Hindu
Di dalam
kehidupan agama Hindu, kita sering mendengar adanya perbedaan status sosial
yang didasarkan atas system kasta. Sepintas lalu orang akan membenarkan
kenyataan itu. Menurut bahasa Sansekerta (bahasa yang dipakai dalam kitab suci
weda) kata “kasta” berasal dari kayu, jadi bukan berarti pembedaan golongan
atau status sosial berdasarkan keturunan seperti pengertian kata “caste” dalam
bahasa Portugis (caste=pemisah, tembok atau pembatas).
Istilah
kasta dalam Agama Hindu muncul karena adanya proses sosial yang mengaburkan
pengertian warna. Pengaburan istilah warna inilah yang menyebabkan lahirnya
tradisi kasta yang membagi tingkatan seseorang dalam masyarakat berdasarkan
status kelahiran dan status keluarganya. Istilah kasta juga sebenarnya tidak di
atur dalam weda. Kasta tidak pernah ada dalam tradisi Hindu melainkan kasta
dimulai sejak adanya kedatangan bangsa Arab dan Kristen di India. Istilah kasta
mulai dilekatkan dalam agama Hindu sejak adanya Max Muller. Dari sinilah juga
muncul istilah berdarah biru ataupun kaum bangsawan. Kasta di Bali dipengaruhi
oleh adanya kerajaan-kerajaan pada jaman dahulu.
Jadi,
kasta merupakan suatu tingkatan dalam masyarakat yang di dasarkan pada garis
keturunan dalam suatu keluarga.
Dalam
agama Hindu kita juga mengenal dengan adanya warna yaitu mengenai Catur Warna.
Catur Warna berasal dari bahasa Sansekerta dari akar kata Vr yang berarti pilihan. Catur warna berarti empat pilihan bagi
setiap orang terhadap profesi yang cocok untuk pribadinya masing-masing. System
kemasyaratan agama Hindu Catur Warna dalam sejarah perkembangannya mengalami
bintik-bintik hitam. Bintik-bintik hitam itu dapat meracuni tata kemasyarakatan
Hindu Catur Warna, tetapi asal usulnya bukanlah dimaksudkan demikian. Hal ini
merupakan persoalan yang harus dihadapi oleh masyarakat Hindu secara umum
sebagai suatu struktur dalam masyarakat. Dalam kehidupan individu, warna sangat
penting karena dapat merangsang hidup manusia untuk berbuat baik atau jahat.
Perilaku jahat sebagai akibat tidak langsung dapat ditimbulkan setiap saat.
Warna dalam catur warna memiliki manfaat yang sangat strategis dalam upaya meningkatkan
profesionalitas umat Hindu.
Disamping
itu, kata catur warna dalam ajaran agama Hindu berasal dari bahasa Sansekerta
dari kata Catur dan Warna. Catur berarti empat, dan warna berarti tutup,
penutup, warna, bagian luar, jenis, watak, bentuk, dan kasta. Catur warna
berarti empat pengelompokan masyarakat dalam tata kemasyarakatan agama Hindu
yang ditentukan berdasarkan profesinya. Pemahaman tentang catur warna dapat
dirumuskan berdasarkan Sastra Drstha.
Catur
warna membagi masyarakat hindu menjadi empat kelompok profesi secara pararel
horizontal. Warna ditentukan oleh guna dan karma. Guna adalah sifat, bakat, dan
pembawaan seseorang sedangkan karma adalah perbuatan atau pekerjaan seseorang.
Guna dan karma itulah yang menentukan warna seseorang. Alangkah bahagianya
seseorang yang dapat bekerja sesuai dengan sifat, bakat, dan pembawaan.
Mengenai rumusan warna dijelaskan dalam Bhagawadgita :
Caturvarnanyam maya srstam
Gunakarma vibhagasah
Tasya kartaram api mam
Viddy akartaram avyayam
Artinya :
Catur warna Aku diciptakan
menurut pembagian dari guna dan karma (sifat dan pekerjaan). Meskipun Aku
sebagai penciptanya, ketahuilah Aku mengatasi gerak dan perbuatan.
Demikianlah
masing-masing warna itu sebagai golongan karya mempunyai tugas dan kewajiban
yang berbeda menurut bakat dan sifat yang lahir dari mereka, tetapi bukan di
dasarkan atas genealogis secara turun-temurun.
B. Bagian-bagian
Warna dan Kasta dalam Agama Hindu
Untuk
menjadi manusia yang baik, manusia hendaknya selalu mengadakan kerja sama yang
harmonis dengan sesame makhluk cipataan-Nya. Manusia hendaknya selalu
merealisasikan ajaran Tat Twan Asi. Sang Hyang widhi bersifat Wiyapi-Wiyapaka
Nirwikara yang berarti meresap, mengatasi, berada di segala tempat.
Pengertian
warna menurut pembawaan dan fungsinya dibagi menjadi empat berdasarkan kewajiban.
Orang dapat mengabdi sebesar mungkin menurut pembawaannya. Pengelompokan
masyarakat menjadi empat kelas tidak hanya terdapat pada masyarakat hindu
tetapi bersifat universal. Setiap kelas ini mempunyai karakter tertentu. Ini
tidak selalu ditentukan oleh garis keturunan. Selama manusia melakukan
pekerjaan sesuai dengan alam kelahirannya, itu akan baik dan benar. Apabila
mereka hanya mengabdikan diri kepada Tuhan, pekerjaannya adalah menjadi alat
penyempurna dari jiwanya.
Catur
warna ini adalah suatu konsepsi kemasyarakatan Hindu yang tidak dapat
dilepaskan dari tujuan hidup Catur Purusaartha dan tahapan hidup Catur Asrama. Untuk
mendapatkan dharma, artha, kama, moksa secara bertahap dalam Catur Asrama
membutuhkan keterpaduan antara sifatdan bakat yang dibawa lahir dengan
pekerjaan yang didapatkannya didapatkannya sesuai dengan kehidupannya di bumi.
Demikian pula landasan etika yang wajib diwujudkan oleh setiap orang dalam
melaksanakan profesinya. Jadi, catur warna adalah suatu konsep hidup yang
benar-benar serius dan sacral karena diwahyukan oleh Tuhan sebagaimana
disebutkan dalam kitab Bhagawadgita IV.13
Tiap-tiap
bagian catur warna tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Brahmana Warna adalah individu atau golongan
masyarakat yang berkecimpung dalam
bidang kerohanian. Keberadaan golongan tidak berdasarkan atas keturunan,
melainkan karena ia mendapatkan kepercayaan dan memiliki kemampuan untuk
menjalankan tugas. Seseorang disebut brahmana karena ia memiliki kelebihan
dalam bidang kerohanian.
2.
Ksatrya Warna ialah individu atau golongan
masyarakat yang memiliki keahlian dalam memimpin bangsa dan Negara. Keberadaan
golongan ini tidak berdasarkan atas keturunan, melainkan karena menjalankan
tugas. Seseorang disebut Ksatriya karena ia memiliki kelebihan dalam bidang
kepemimpinan.
3.
Waisya Warna ialah individu atau golongan
masyarakat yang memiliki keahlian di bidang pertanian dan perdagangan.
Keberadaan golongan ini tidak berdasarkan keturunan, melainkan karena ia
mendapatkan kepercayaan dan memiliki kemampuan untuk menjalankan tugas-tugas
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Seseorang disebut waisya karena ia
memiliki kelebihan dalam bidang pertanian dan perdagangan.
4.
Sudra warna ialah individu atau golongan
masyarakat yang memiliki keahlian di bidang pelayanan atau membantu. Keberadaan
golongan ini tidak berdasarkan atas keturunan, melainkan karena ia memiliki
kemampuan tenaga yang kuat dan mendapatkan kepercayaan untuk menjalankan
tugas-tugasnya untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Seseorang disebut
sudra karena ia memiliki kelebihan dalam bidang pelayanan.
Berdasarkan uraian di atas dapat dinyatakan
bahwa Catur Warna adalah pengelompokan masyarakat berdasarkan guna dan bakat.
Penggolongan masyarakat ini didasarkan atas fungsional karena pembagian
golongan ini didasarkan atas tugas, kewajiban, dan fungsinya di dalam
masyarakat. Penggolongan ini tidak bersifat turun-temurun. Penggolongan ini
merupakan suatu kenyataan dan kebutuhan dalam masyarakat.
System warna tidak sama dengan kasta sebab
agama Hindu mengutamakan ajaran Tat Twam Asi dalam memupuk pergaulan dan kerja
sama dalam masyarakat. Jadi, semuanya berdasarkan sifat dan sikap saling
hormat-menghormati untuk meningkatkan sikap kemanusiaan yang agamis. Siapa saja
di antara umat kebanyakan dapat menjadi brahmana, ksatriya, waisya dan sudra
apabila kemauan dan kemampuan untuk itu. Tinggi rendahnya kedudukan seseorang
di dalam masyarakat tidak ditentukan oleh keturunannya, melainkan oleh
kemampuannya untuk menjalankan suatu tugas.
Adapun pembagian wangsa atau kasta sebagai berikut:
1)
Kasta brahmana merupakan kasta yang memiliki
kedudukan tertinggi, dalam generasi kasta brahmana ini biasanya akan selalu ada
yang menjalankan kependetaan. Orang yang memiliki nama depan Ida bagus ataupun
Ida Ayu merupakan cirri orang yang berkasta brahmana. Untuk sebutan tempat
tinggalnya adalah Griya.
2)
Kasta Ksatriya merupakan kasta yang memiliki
posisi yang paling penting dalam
pemerintahan dan bidang politik. Orang-orang yang berasal dari kasta ini adalah
orang-orang keturunan Raja. Beberapa desa di bali masih mempertahankan budaya
ini untuk tetap di laksanakan. Dimana pemimpinnya adalah masih tetap keturunan
raja tersebut. Contohnya di Puri Ubud. Nama yang digunakan adalah Anak Agung,
Dewa Agung, Tjokorda, I Gusti Agung, I Gusti Bagus.
3)
Kasta Sudra merupakan kasta yang mayoritas di
Bali, namun memiliki kedudukan sosial yang paling rendah dimana masyarakat
dalam kasta ini harus berbicara dengan sor singgih bahasa dengan orang yang
memiliki kasta yang lebih tinggi atau yang disebut dengan Tri Wangsa (Brahmana,
Ksatriya, Waisya yang dianggap Ksatriya). Dari segi nama kasta sudra
menggunakan nama Wayan, Made, Nyoman, Ketut.
Jika ditinjau secara psikologis bakat dan
sifat seseorang cenderung menurun karena manusia dibentuk sejak masa prenatal
dan besar dalam lingkungannya, sehingga anak cucu seseorang brahmana akan
cenderung menjadi brahmana, begitu pula pada keluarga ksatriya, waisya mapun
sudra. Dari sinilah kemudian timbul istilah brahmana wangsa dengan predikat
nama tertentu sebagai identitas keluarganya. Demikian pula bagi ksatriya
terdapat ksatriya wangsa, dan pada waisya terdapat waisya wangsa serta sudra
wangsa.
Brahmana wangsa lebih dihormati daripada
wangsa yang lainnya sebagai akibat dari sifat dan bakat yang melekat pada
dirinya, begitu pula terdapat ksatriya wangsa dan waisya wangsa secara
berturut-turut memperoleh status gradual.
Walaupun demikian perkembangannya, selama
peraturan dan kewajiban bagi masing-masing warna secara ketat dilaksanakan maka
pengertian warna itu masih menurut weda. Akan tetapi bila kewajibannya di
langgar, sementara mereka mempertahankan status warna itu secara genealogis
(wangsa) maka hal ini sangat keliru dan menyimpang dari ajaran weda.
Kitab Manu Smerti
I. 157 dan X. 65 menyebutkan:
“Yatha kastamayo hasti
Yatha carmamayo mrigah
Yasca wipro nadiyanas
Trayaste nama dharakah”
“Sudro brahmanatam eti
Brahmana caiwa sudratam
Ksatriya jatam ewantu
Widyad waisyat tatha i
waca”
Artinya :
Bagaikan gajah terbuat dari kayu
Bagaikan rusa terbuat dari kulit
Demikianlah seorang brahmana yang tidak terpelajar
Ketiga-tiganya hanya membawa nama saja
Seorang sudra menjadi brahmana
Brahmana menjadi sudra, ketahuilah
Bahwa sama halnya dengan keturunan ksatriya, waisya maupun
sudra
Sebagai bukti bahwa
seseorang dari keluarga sudra berubah menjadi brahmana atau dari ksatriya
menjadi brahmana karena bakat, sifat dan karmanya dapat kita jumpai nama-nama
para Rsi/Maharsi terkenal pada zaman dahulu, seperti antara lain:
1)
Resi Satya Kama Jabala disebutkan dalam
Chandogya Umpanisad, berasal dari anak seseorang buruh miskin
2)
Resi Kawasa dan Resi Aitareya adalah pengarang
kitab Brahmana dan Upanisa berasal dari ibu sudra
3)
Bhagawan Parasara ayah Maharesi Wyasa yang
terkenal sebagai penghimpun kitab suci Catur Weda, lahir dari keluarga candela
4)
Resi Wasistha sendiri berasal dari anak seorang
pelacur
5)
Resi Wiswamitra, Dewapi, Sindhudwipa berasal
dari keluarga ksatriya
C. Peranan dan Fungsi Catur
Warna
Dalam kitab Mahabarata, Rsi Bhisma telah
member penjelasan tentang sifat-sifat umum yang harus diikuti oleh setiap warna,
yang berarti juga untuk semua orang, yaitu :
1. Akredha
atau tidak pernah marah
2. Satyam
atau berbicara benar dan jujur
3. Sambibhaga
atau adil dan jujur
4. Memperoleh
anak dari hasil perkawinan
5. Berbudi
bahasa yang baik
6. Menghindari
semua macam pertengkaran
7. Srjawam
atau berpendirian teguh
8. Membantu
semua orang yang tergantung atas dirinya seorang.
Sarascamuscaya
sloka 63 juga menguraikan kewajiban-kewajiban umum yang berlaku untuk semua
warna. Kewajiban-kewajiban itu adalah sebagai berikut :
Arjavam canrcamsyam ca damaccen driyanigrahah, esasadharano
dharmascatur puarnyebravinmanuh. Nyang ulah pasadharanan sang catur varna,
arjawa, si duga-duga bener, anrsansya, tan nrsansya, nrcansya ngaraning
atmasukapara, tan arimbawa rilaraning len, yawat mamuhara sukha ryawaknya,
indriyanigraha, humrta indriya, nahan tang prawtti pat, pasadharanan sang catur
varna, ling bhatara manu.
Artinya :
Inilah perilaku keempat
golongan yang patut dilaksanakan, arjawa, jujur, dan terus terang. Anrcangsya,
artinya tidak nrcangsya. Nrcangsya maksudnya mementingka diri sendiri tidak
menghiraukan kesusahan orang lain, hanya mementingkan segala yang menimbulkan
kesenangan bagi dirinya. Itulah disebut nrcangsya, tingkah laku yang tidak
demikian anrcangsya; doma artinya dapat menasehati diri sendiri ;
indriyanigraha mengekang hawa nafsu, keempat prilaku itulah yang harus
dibiasakan oleh sang Catur Warna, demikian sabda Bhatara manu.
Jadi
kalau disingkat kembali, perilaku bagi sang Catur Warna ada empat, yaitu
anrncansya (tidak mementingkan diri sendiri), arjawa (jujur dan berterus
terang), dama (dapat menasehati diri sendiri), indriyanigraha (mengendalikan
hawa nafsu). Jadi, semua etika umum atau peraturan tingkah laku yang berlaku
bagi umat Hindu berarti berlaku pula bagi semua Catur Warna.
a.
Brahmana
Brahmana (brh artinya tumbuh), berfungsi untuk menumbuhkan
daya cipta rohani umat manusia untuk mencapai katentrama hidup lahir batin.
Brahmana juga berate Pendeta, yang merupakan pemimpin agama yang menuntun umat
Hindu mencapai ketenangan dan memimpin umat dalam melakukan upacara agamanya.
Oleh karena tugasnya itu seorang Brahmana wajib untuk mepelajari dan memelihara
Weda, dan tidak melakukan pekerjaan duniawi.
Penjelasan
tentang Brahmana ada pada Slokantara sloka I yang berbunyi “…..tidak ada
manusia yang melebihi Brahmana, Brahmana arti (tepatnya) ialah orang yang telah
menguasai segala ajaran-ajaran Brahmacari ……….. Brahmana ialah beliau yang
mempunyai kebijaksanaan yang lebih tinggi melebihi (pengetahuan) manusia
umumnya……”
Mahabharata
III. CLXXX, 21, 25 dan 26 menguraikan sifat-sifat dan tanda-tanda Brahmana dan
hal itu tidak turun menurun. Bunyinya “…….jujur, dermawan, suka mengampuni,
bersifat baik, sopan, suka melakukan pantangan agama dan pemurah dialah yang
hendaknya dipandang Brahmana…..”. “……bila sifat-sifat ini ada pada Sudra dan
tidak ada pada Brahmana, Sudra itu bukan Sudra dan Brahmana itu bukan
Brahmana”. “Pada siapa tanda ini terdapat, hai ular, dialah yang harus
dipandang Brahmana, pada siapa tanda ini tidak terdapat, hai ular, dia harus
dipandang sebagai Sudra”.
Dharmasastra, X, 65 menjelaskan sifat Warna Brahmana itu
tidak ditinjau dari keturunan. Sloka tersebut berbunyi “seorang Sudra menjadi
Brahmana dan Brahmana menjadi Sudra (Karena sifat dan kewajiban), ketahuilah
sama halnya dengan kelahiran Ksatria dan Waisya”.
b. Ksatria
Ksatria dalam bahasa Sansekerta artinya suatu susunan
pemerintahan, atau juga berarti pemerintah, prajurit, daerah, keunggulan,
kekuasaan dan kekuatan.
Sifat-sifat
Ksatria , Bhagavadgita XVIII, 43, menguraikan sebagai berikut “Berani, pekasa,
teguh iman , cekatan dan tak mundur dalam peperangan, dermawan dan berbakat
memimpin adalah karma (kewajiban) Ksatria”.
Manawa
Dharmasastra I, 89, menguraikan tentang kewajiban Ksatria. Bunyinya “ Para
Ksatria diperintahkan untuk melindungi rakyat, memberikan hadiah-hadiah,
melakukan upacara kurban, mempelajari Weda dan mengekang diri dari
ikatan-ikatan pemuas nafsu”. Dalam lontar Brahmokya Widhisastra lembaran 6a,
menyebutkan larangan dan sanksi-sanksi Warna Ksatria, bunyinya “…. Apabila ada
Ksatria berbuat tidak benar………. Diluar sifat Ksatria…… mereka akan menjadi
Sudra……”
c. Waisya
Waisya (vic) dalam bahasa Sansekerta berarti bermukim diatas
tanah tertentu. Dari kata tersebut, kemudian berkembang artinya menjadi
golongan pekerja atau seseorang yang mengusahakan pertaniaan.
Dalam
Bhagavadgita XVIII, 44, menguraikan kewajiban Waisya, bunyinya “…Bercocok
tanam, berternak sapi dan berdagang adalah karma (kewajiban) Waisya menurut
bakatnya….”.
Manawa
Dharmasastra I, 90, disebutkan pula “Para waisya ditugaskan untuk memelihara
ternak, memberikan hadiah, melakukan upacara korban, mempelajari Weda,
meminjamkan uang dan bertani”. Jadi
singkatnya fungsi waisya adalah dalam bidang ekonomi.
d. Sudra
Sudra artinya pengabdi yang utama. Peranan dan fungsi Warna
Sudra diuraikan pada Sarasamuccaya, 60,
“…….prilahu
Sudra, setia mengabdi kepada Brahmana, Ksatria dan Waisya sebagaimana mestinya,
apabila puaslah ketiga golongan yang dilayani olehnya, maka terhapuslah dosanya
dan berhasil segalanya”.
Bhagavadgita
disebutkan bahwa
“…meladeni
(menjual tenaga) adalah kewajiban Sudra menurut bakatnya”.
Warna Sudra bukanlah berarti paling buruk dan jelek.
Warna Sudra bukanlah berarti paling buruk dan jelek.
Bhagavata
Purana, VII, XI, 24, menunjukan cirri-ciri Warna Sudra sebagai mahkluk Tuhan
yang utama. Bunyinya “… kerendahan hati, kesucian, bhakti kepada atasan dengan
tulus, ikhlas beryadnya tanpa mantra, tidak mempunyai kecenderungan untuk
mencuri, jujur dan menjaga sapi sang Vipra (brahmana) inilah cirri-ciri yang
dimiliki oleh Sudra”.
Keempat Warna itu akan dapat saling isi mengisi antara satu
dengan yang lainnya. Pengelompokan masyarakat ke dalam empat warna itu akan
menumbuhkan hubungan social yang saling membutuhkan. Keretakan diantara profesi
itu akan dapat merugikan semua pihak.
D. Penyimpangan Pengertian
Warna dan Kasta dalam Agama Hindu
Dalam ajaran agama Hindu,
status seseorang didapat sesuai dengan pekerjaannya. Dalam konsep tersebut
diuraikan bahwa meskipun seseorang lahir dalam keluarga Sudra (budak) ataupun
Waisya (pedagang), apabila ia menekuni bidang kerohanian sehingga menjadi
pendeta, maka ia berhak menyandang status Brahmana (rohaniwan). Jadi, status
seseorang tidak didapat semenjak dia lahir melainkan didapat setelah ia
menekuni suatu profesi atau ahli dalam suatu bidang tertentu.
Dalam tradisi Hindu, jika seseorang ahli dalam bidang
kerohanian maka ia menyandang status Brāhmana. Jika seseorang ahli atau
menekuni bidang administrasi pemerintahan ataupun menyandang gelar sebagai
pegawai atau prajurit negara, maka ia menyandang status Ksatriya. Apabila
seseorang ahli dalam perdagangan, pertanian, serta profesi lainnya yang
berhubungan dengan niaga, uang dan harta benda, maka ia menyandang status
Waisya. Apabila seseorang menekuni profesi sebagai pembantu dari ketiga status tersebut
(Brahmana, Ksatriya, Waisya), maka ia menyandang gelar sebagai Sudra.
Dalam filsafat Hindu, tanpa adanya golongan Sudra, maka
kewajiban ketiga kasta tidak dapat terwujud. Jadi dengan adanya golongan Sudra,
maka ketiga kasta dapat melaksanakan kewajibannya secara seimbang dan saling
memberikan kontribusi.
Sistem kerja Catur Warna menekankan pada seseorang agar
melaksanakan kewajibannya dengan sebaik-baiknya. Golongan Brahmana diwajibkan
untuk memberi pengetahuan rohani kepada golongan Ksatriya, Waisya, dan Sudra.
Golongan Ksatriya diwajibkan agar melindungi golongan Brahmana, Waisya, dan
Sudra. Golongan Waisya diwajibkan untuk memenuhi kebutuhan material golongan
Brahmana, Ksatriya, dan Sudra. Sedangkan golongan Sudra diwajibkan untuk
membantu golongan Brahmana, Ksatriya, dan Waisya agar kewajiban mereka dapat
dipenuhi dengan lebih baik.
Keempat golongan tersebut (Brahmana, Ksatriya, Waisya, Sudra)
saling membantu dan saling memenuhi jika mereka mampu melaksanakan kewajibannya
dengan baik. Dalam sistem Catur Warna, ketentuan mengenai hak tidak diuraikan
karena hak diperoleh secara otomatis. Hak tidak akan dapat diperoleh apabila
keempat golongan tidak dapat bekerja sama. Keempat golongan sangat dianjurkan
untuk saling membantu agar mereka dapat memperoleh hak. Dalam sistem Catur Warna
terjadi suatu siklus "memberi dan diberi" jika keempat golongan
saling memenuhi kewajibannya.
Karena status seseorang tidak didapat semenjak lahir, maka
statusnya dapat diubah. Hal tersebut terjadi jika seseorang tidak dapat
melaksanakan kewajiban sebagaimana status yang disandangnya. Seseorang yang
lahir dalam keluarga Brāhmana dapat menjadi seorang Sudra jika orang tersebut
tidak memiliki wawasan rohani yang luas, dan juga tidak layak sebagai seorang
pendeta. Begitu pula seseorang yang lahir dalam golongan Sudra dapat menjadi
seorang Brāhmana karena memiliki pengetahuan luas di bidang kerohanian dan
layak untuk menjadi seorang pendeta.
Penyimpangan
Banyak orang yang menganggap Catur Warna sama dengan Kasta
yang memberikan seseorang sebuah status dalam masyarakat semenjak ia lahir.
Namun dalam kenyataannya, status dalam sistem Warna didapat setelah seseorang
menekuni suatu bidang/profesi tertentu. Sistem Warna juga dianggap
membeda-bedakan kedudukan seseorang.
Namun dalam ajarannya, sistem Warna menginginkan agar seseorang melaksanakan
kewajiban sebaik- baiknya.
Kadangkala seseorang lahir dalam keluarga yang memiliki
status sosial yang tinggi dan membuat anaknya lebih bangga dengan status sosial
daripada pelaksanaan kewajibannya.
Sistem Warna mengajarkan seseorang agar tidak membanggakan
ataupun memikirkan status sosialnya, melainkan diharapkan mereka melakukan
kewajiban sesuai dengan status yang disandang karena status tersebut tidak
didapat sejak lahir, melainkan berdasarkan keahlian mereka. Jadi, mereka
dituntut untuk lebih bertanggung jawab dengan status yang disandang daripada
membanggakannya.
Di Indonesia (khususnya di Bali) sendiri pun terjadi
kesalahpahaman terhadap sistem Catur Warna. Catur Warna harus secara tegas dipisahkan
dari pengertian kasta. Pandangan tersebut dikemukakan oleh Drs. I Gusti Agung
Gde Putera, waktu itu Dekan Fakultas Agama dan Kebudayaan Institut Hindu Dharma
Denpasar pada rapat Desa Adat se-kabupaten Badung tahun 1974. Gde Putera yang
kini Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama mengemukakan :
“ Kasta-kasta dengan segala macam titel-nya yang kita jumpai
sekarang di Bali adalah suatu anugerah kehormatan yang diberikan oleh Dalem
(Penguasa daerah Bali), oleh karena jasa-jasa dan kedudukannya dalam bidang
pemerintahan atau negara maupun di masyarakat. Dan hal ini diwarisi secara
turun temurun oleh anak cucunya yang dianggap sebagai hak, walaupun ia tidak
lagi memegang jabatan itu. Marilah jangan dicampur-adukkan soal titel ini
dengan agama, karena titel ini adalah persoalan masyarakat, persoalan jasa,
persoalan jabatan yang dianugerahkan oleh raja pada zaman dahulu. Dalam agama,
bukan kasta yang dikenal, melainkan "warna" dimana ada empat warna
atau Caturwarna yang membagi manusia atas tugas-tugas (fungsi) yang sesuai
dengan bakatnya. Pembagian empat warna ini ada sepanjang zaman. ”
Menurut I Gusti Agung Gede Putera, kebanggaan terhadap sebuah
gelar walaupun jabatan tersebut sudah
tidak dipegang lagi merupakan kesalahpahaman masyarakat Bali turun-temurun.
Menurutnya, agama Hindu tidak pernah mengajarkan sistem kasta melainkan yang
dipakai adalah sistem Warna.
Pernikahan dalam Kasta
Dalam urusan pernikahan, kasta sangat sering menimbulkan
pro dan kontra bahkan kadang menjadi masalah atau batu sandungan. Sama seperti
pernikahan beda agama, di Bali pernikahan beda kasta juga biasanya dihindari.
Walaupun jaman sudah semakin terbuka, tapi pernikahan beda kasta yang
bermasalah kadang masih terjadi.
Di Bali umumnya pernikahan bersifat patrilineal. Jadi seorang perempuan setelah menikah dan menjadi istri
akan bergabung dengan keluarga suaminya. Nah, dalam pernikahan beda kasta,
seorang perempuan dari kasta yang lebih rendah sudah biasa dijadikan istri oleh
lelaki dari kasta yang lebih tinggi.
Pernikahan
beda kasta ini-lah yang sudah sering terjadi di Bali. Pernikahan semacam ini
biasanya memberikan kebanggan tersendiri bagi keluarga perempuan, karena putri
mereka berhasil mendapatkan pria dari kasta yang lebih tinggi. Dan secara
otomatis kasta sang istri juga akan naik mengikuti kasta suami. Tetapi, sang
istri harus siap mendapatkan perlakuan yang tidak sejajar oleh keluarga suami.
Saat upacara pernikahan, biasanya banten untuk mempelai wanita
diletakan terpisah, atau dibawah. Bahkan dibeberapa daerah, sang istri harus
rela melayani para ipar dan keluarga suami yang memiliki kasta lebih tinggi.
Walaupun jaman sekarang hal tersebut sudah jarang dilakukan, tapi masih ada
beberapa orang yang masih kental kasta-nya menegakan prinsip tersebut demi
menjaga kedudukan kasta-nya.
Dan
jika seorang wanita berkasta tinggi menikah dengan seorang pria berkasta
rendah. Ini istilahnya “nyerod” atau turun
kasta. Pernikahan seperti sangat dihindari dan kalaupun terjadi biasanya dengan
sistem “ngemaling” yaitu menikah dengan sembunyi-sembunyi. Karena pernikahan
“nyerod” seperti ini biasanya tidak akan diijinkan oleh keluarga besar pihak
perempuan.
Pernikahan
beda kasta seperti ini sangat dihindari oleh penduduk Bali. Karena pihak
perempuan biasanya tidak akan mengijinkan putri mereka menikah dengan lelaki
yang memiliki kasta lebih rendah. Maka dari itu, biasanya pernikahan ini
terjadi secara sembunyi-sembunyi atau biasa disebut sebagai
"ngemaling" atau kawin lari sebagai alternatifnya. Kemudian, perempuan yang
menikahi laki-laki yang berkasta lebih rendah akan mengalami turun kasta
mengikuti kasta suaminya, yang disebut ssebagai "nyerod". Menurut
kabar, sebagian besar penduduk bali lebih menyukai dan lebih dapat menerima
laki-laki yang bukan orang Bali sebagai menantu, dari pada menikah dengan
laki-laki berkasta lebih rendah, dan mengalami penurunan kasta.
Oleh :
Ayu Mita Adnyani
Kadek Ari Setiawati
Ni Putu Ida Handayani
Ni Putu Dessy Wiranti
1 comments:
MANTAP, TetaPI BeLuM LENGKAP SESUAI HATI SAYA.
MAAF JIKA SAYA mengkritik karya tulis anda.
Posting Komentar