RSS

CUNTAKA

A. Pengertian Cuntaka
Istilah cuntaka mengandung suatu pengertian mengenai suatu keadaan tidak suci menurut pandangan agama Hindu. Kata cuntaka berasal dari bahasa Jawa Kuno (bahasa Kawi) yang artinya suatu keadaan tidak suci akibat dari suatu kematian. Berdasarkan atas pengertian tersebut, berarti setiap kematian akan dapat menyebabkan keadaan cuntaka. Kematian yang dimaksud dalam pengertian ini adalah akibat kematian manusia. Sedangkan kematian bagi makhluk lain tidaklah menyebabkan cuntaka.
Di dalam lontar Çiwa Çasana ada disebutkan istilah “cuntaka janma” yang berarti orang hina dalam kehidupannya. Orang yang dipandang cuntaka janma di dalam lontar Çiwa Çasana adalah orang yang dijadikan korban, orang yang diserahkan pada waktu upacara Sawa Wedhana atau dalam upacara Asti. Dari sumber ini membawa pengertian bahwa cuntaka mengandung pengertian yang cukup luas meliputi keadaan yang abstrak dan relatif, karena masalah hina dan jelek serta kotor (cemer) adalah masalah nilai yang tidak sama pada masing – masing orang.
Penerapannya dalam kehidupan sosial masyarakat khususnya di Bali, kata cuntaka disamakan dengan kata “sebel”. Sebel (dalam bahasa Bali) berarti  berhalangan karena kematian, haid, halangan keluarga, dan lain sebagainya.
Menurut pengertian kamus Kawi-Indonesia istilah cuntaka berarti cemer (letuh). Berdasarkan keputusan pesamuhan agung PHDP Nomor 015/Tap/PA.PHDP/1984 dipergunakan istilah cuntaka untuk menyatakan suatu keadaan kotor (tidak suci) baik akibat dari kematian maupun hal – hal lain yang dipandang kotor. Dalam hal ini istilah cuntaka dan sebel diartikan sama sebagai istilah untuk menyatakan suatu keadaan yang kotor secara spiritual baik karena kematian maupun hal – hal lain yang dipandang kotor oleh segi adat agama. Di kalangan umat Hindu istilah cuntaka belum merata dikenal orang, yang populer dipakai/dikenal di masyarakat adalah istilah sebel.
Dari pengertian tersebut maka cuntaka dapat digolongkan menjadi 2 macam :
1.      Cuntaka karena diri sendiri adalah orang yang dalam keadaan kotor (cemer), sehingga tidak boleh melakukan suatu upacara Agama dan memasuki tempat suci.
2.      Cuntaka yang disebabkan oleh orang lain adalah orang yang dalam hubungan duka karena kematian, sehingga tidak boleh melakukan upacara keagamaan dan memasuki tempat suci kecuali kegiatan yang ada hubungannya dengan upacara kematian tersebut.
Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa cuntaka hanya disebabkan oleh keadaan manusia sendiri dan menurut pandangan manusia sehingga ia disebut mengalami suatu kecuntakaan.
Tentang istilah kata “letuh” beberapa sumber lontar tidak ada yang memberikan pengertian yang difinitif. Menurut pandangan masyarakat, letuh adalah suatu keadaan kotor dalam pandangan agama Hindu. Sesuatu yang dipandang letuh dihindari untuk dipakai di tempat – tempat suci. Dalam uraian ini dapat dikemukakan sebagai contoh letuh :
1.      Seperti binatang peliharaan sapi, kerbau, kambing, babi, dan lain – lain tidak dibenarkan untuk memasuki tempat suci kecuali pada waktu upacara, khusus dipergunakan untuk kepentingan upacara.
2.      Tumbuh – tumbuhan dipandang letuh dan tidak bisa dipergunakan untuk kepentingan kahyangan seperti tumbuh – tumbuhan yang hidup di kuburan, pohon – pohon yang disambar petir, itu semuanya dipandang letuh.
3.      Bunga – bungaan  yang dipandang letuh tak bisa dipergunakan untuk kepentingan agama seperti bunga gemitir yang kemerah – merahan.
4.      Manusia yang mengalami masa cuntaka dipandang letuh sehingga tidak diperbolehkan untuk mengikuti upacara keagamaan, kecuali untuk kepentingan manusia itu sendiri.
Jadi keputusan Parisada Hindu Dharma Pusat istilah cuntaka dan sebel dinyatakan sama dan dipakai untuk menyatakan suatu keadaan yang letuh secara kerohaniaan yang diakibatkan oleh kematian maupun hal – hal lain yang dipandang kotor (cemer) dari adat agama.


B. Sebab – Sebab Cuntaka
Mengingat apapun yang terjadi di dunia ini adalah karena hubungan sebab akibat. Hukum sebab akibat inilah yang mempengaruhi kehidupan di alam ini. Atas kenyataan ini cuntaka pasti ada penyebabnya. Secara keseluruhan penyebab cuntaka dalam kehidupan spiritual masyarakat Hindu dapat dibedakan menjadi dua macam :
a.       Cuntaka yang disebabkan oleh orang lain yaitu karena akibat kematian. Disamping itu berlangsungnya upacara atiwa – tiwa juga mengakibatkan cuntaka bagi orang lain yang ikut terlibat dalam upacara tersebut baik keluarga dekat maupun warga masyarakat yang membantu pelaksanaan upacara. Juga meninggalnya seorang guru kerohanian (Pendeta Nabe) akan dapat menyebabkan cuntaka bagi sisya – sisyanya (Pendeta Sisya).
b.      Cuntaka yang disebabkan oleh diri sendiri, antara lain sebagai berikut :
1.    Akibat keguguran kandungan dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu :
-        Keguguran kandungan pada umur kandungan di bawah 6 bulan termasuk dalam cuntaka karena haid.
-        Keguguran kandungan di atas umur enam bulan dianggap sudah berupa bayi, maka berlaku cuntaka penuh yaitu kematian bayi sebelum kepus puser.
2.    Akibat dari menstruasi/datang bulan yang umum terjadi pada wanita normal. Saat – saat keluarnya darah haid pada wanita dipandang kurang harmonis. Setiap wanita mengalami cuntaka karena haid ± 1 bulan sekali, waktunya berbeda pada setiap orang yang mengalaminya.
3.    Cuntaka akibat berlangsungnya upacara perkawinan/pernikahan yang dialami oleh kedua mempelai sebelum dibersihkan dengan upacara penyucian.
4.    Akibat mitra ngalang yaitu :
-        Hubungan seks di luar perkawinan/pernikahan.
-        Agamya gamana adalah hubungan seks antara anak dengan orang tua, atau termasuk juga hubungan seks antara saudara kandung.
5.    Akibat salah timpal yaitu manusia melakukan hubungan seks dengan binatang. Perbuatan manusia seperti itu adalah merupakan ketidakseimbangan alam, sehingga menyebabkan cuntaka bagi desa adat yang bersangkutan.
6.    Cuntaka akibat melahirkan/bersalin yang dialami oleh ayah dan ibunya serta anak yang dilahirkan. Kejadian seperti melahirkan menyebabkan ketidakharmonisan akibat dari keluarnya darah dan ari – ari.
7.    Terjadinya kehamilan di luar perkawinan/pernikahan dan juga melahirkan tanpa didahului dengan upacara perkawinan/pernikahan, akan membuat ketidakharmonisan keluarga bersangkutan dan juga membuat resah keadaan masyarakat sekitarnya. Kejadian yang demikian dipandang suatu perbuatan di luar dari kebiasaan hidup manusiawi.
8.    Orang yang pernah melakukan sad atetayi yaitu enam macam pembunuhan kejam antara lain :
-        Agnida    membakar milik orang lain.
-        Wisada       meracuni orang lain.
-        Atharwa     melakukan ilmu hitam untuk membunuh orang lain.
-        Sastraghna   mengamuk sehingga menyebabkan kematian orang lain.
-        Dratikrama  memperkosa sehingga membuat orang lain kehilangan    kehormatan.
-        Rajapisuna  suka memfitnah sampai mengakibatkan kematian orang.
Orang yang pernah melakukan sad atetayi merupakan orang yang telah kehilangan kepercayaan pada masyarakat.
9.    Penderita sakit kelainan juga dapat menyebabkan ketidakseimbangan kehidupan kemasyarakatan, karena khawatir akan akibat yang ditimbulkan oleh sakit yang dideritanya.
Dari semua penyebab cuntaka yang disebutkan di atas, ada pula cuntaka yang disebutkan oleh diri sendiri yang disebut dengan manusia “cilaka”. Manusia cilaka adalah wanita yang tak pernah mengalami haid, dilihat dari umurnya sudah seharusnya mengalami haid, manusia yang demikian dipandang letuh. Di dalam lontar Krama Pura ada disebutkan demikian :
Manih kawuningan ana mewasta cilaka nga, janma luh tan wenten/nahen mangrajaswala, nga, camah, sampun patuting yusania mangrajaswala, tur sampun kawusadan, neher ya tan dados mangrajaswala, punika sane mewasta letuh, tan wenten ipun kengin ke pura – pura, twin salwir pekaryan ipun tan kengin aturang ke Widhi, lwir ipun, mekarya canang, bebanten punapi lwire ne katur kedewa, mwang katur ring meraga suci putus, apan dahat kecuntakaning janma ika, nga.
Artinya :
Disebutkan lagi ada yang bernama cilaka yaitu manusia yang tak pernah mengalami haid, padahal dilihat dari segi umurnya sebenarnya sudah mengalami masa haid, dan sudah mendapat pengobatan namun tidak juga mengalami haid itu disebut letuh, orang demikian tidak dibenarkan ke pura, juga segala pekerjaannya tidak dibenarkan untuk dihaturkan kepada Ida Sang Hyang Widhi, seperti membuat canang serta banten apa saja yang akan dihaturkan kepada dewa dan juga yang akan dihaturkan kepada dewa dan juga yang akan dihaturkan kehadapan pendeta, sebab orang yang demikian dipandang sangat cuntaka.

C. Ruang Lingkup Cuntaka
Ruang lingkup cuntaka adalah penunjukan lingkungan pengaruh cuntaka baik berupa pekarangan, benda, binatang dan manusia yang ada di sekitar areal peristiwa cuntaka. Demikian pula karena penyebab cuntaka itu banyak macamnya, maka ruang lingkup cuntaka akan berbeda satu sama lain. Begitu pula perlu dimaklumi, bahwa dari macam cuntaka yang sama akan terdapat perbedaan dalam pelaksanaannya di antara desa – desa adat di Bali. Berikut penjelasan yang menyangkut tentang ruang lingkup cuntaka.
a.       Sumber yang berupa lontar
Dalam lontar Cuntaka Graha Mantra, penjelasannya sama dengan uraian di dalam lontar Catur Cuntaka mengenai ruang lingkup cuntaka yaitu: apabila cuntaka akibat dari kematian salah satu keluarga dalam tunggal persembahyangan, maka seluruh keluarga penyungsung pura tersebut kena cuntaka. Di dalam lontar Catur Cuntaka menyebutkan, apabila seorang pendeta brahmana meninggal atau seorang Nabe kerohanian meninggal, maka pendeta sisyanya termasuk seluruh sisyanya cuntaka juga.
Selain itu ada juga mengenai alat – alat upacara yang juga terkena imbas cuntaka, seperti disebutkan dalam lontar Catur Cuntaka sebagai berikut :
Mwah yan kewanten wadah layon, sawa, wangke, asti, tulang, awu, tumpang salu, bandusa, tekaning anggawa anggon – anggon prateka upakara, sane sekala raket ring layon, sawa, wangke, lwirniya, kajang, rurub, ukur, kwangi pengerekan, angenan, pancarengga, rantasan, damar kurung, benang penuntun sawa, tetukon, panjang, geganjaran, cegceg yeka pateh makasih pada kehanan cuntaka, nanging sadina purna, maka sadanan adyus, akajamas dulurana thirta.
Artinya :
Dan bila ada wadah layon, sawa, wangke, asti, tulang, arang, abu, tumpeng salu, bandusa, sampai pada segala perlengkapannya daripada alat – alat upacara atiwa – tiwa yang jelas termasuk perlengkapan serta melekat pada jenasah, seperti : kajang, rurub, kwangi pengerekaan, angenan, pancarengga, rantasan, damar kurung, benang penuntun sawa, cegceg, tetukon, panjang, geganjaran, itu sama – sama cuntaka, namun sehari saja hilang letehnya, dengan sarana adyus, akajamas serta dilengkapi dengan tirtha.
Jadi dapat dianalisa bahwa alat – alat sisa upacara, alat – alat bekas upacara yang dipakai tempat banten dapat disucikan kembali setelah sehari lamanya dengan sarana upacara seperti kutipan di atas.
b.      Sumber yang berupa kitab
Dalam sumber yang beripa kitab dijelaskan secara mendetail tentang ruang lingkup cuntaka. Kitab yang memuat tentang hal ini terdapat dalam kitab Manawa Dharmasastra. Di dalam kitab ini dijelaskan bahwa cuntaka karena kematian dapat menyebabkan keluarganya kena cuntaka.
Atas dasar sumber tersebut dan adanya kebijaksanaan di tiap – tiap desa adat yang berbeda antara desa yang satu dengan yang lainnya, maka Parisada Hindu Dharma Pusat telah menetapkan garis – garis atau pedoman untuk mewujudkan keseragaman gerak langkah masyarakat dalam penetapan ruang lingkup cuntaka. Pedoman tersebut diatur dalam himpunan keputusan seminar kesatuan tafsir terhadap aspek – aspek agama Hindu I – XI, adapun keputusan tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Cuntaka yang disebabkan karena haid (datang bulan) keadaan cuntaka meliputi diri pribadi yang bersangkutan, pakaian, dan kamar tidurnya.
2.      Cuntaka karena bersalin (melahirkan) ruang lingkup cuntaka meliputi ibu bersangkutan dan suaminya beserta rumah yang ditempatinya.
3.      Cuntaka karena keguguran kandungan meliputi diri pribadi dan suami beserta rumah yang ditempatinya.
4.      Cuntaka karena sakit kelainan, ruang lingkupnya meliputi diri pribadi dan pakaiannya.
5.      Cuntaka akibat perkawinan adalah meliputi diri pribadi dan kamar tidur yang ditempatinya.
6.      Cuntaka karena agamya gamana ruang lingkup cuntaka meliputi diri pribadi yang bersangkutan dan juga dapat menyebabkan cuntaka desa adat yang bersangkutan.
7.      Cuntaka karena salah timpal pengaruh ruang lingkup cuntakanya meliputi diri pribadi yang bersangkutan beserta dengan desa adat di wilayah kejadian tersebut.
8.      Cuntaka karena wanita hamil tanpa mendapatkan upacara beakawon keletehannya meliputi diri pribadi yang bersangkutan beserta kamar tidurnya.
9.      Cuntaka karena mitra ngalang cuntakanya meliputi diri pribadi dan kamar tidurnya.
10.  Cuntaka karena orang yang lahir dari kehamilan tanpa melalui upacara beakawon, cuntakanya meliputi diri pribadi yang melahirkan, anak yang dilahirkan serta rumah yang ditempatinya.
11.  Cuntaka karena orang melakukan perbuatan sad atetayi, cuntakanya hanya meliputi diri pribadi yang melakukannya.
12.  Cuntaka akibat dari kematian cuntakanya meliputi keluarga terdekat, sampai dengan mindon, serta orang – orang yang ikut mengantar jenazah, demikian pula alat – alat yang dipergunakannya dalam keperluan tersebut.
Demikianlah ruang lingkup dari cuntaka secara teoritis berdasarkan atas petunjuk sastra kerohanian.

D. Lama Masa Cuntaka
Mengenai lama masa cuntaka yang dialami dari masing – masing penyebab cuntaka sudah tentu berbeda-beda satu sama lainnya. Demikian pula cuntaka karena kematian antara keluarga dekat dengan keluarga jauh dan juga warga masyarakat yang membantu pelaksanaan upacara berbeda pula lama masa cuntaka yang dialaminya. Lamanya masa cuntaka sangat ditentukan oleh kadar berat ringannya pengaruh cuntaka terhadap kesucian. Akan tetapi untuk dapat melaksanakan pengajaran agama dengan selaras, seimbang, tertib, aman serta mewujudkan gerak langkah yang sama antar umat maka cuntaka sangat perlu sekali diberi batasan waktu, sehingga bagi orang mengalami cuntaka sudah ada pedoman dasar serta pandangan yang jelas dalam dirinya.
Lama masa cuntaka yang dialami oleh empat golongan manusia (catur wangsa) dinyatakan dalam lontar cuntaka sebagai berikut  :
Brahmana dasa ratrena dwadasa ratrya bhumijah, waisya panca dasa
ratriyam, sudra sena suddhyate.
Artinya :
Seorang Brahmana akan suci kembali setelah sepuluh hari, seorang  kesatriya setelah 12 hari, wesya setelah 15 hari dan sudra akan suci kembali setelah satu bulan.
Kutipan tersebut mengaitkan cuntaka akibat kematian dengan kehidupan manusia tergolong catur wangsa. Perbedaan masa cuntaka yang dihubungkan dengan catur wangsa inilah dikenal dengan istilah Catur Cuntaka.
Mengingat adanya kemajuan ilmu pengetahuan yang dialami dalam perkembangan masyarakat, agar tidak menimbulkan hal-hal yang bersifat negatif dalam mengamalkan ajaran agama, maka Usaha Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat menetapkan masa cuntaka bagi seluruh umat Hindu dengan perincian sebagai berikut:
1.      Cuntaka akibat kematian masa cuntakanya disesuaikan dengan desa kala patra (loka detra) dan sastra destra. Pengambilan jangka waktu cuntaka terhitung dari setelah pembakaran/penguburan, sedangkan mulainya cuntaka adalah sejak terlibatnya dalam upacara atiwa-tiwa atau sejak memohon dewasa upacara.
2.      Cuntaka karena haid mengalami masa cuntaka selama mengeluarkan darah sampai dengan berhenti mengalir darah haidnya dan membersihkan diri dengan mandi dan cuci rambut.
3.      Wanita bersalin atau melahirkan mengalami masa cuntaka selama kurang-kurangnya 42 hari dan berakhir setelah mendapat tirtha pebersihan, sedangkan suaminya sekurang-kurangnya sampai kepus puser bayinya.
4.      Wanita keguguran kandungan sekurang-kurangnya 42 hari dan berakhir setelah mendapat tirtha pebersihan.
5.      Cuntaka akibat berlangsungnya suatu upacara perkawinan mengalami masa cuntaka sampai dengan mendapatkan tirtha beakawonan.
6.      Cuntaka akibat perbuatan agamya gamana cuntaka yang dialaminya selama sampai diceraikan, diadakan upacara pebersihan bhuwana  agung dan bhuwana alit atau desa adat / kahyangan dan manusia /diri sendiri yang bersangkutan.
7.      Cuntaka karena perbuatan salah timpal yakni bersetubuh dengan binatang, adapun lama masa cuntaka yang dialaminya sampai dengan diupacarai sesuai dengan adat agama Hindu.
8.      Cuntaka akibat wanita hamil tanpa upacara beakawon mengalami masa cuntaka sampai mendapatkan upacara beakawon.
9.      Cuntaka karena mitra ngalang sampai dengan mendapat upacara beakawon.
10.  Orang lahir dari kehamilan tanpa upacara perkawinan lama masa cuntaka yang dialaminya adalah sampai adanya pemerasan terhadap anak tersebut, atau disahkan sebagai anak sesuai dengan adat agama Hindu.
11.  Cuntaka akibat dari orang yang melakukan perbuatan sad atetayi sampai diprayascita dan sama sekali tidak boleh menjadi seorang rohaniwan.
Demikianlah perincian ketetapan Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat mengenai lama masa cuntaka, sebagai perbandingan dengan cuntaka yang telah berlaku di masyarakat.
E.  Upacara dan Upakara Penyucian Terhadap Cuntaka
Penyucian terhadap cuntaka adalah usaha pengembalian keadaan yang dipandang tidak suci, agar menjadi suci kembali, baik berupa benda-benda, bangunan, lingkungan maupun keadaan manusia. Usaha penyucian tersebut diwujudkan dalam bentuk upacara. Upacara adalah pelaksanaan dari usaha manusia dalam melaksanakan kegiatan keagamaan. Selanjutnya didalam pelaksanaan upacara akan diperlukan perlengkapan-perlengkapan yang disebut upakara. Upacara (pelaksanaan aktivitas keagamaan ) adalah merupakan suatu kewajiban, sedangkan upakara adalah merupakan sarana penunjang /pelengkap sehingga jumlahnya dan jenisnya dapat disesuaikan dengan desa, kala dan patra. Bagi umat Hindu, penyelenggaraan upacara keagamaan menggunakan sarana pelengkap (upakara) berupa banten yaitu beberapa jenis bahan yang diatur sedemikian rupa sehingga indah dilihat dan mempunyai arti simbolis religius keagamaan sesuai dengan fungsi dan pengaruhnya terhadap keadaan tertentu.
Sesungguhnya upakara disamping sebagai persembahan atau tanda terima kasih juga memiliki fungsi tertentu antara lain :
1.      Sebagai alat konsentrasi, untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa dan sebagai simbol perasaan seseorang.
2.      Sebagai perwujudan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi beliau atau juga perwujudan orang yang diupacarai.
3.      Sebagai dana punia.
4.      Sebagai sarana atau alat penyucian.
Suatu sarana yang tergolong dalam upakara penyucian yaitu prayascita, durmanggala, beakala (beakawon), pedudusan, caru. Dari semua jenis banten tersebut tidaklah terpisah satu sama lainnya, tapi tidak mesti setiap penyucian memakai semua banten tersebut. Penggunaan sarana banten tersebut sangatlah dipengaruhi oleh keadaan yang hendak disucikan. Apabila keadaan cuntaka dianggap berat dan ruang lingkupnya meliputi masyarakat desa adat maka upakara penyuciannya hendaknya memakai semua perangkat upakara tadi. Semakin ringan dirasa cuntaka itu dan semakin sempit ruang lingkupnya maka banten penyucian yang dipakai juga semakin sedikit. Diantara semua jenis upakara penyucian yang paling sederhana adalah prayascita. Prayascita merupakan sarana yang selalu menyertai upakara penyucian. Banten prayascita adalah seperangkat banten yang merupakan inti dari upacara penyucian. Maka dari itu banten penyucian selain banten prayascita merupakan pelengkap banten prayascita. Dalam hubungan antara banten penyucian dengan macam – macam cuntaka tidak ada sumber yang jelas menyatakan banten yang mesti dipakai untuk penyucian.  Dengan demikian dapat dikatakan besar kecilnya upakara penyucian yang dipergunakan sangatlah dipengaruhi oleh rasa agama dan situasi kondisi dari masing-masing pebersihan untuk penyucian terhadap cuntaka.
Jnana tapo’ gniharan mrinmano waryupajnanam, wayuh kamarkakalan ca çudheh kartrini dehinam.
Artinya :
Yang merupakan sarana-sarana penyucian bagi makhluk-makhluk hidup adalah pengetahuan akan kemahapengasihan Tuhan api, makanan suci, tanah, pengendalian pikiran, angin, upacara suci, matahari, dan sang waktu. (V. 105).
Adbhirgatrani çuddhayanti manah satyane çuddhayati, widyatapobhyambhutatma budhir jnanena çuddhayati.
Artinya:
Tubuh dibersihkan dengan air,  pikiran disucikan dengan kebenaran, jiwa manusia dengan pelajaran suci dan tapa brata kecerdasan dengan pengetahuan yang benar. (V. 109)
Memperhatikan sarana penyucian seperti tersebut dalam kutipan di atas, maka jelas bahwa usaha penyucian terhadap cuntaka bukan hanya dengan sarana banten penyucian saja, melainkan dapat pula dilakukan dengan tanpa banten penyucian. Bila dihubungkan dengan kenyataan praktek pelaksanaannya di kalangan masyarakat maka proses penyucian dengan sarana banten maupun tanpa banten penyucian masih berlaku.

Dengan demikian proses penyucian terhadap cuntaka baik mempergunakan banten penyucian maupun tanpa sarana banten dapat diperinci sebagai  berikut :
1.      Cuntaka akibat kematian, penyuciannya mempergunakan banten beakala, pekalemijian dan prayascita.
2.      Cuntaka akibat perkawinan mempergunakan banten beakala dan prayascita.
3.      Cuntaka karena melahirkan, penyucianya menggunakan banten beakala dan prayascita.
4.      Cuntaka karena mitra ngalang dan hamil di luar perkawinan penyuciannya mempergunakan banten beakala dan prayascita atau kedua pelaku tersebut melangsungkan upacara perkawinan.
5.      Cuntaka karena melahirkan bayi di luar perkawinan pebersihannya menggunakan banten beakala dan prayascita.
6.      Cuntaka karena agamya gamana dan salah timpal penyuciannya adalah meliputi desa adat. Penyucian bhuwana alit (orang yang bersangkutan) adalah dengan melukat ke segara setelah itu baru dibersihkan dengan banten durmanggala, beakala dan prayascita. Penyucian bhuwana agung akan diuraikan berikutnya.
7.      Cuntaka karena sakit kelainan penyuciannya mempergunakan banten beakawon dan prasyascita
8.      Cuntaka akibat melakukan sad atetayi  pembersihannya mempergunakan banten prayascita.
9.      Cuntaka akibat keguguran kandungan pembersihannya menggunakan banten prayascita.
Itulah semua penyucian terhadap cuntaka dengan mempergunakan sarana banten. Sedangkan berikut ini penyucian terhadap cuntaka dengan tanpa menggunakan sarana banten.
1.      Cuntaka karena mejenukan (menengok kelurga yang tertimpa kematian). Keadaan demikian sama dengan turut berduka cita penyuciannya dapat dilakukan dengan pribadi-pribadi dengan tirtha pebersihan. Demikian pula di Bali umumnya cuntaka seperti itu  dilakukan dengan pengelukatan di dapur (dewa Brahma), melalui air cucuran atap dapur (dewa Wisnu).
2.      Cuntaka karena menstruasi, penyuciannya dengan cara mandi, keramas dan metirtha pebersihan.
Cuntaka yang ruang lingkupnya sampai meliputi desa adat, juga harus segera diadakan upacara penyucian bhuwana agung. Perbuatan manusia yang dapat menyebabkan cuntakanya  desa adat dapat diperinci sebagai berikut :
1.      Tindakan manusia yang tidak wajar diwajarkan, yang dapat menyebabkan kegoncangan/ketidakseimbangan desa pekraman serta dapat menyebabkan letuhnya desa adat.
-           Salah timpal atau kawin dengan binatang.
-          Seorang yang kawin dengan tuminya atau orang tuanya (agamya gamana).
-          Bersanggama di Pura membuat camernya sthana dewa-dewa.
-          Jurang alangkahi gunung (mengawini kakanya atau mengambil janda kakaknya).
-          Mengawini yang termasuk orang tua, gunung alangkahi segara namanya.
-          Mengawini anaknya sendiri tingkah sato namanya, seribu seratus tahun letuhnya desa adat dan bila ia meninggal seribu seratus tahun papanya di neraka serta lahirnya nanti menjadi kuricak, cacing, iris-iris poh, tujuh kali lahir belum dapat tersupat keletehannya.
Bila ada orang yang demikian, desa adat sudah cacat disamping juga letuh, akibat perbuatan manusia. Penyupatan terhadap keletuhan tersebut di dalam lontar Catur Pataka disebutkan sebagai berikut :
Penyuciannya dengan banten itik ginuling 1, sato putih kuning 2, bawi ginuling, pisang kembang, pisang jati, pengiring tadah pawitra, jambul samah, lis amanca warna, isuh-isuh sato, sesari artha 777, beras 7 catu, pisang gendis, kelapa, lawe setukel, sageneping sasantun, cucupaning carat susunia anut saptawara.
Tempat berlangsungnya upacara ini adalah pada perempatan dan dipimpin oleh sang Maha Pandita.
2.      Penyucian kembali desa adat yang salah satu warganya menderita sakit ila (menular) atau penyakit cukil daki (semacam lever). Penyakit demikian menyebabkan para Dewa pergi dari kahyangan. Sebaiknya orang yang demikian dipindahkan, ditempatkan pada tempat lain. Bila sudah pindah dari desa pekraman, semua warga hendaknya diprayascita sampai seluruh kahyangan serta menyucikan kembali semua pralingga-pralingga di kahyangan dengan sarana upakara :
Sesayut pengambean, sesayut prayascita,pras penyeneng, pengelukatan selengkapnya.
            Di sanggar perumahan (pawongan) juga menghaturkan banten :
Sesayut pengambeyan, pras penyeneng, tunasang toya pengelukatan ring pandita.
Semua wilayah desa serta semua kahyangan diperinci dengan tirtha empul demikianlah sastra kerohanian menyebutkan, bila tidak demikian, desa yang bersangkutan tetap tetap letuh dan Bhatara tak senang bersthana pada desa yang letuh. Demikian pula karang perumahan, sawah, jalan-jalan yang dipericki tirtha, upacara demikian dapat berlangsung saat purnama ataupun tilem.
3.      Nihan patakaning wong istri amalwa manik pejah  mwang andrewe putra pejah, nora liwar sapasar pejah, sepuluh limang rahina pejah, ikang wong mati cemer, bwating angletuhing negara agung alit nora wenang sawinia upakara entasen, wenang pinendem.
Artinya :
Inilah kejatuhan wanita hamil meninggal atau melahirkan bayi mati, belum lewat tiga hari meninggalnya tidak juga bayi keluar, 15 hari orang tersebut cuntaka. Karena itu membuat letuhnya bhuwana agung dan bhuwana alit, maka tidak boleh diaben (entasen), dikuburkan boleh.
Demikian disebutkan dalam lontar Catur Pataka, yang mana kejadian seperti itu di masyarakat dikenal dengan istilah mati mabasah. Orang yang demikian tak boleh segera diaben, ada jangka waktunya.
-          Bila brahmana setahun lamanya baru boleh diaben.
-          Bila Ksatriya dua tahun baru boleh diaben.
-          Bila wesya tiga tahun baru boleh diaben.
-          Bila sudra empat tahun baru boleh diaben.
Pemarisuda pengentas dalam uapacara pengabenannya ditambah dengan sarana : gni anglayang, sarwa mantra wija tiksna, agar lahirnya nanti dalam reinkarnasinya bebas dari mala, papa, pataka, serta dapat lahir lebih sempurna. Dan penebusan dihaturkan kepada setra parhyangan dalem terhadap Bhatari Dhurga.
4.      Mwang karamaning wong inaran manak salah, liania lanang wadon, tinundung dening desa, tininggalakena ring grahanira, inena hana ring setra sawulan pitung dina lawasnia hana ring setra, tan kawasa mulih mainepan ring umahnia. Wus mangkana waliakena ring negara kenon melukat, meparisudha, medudus dening catur kumba ring perapatan agung.
Artinya :
Dan pelaksanaan orang yang manak salah, bedanya dengan bayi kembar biasa adalah laki duluan daripada wanita, orang demikian disingkirkan dari desa, dipisahkan dari rumahnya, hidupnya ada  di setra (kuburan) satu bulan tujuh hari lamanya, tidak dibolehkan pulang dan menginap dirumahnya. Setelah habis waktunya kembali lagi ke desa adat harus melukat dan meparisuda, medudus dengan catur kumbo di catus pata.
Demikian disebutkan dalam Catur Pataka. Upakara pedudusan di catus pata adalah sebagai berikut :
Kumbo 4 buah, dawengan kinasturi (bungkak dikasturi) panca warna, nyuh sasi (kelapa bulan) susu 5, nyuh udang susu 9, nyuh gading susu 7, nyuh mulung susu 4, nyuh sudamala susu 8, pinuja dening panca mrtha mwang payuk 4, dangdang 1, kekeb 1, kumba carat susu anut wewaran , sacucukan itik putih, ayam sudamala, kucit plet (butuan), tepung tawar, sagawu, lis mancawarna, kus-kusan, dui-dui, lalang 108, jinah 25, ikang padudusan pinuja dening sarwa prayascita, sajem Brahma, Bhwane swari, de laya, astu pungku, telas, mwang angadegaken sanggar tawang, caru suci petang dandanan jangkep, saha sairing uduh, peji, gedang atut woh pusuhnia, mwang  wastra seperadeg, jinah 4000 munggah ring sanggar, ring sor guling bebangkit, pamugbug kayesining panggungan, saha tegen-tegenan, mwang gelar sanga denagenep, tekaning peras, sang angrayonin, daksinania 2700, sang sogata daksinania 2500, sang Bhujangga daksinania 2250, mwang pras.
Setelah upacara tersebut dilaksanakan maka selanjutnya pondok tempat mereka disingkirkan/dibongkar dan dibakar serta diperciki tirtha pemrelina. Orang bersangkutan didudus dalam upacara dengan upakara padudusan serta diberi tataban sesayut agar sempurna orang yang manak salah tersebut. Demikianlah yang tersurat dalam sastra kerohanian.

















DAFTAR PUSTAKA


Gunadha, Ida Bagus. 1993. Cuntaka. Denpasar : PT. Upada Sastra


Oleh
      Ni Putu Mia Astiti                                  
      I Gede Ngurah Angga Diatmika                    
      Putu Sri Anjani                                         

      Ni Made Dwi Handayani                         









0 comments:

Posting Komentar