RSS

KULA DHARMA

 A.  Pengertian Kula Dharma
Tentunya kita sudah sering mendengar istilah atau kata kula maupun kata dharma dalam buku-buku agama Hindu. Kata Kula = keluarga atau family, walaupun istilah family yang digunakan oleh orang-orang barat berbeda pengertian dengan keluarga/kula dalam masyarakat Hindu kalau ditinjau dari segi tujuannya. Misalnya E.W. Burgers dan H.J. Locke dalam bukunya “The Family” mengatakan bahwa family adalah kelompok orang-orang yang mempunyai hubungan perkawinan, darah keturunan, adopsi dan lain-lain untuk kebudayaan mereka. Ada juga yang berpendapat bahwa tujuan family itu adalah untuk mengesahkan atau membenarkan adanya hubungan seks berdasarkan hukum. Sedangkan dalam masyarakat Hindu, untuk mewujudkan lahirnya suatu keluarga harus terlebih dahulu melakukan Agni Homa (mendirikan Sanggar Kawitan bagi orang Bali). Sebelum melakukan agni homa walaupun eseorang telah kawin masih tetap dianggap sebagai anggota keluarga orang tuanya, jadi belum berdiri sendiri. Di dalam agama Hindu tujuan berkeluarga adalah untuk melanjutkan garis keturunan sehingga terpenuhi segala tugas dan kewajiban kemanusiaan dengan sempurna di mana kehadiran seseorang putra dianggap sebagai penyelamat bagi orang tuanya. Kata “Putra” itu sendiri berarti penolong atau penuntun dari kesengsaraan hidup, baik di dunia maupun di akhirat. Itulah pengertian dan tujuan kula atau family dalam masyarakat Hindu. Kemudian kata “dharma” yang berarti kewajiban. Jadi kula dharma berarti kewajiban family dalam kehidupan berkeluarga berdasarkan ajaran agama Hindu.

1.      Unsur Kula Dharma
Perkawinan
Menurut ajaran agama Hindu perkawinan itu suci sifatnya karena hal itu merupakan dharma atau kewajiban suci yang dinyatakan di dalam Weda. Kawin dan mempunyai anak adalah merupakan perintah agama yang dimuliakan, sehingga setiap perkawinan harus dilaksanakan dengan keyakinan sebagai bagian dari pengabdian kepada Sang Hyang Widhi Wasa. Setiap perkawinan harus melalui upacara keagamaan yang disebut “wiwaha samskara” dan barulah mereka diakui sebagai seorang Grihastin (Grihastha Asrama). Mengenai cara memperoleh istri disebutkan dalam kitab Manu Smerti Adhyaya III Sloka 21 sebagai berikut:
Brahmo daiwastatha iwarsah Prajapatyastathasurah Gandharwo raksascaiwa Paisacasca astamo ‘dharmah’.
Artinya:
ada delapan macam cara perkawinan ialah Brahma wiwaha, daiwa wiwaha, arsa wiwaha, prajapatya wiwaha, gandharwa wiwaha, asura wiwaha, raksasa wiwaha, dan paisaca wiwaha.
Kedelapan cara itu digolongkan lagi kedalam dua golongan yaitu dibenarkan dan yang di salahkan atau tidak boleh dilakukan. Golongan yang dibenarkan ialah Brahma Wiwaha, Daiwa Wiwaha, Arsa Wiwaha, Prajapatya Wiwaha, dan Gandharwa Wiwaha, dan Asura Wiwaha. Adapun yang disalahkan adalah Raksasa Wiwaha, dan Paisaca Wiwaha.
1.      Brahma Wiwaha ialah suatu cara terhormat yang dilakukan oleh pihak keluarga wanita dengan mengawinkan anaknya kepada seorang pria yang berpendidikan dan berbudi luhur.
2.      Daiwa wiwaha ialah memperoleh istri dengan jalan menerima seorang gadis dari suatu keluarga yang menyerahkan anaknya sebagai pemberian jasa yang dilakukan oleh pemuda itu. Biasanya pemberian ini dilakukan kepada pendeta yang berjasa menyelesaikan upacara di rumah keluarga wanita. Pemberian ini disebut “kanya dana”.
3.      Arsa wiwaha ialah suatu perkawinan yang terjadi atas kehendak timbale-balik kedua belah pihak, baik pihak wanita maupun pihak pria.
4.      Prajapatya wiwaha ialah suatu perkawinan yang dilakukan dengan cara pihak wanita melepaskan anak gadisnya untuk dikawinkan dengan pemuda yang disetujuinya, dengan diiringi doa restu.
5.      Gandharwa wiwaha ialah suatu bentuk perkawinan berdasarkan cinta di mana pihak orang tua tidak ikut campur walupun orang tuanya mengetahui sebelumnya hubungan cinta mereka. Di Bali perkawinan semacam ini disebut ngerorod, di Lombok disebut merangka, di Sulawesi Selatan disebut selarian.
6.      Asura wiwaha ialah suatu perkawinan dengan syarat pihak pria harus memberikan sejulah uang yang diminta oleh pihak wanita.
7.      Raksasa wiwaha ialah suatu bentuk perkawinan yang dilakukan secara paksa oleh pria terhadap wanita. Di Bali perkawinan semacam ini disebut melegandang dan dianggap tidak terpuji sehingga dilarang oleh adat.
8.      Paisaca wiwaha ialah suatu bentuk perkawinan yang dilakukan dengan memaksa wanita secara halus, misalnya memberi obat tidur, minuman yang memabukkan atau dengan kelicikan sehingga wanita itu dapat diperdayakan. Perkawinan semacam ini  sangat dilarang dan dinyatakan sebagai dosa besar. Di dalam agama Hindu ditentukan pula mengenai wanita yang tidak boleh dikawini, yaitu antara lain:
a.       Wanita yang melakukan dharma.
b.      Wanita yang tidak mengakui Weda.
c.       Wanita cacat rohani.
d.      Wanita cacat jasmani seperti berpenyakit menular (lepra, epilepsy, tidak pernah menstruasi, dan sebagainya).
e.       Wanita yang mempunyai nama jelek.
f.       Wanita yang lama disembunyikan dan dirahasiakan.
g.      Wanita yang telah dipertunangkan.
h.      Wanita yang kesuciannya ternoda.
i.        Wanita yang mengandung.
j.        Wanita dari hubungan genealogis secara vertical (ibu kandung, ibu tiri, saudara perempuan dari ayah atau ibu, anak dan sebagainya).
k.      Wanita dari hubungan genealogis secara horizontal (kakak kandung, kakak tiri, dan sebagainya).
Mengenai perkawinan antar wangsa atau warna dibenarkan menurut ajaran agama Hindu walaupun masih mendapatkan tantangan dan hambatan dari masyarakat Hindu. Untuk itu baik pemerintah India maupun Parisada Hindu Dharma pusat telah mengeluarkan keputusan yang membenarkan dan membolehkan perkawinan antar waisya atau warna dalam kitab Weda Smerti III, 55-57 dapat dijumpai tentang kedudukan wanita sebagai berikut:
“Pitribhir bhratribiscaitah patibhir dewaraistatha pujya bhuksayita wyascabahu kalian nipsublin yatra naryastu pujyanteramante tatra dewatah yatraitastu na pujyante sarwas tatra phalah kriyah sosanti jamoyo yatrawinasya tyacu tat kulamna sosanti tu yatraitawardhate taddhi sarwada”
Artinya :Wanita harus dihormati dan disayangi oleh ayahnya, kakaknya, suaminya dan ipar-iparnya yang menghendaki kesejahteraan. Di mana wanita dihormati, di sanalah dewata merasa senang. Tetapi bila mereka tidak dihormati maka tiada kerja yang mendatangkan pahala. Di mana warga wanitanya hidup dalam kesedihan, keluarga itu cepat akanhancur. Tetapi di mana wanita tidak menderita, keluarga itu akan selalu bahagia.Demikianlah kedudukan wanita dalam masyarakat Hindu yang mendapat penghormatan dan kedudukan yang sejajar dengan kaum pria, tanpa mengurangi swadarmanya sebagai wanita secara kodrati.
2.     Kedudukan dan Kewajiban Dalam Keluarga
1.      Kedudukan dan Kewajiban Suami
Menurut kitab Weda Smerti dan Mahabharata bahwa suami istri dalam rumah tangga harus hidup untuk dharma. Segala yadnya yang harus dilakukan sebagai kewajiban harus dikerjakan bersama-sama dan dengan istrinya. Ini menunjukkan bahwa kedudukan suami sederajat dengan istrinya. Namun demikian dalam swadharmanya (secara kodrati) peranan suami dalam hal tertentu lebih menojol. Suami adalah sebagai kepala keluarga yang harus dihormati. Di samping itu suami mempunyai kewajiban yang berat pula, sebagia mana dinyatakan dalam Weda Smerti IX sloka 3-7,11, 71, 101 dan 102 yang isinya sebagai berikut;
1.      Seorang suami harus melindungi istri dan anak-anaknya, serta mengawinkan anaknya bila saatnya tiba.
2.      Ia harus menyerahkan harta dan mempercayakan kepada istri untuk mengurus rumah tangga.
3.      Menjamin hidup dengan memberi nafkah istrinya bila karena sesuatu urusan penting (tugas) harus meninggalkan istri keluar daerah.
4.      Memelihara hubungan kesuciannya dengan istri saling mempercayai sehinggaterjamin keharmonisan rumah tangga.
5.      Menggauli istri, dan berusaha menjaga kelestarian rumah tangga dengan jalan tidak melanggar kesuciannya masing-masing. Keharmonisan rumah tangga (suami-istri) digambarkan oleh Yajna walkya (kulit kerang yang tak boleh berpisah satu sama lain, karena perpisahan itu akanmengakibatkan kehancuran).
2.      Kedudukan dan Kewajiban Istri
Kehadiran seorang istri adalah merupakan warga baru dalam keluarga laki-laki, karena itu ia harus cepat menyesuaikan diri. Kalau tidak demikian maka suatu perkawinan tidak aka nada artinya. Di samping itu kehadiran seorang istri dikatakan sebagai penyejuk yang menghilangkan kesepianrumah tangga.Dengan demikian maka istri harus memegang peranan dalam membina rumah tangga sehingga kedudukannya amat penting, tanpa istri pengabdian suami takkan sempurna dan tujuan hidup (purusartha) sulit tercapai. Dalam Weda telah ditentukan kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang istri yaitu:
a.       Seorang istri tidak boleh bertindak sendiri-sendiri tanpa sepengetahuan suami.
b.      Ia harus pandai membawa diri, mengatur dan memelihara rummah tangga harmonis.
c.       Ia harus setia kepada suami dengan berusaha tidak melanggar hukum suci.
d.      Seorang istri harus selalu mengendalikan pikiran, perkataan, dan tindakannya dengan selalu mengingat Sang Hyang Widhi Wasa, merenungkan kebenaran dan mengingat suaminya. Istri yang demikian kelak setelah mati ia akan mencapai sorga.
e.       Seorang istri wajib menegur atau menasehati suaminya bila ia berbuat keliru yang mengakibatkan dosa dan kehancuran rumah tangga.
3.      Kedudukan dan Kewajiban Anak
Anak-anak sangat berhutang budi pada orang tua yang telah melahirkan mereka dan untuk segala kebaikan yang telah mereka dan untuk segala kebaikan yang telah mereka lakukan. Sesungguhnya, anak-anak tidak dapat membayar hutang mereka seluruhnya, sekalipun dengan mengorbankan hidupnya demi orang tua. Sudah merupakan tugas dari setiap anak untuk berusaha melebihi orang tua dalam pelajaran, kebajikan, kedudukan, pengabdian dan sebagiannya. Bila anak-anak tak dapat melebihi orang tuanya, maka anaklah yang harus dicela, karena mereka itu hanya mau menikmati kesanangan  dunia saja. Apabila anak-anak tak sanggup melebihi orang tuanya, maka sekurang-kurangnya harus menyamai mereka, tetapi jangan lebih rendah daripada mereka.
Menurut singalovada sutta terdapat lima kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seorang anak kepada orang tuanya, yaitu :
1. Menyokong Orang Tua
Tak perlu lagi diberikan komentar mengenai kewajiban yang  mutlak ini. Di dalam budaya Buddhia, setiap hari anak-anak harus mempraktekkan tisarana dan pancasila, dan selanjutnya bernamaskaran di kaki orang tuanya sebagai penghormatan
Inilah kata-kata kuno yang menggambarnya rasa hormat anak terhadap orang tuanya :
“O, Ibu sayang, tak terkatkaan betapa besar penderitaan yang dikau alami sejak aku berada di dalam kandunganmu.
Dengan merangkapkan kedua belah tangan di atas kepala, daku menghormat dan mohon maaf padamu atas segala kesalahanku.
Bila daku menangis, dikau memberikan cinta dan kasihmu dengan membelaiku hingga aku tertidur.
Semua kekotoran tubuhku bagaikan permata bagimu dan dikau menyentuhnya bagaikan benda yang harum baunya.
Untuk semua pengabdian dan kasihmu yang tak terhingga, o ibuku sayang, semoga dikau menjadi Samma Sambudhha, untuk menyelamatkan dan menolong dunia yang penuh dengan penderitaan.
Barangkali banyak di antara pembaca yang telah mendengar cerita tentang raja aggabodhi dengan perilakunya yang patut dicontoh oleh semua anak.
Di dalam kitab Culavamsa diterangkan betapa besar cinta kasih serta hormat Raja Aggabodhi kepada ibunya yang telah tua.
Raja senang sekali melayani ibunya, baik pada waktu siang maupun malam hari, pada pagi hari ia selalu menunggunya, menggosok kepala ibunya dengan minyak, membubuhi parfum pada bagian-bagian tubuh yang basah karena keringat, membersihkan kukunya serta memandikannya dengan hati-hati. Ia sendirilah yang memakaikan pakaian pada ibunya dengan pakaian ibunya dengan pakaian baru dan lembut, ia mengambil pakian yang kotor dan mencucinya sendiri pula. Dengan cairan air cucian itu ia memerciki kepala dan mahkotanya. Dengan penuh rasa bakti ia mengjormati ibunya dengan bunga-bunga harum bagaikan sedang hormat di depan cetiya. Setelah menghormati ibunya tiga kali ia berjalan ke kanan mengelilinginya dan memberikan pakian serta kebutuhannya kepada para pelayan ibunya. Ia menyedikan makanan-makanan enak untuk ibunya. Lalu sisa makannnya tersebut dimakannya sendiri. pada para pelayan ia memberikan makanan yang baik seperti  yang diperuntukkan pada raja, dan kemudian ia menyiapkan tempat tdur kepada ibunya. Mewangikan dengan parfum. Ia memindahkan ibunya hati-hati ke tempat tidur setelah terlebih dahulu membasuh kakinya. Kemudian dengan hati-hati Ia mengoles tubuhnya dengan minyak wangi dan kemudian duduk di sampingnya. Ia mengosok tangan dan kakinya sampai tidur. Setelah itu dengan menghadap ke kanan ia mengelilinguii tempat tidur dengan hormat. Menyuruh para pelayan agar menjaganya dan pergi keluar tanpa membelakangi ibunya.
Pada tempat di mana ibunya tak dapat melihatnya lagi, ia berhenti dan memberi hormat lagi tiga kali. Kemudian, dengan perasaan penuh bahagia atas perbuatannya, ia kembali ke istana. Selama ibunya hidup, raja melakukan pengabdian dalam cara ini
(culavamsa, terjemahan W. Geiger, halaman 132)
Kepatuhan pangeran rama tak dapat dilukiskan karena akal bulus ibu tirinya. Pangeran rama telah diasingkan oleh ayahnya selama empat belas tahun.
Jadi, kepatuhan seharusnya menjadi sifat utama bagi anak-anak yang baik. Mereka sama sekali tidak boleh memperlakukan orang tuanya dengan kasar. Istri yang galak sebaiknya jangan di ijinkan melayani orang tua kita yang telah lanjut usia. Anak anak harus melayani orang tua yang lanjut usia. Anak-anak harus melayani orang tua dengan perhatian khusus. Terutama saat mereka telah lanjut usia dan sakit-sakitamn. Anak-anak harus merenungkan bahwa sekarang adalah kesempatan yang baik membalas budi mereka.
2. Melakukan Kewajiban-Kewajiban Orang Tua
Anak-anak harus mengerti apa yang dibutuhkan oleh orang tua dan melaksankannya demi kebahagiaan orang tua.
Sudah menjadi kewajiban anak-anak untuk membahagiakan dan menyenangkan  hati orang tuanya. Mereka harus bersedia mengorbankan dan menyenangkan hati orang tuanya. Mereka harus rela mengorbankan kesengangan-kesenangan mereka demi kebahagian orang tuanya. Dalam cerita-cerita Jetaka diterangkan tentang Bodhisatta yang telah mengorbankan hidupnya demi kebahagiaan orang tuanya.
Mereka yang hidup sesuai dengan dhamma dan merawat orang tuanya yang sengsara.
Para dewa mengetahui kasih sayang mereka dan datang menyebuhkan penyakit mereka.
Mereka yang hidup sesuai dengan dhamma dan merawat oranfg tuanya yang sengsara.
Para dewa dalam dunia ini akan memuji mereka dan kelak mereka dikaruniai dengan surga.
(Temiya Jetaka)
Kewajiban anak anak bukan hanya memberikan kebahagiaan materi belaka tetpi juga kebahagiaan batin. Mereka harus mencoba utuk mengembangkan sifat kedermawaan (dana) , sila, kasih sayang, serta kebijaksanaan orang tuanya. Bila tidak sanggup mereka dapat membawa orang tuanya berziarah ke tempat tempat suci dan berusaha mendorong orang tuanya ntuk berbuat jasa yang akan memberikan kebahagiaan kekal pada dirinya.
3. Mempertahankan Kekayaan Keluarga
Anak-anak harus menjaga harta orang tua dengan tidak memboroskan kekayaan yang telah diperoleh dengan susah payah. Kerap kali, orang tua menjadi kaya dengan hidup hemat dan bekerja keras. Apa yang mereka telah kumpulkan dengan ketekunan dihambur-hamburkan oleh anak-anak dalam beberapa tahun saja akibat pengaruh pergaulan yang konsumtif sehingga mereka jatuh miskin.
Anak-anak diharapkan juga untuk melanjutkan pekerjaan atau uasaha baik yang telah dirintis orang tuanya. Perbuatan-perbuatan baik seperti berdana secara berkala, membantu vihara atau yayasan sosial menolong orang-orang miskin atau sakit atau sebagiaanya yang telah dicontohkan oleh oang tua tidak boleh dilupakan oleh anak-anak apa lagi setelah orang tuanya meninggal dunia.
4. Berkelakuaan yang Pantas Demi Nama Baik Keluarga
Anak-anak harus menjaga nama baik orang tua anak anak yang berpendidikan tak akan mendeskreditkan orang tuanya terutama setalah mereka tiada.
1.      Kedudukan Anak Laki-laki
Kelahiran seorang anak laki-laki di dalam keluarga Hindu merupakan kebahagian, karena mempunyai anak laki-laki adalah tujuan utama dari setiap keluarga Hindu.. Demikiandijelaskan dalam kitab Adiparwa. Walaupun memperoleh anak laki-laki merupakan anugerah utama bagi keluarga, tetapi tentang kedudukan anak laki-laki berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain. Dikatakan bahwa yang berhak melaksanakan upacara Sraddha (upacara ulang tahun kematian nenek moyangnya) adalah anak laki-laki yang sulung. Putra sulung itulah yang dapat menebus hutang ayahnya yang disebut Pitra Rinam. Apabila ayahnya meninggal maka saudara-saudaranya dapat hidup bawah asuhannya.
Ia harus membimbing adik-adiknya, memberi pandangan dan pertimbangan bila diminta. Jadi keselamatan keluarga tergantung dari baik  buruknya sifat anak laki-laki tertua itu. Maka kedudukan putra sulung menempati posisi yang utama dalam suatu keluarga Hindu.
2.      Kedudukan Anak Perempuan
Berbeda halnya dengan kedudukan anak laki-laki maka kedudukan perempuan dianggap sebagai kesayangan. Orang tua tidak boleh bertengkar dengan anaknya yang perempuan karena dianggap sebagai tempat dewi kemakmuran bertahta. Apabila dalam keluarga tidak terdapat anak laki-laki maka orang tuanya berhak menunjuk anak perempuannya untuk melakukan upacara sraddha, dan selanjutnya bertindak sebagai ahli waris yang berhak mewarisi semua harta peninggalan orang tuanya. Sedangkan bila mempunyai saudara laki-laki maka ia berhak pula mewarisi setengah dari yang diterima oleh laki-laki. Jadi dalam keluarga Hindu kedudukan anak perempuan mendapat tempatyang istimewa pula.
3.      Kewajiban Orang Tua
     Kewajiban orang tua adalah berusaha mengmbangkan kesejahteraan anak-anaknya. Dalam kenyataan, orang tua yang baik selalu sedia melakukan kewajiban-kewajiban mereka dan dengan senag hati. Walaupun kadang-kadang ada anak yang melupakan jasa-jasa orang tua dan tidak berbakti kepada orang tuanya, terus menuntut dan melupakan kewajiban mereka terhadap orang tuanya, tetapi orang tua selalu berusaha memnuhi kebutuhan anaknya, dan bahkan tidak hanya masih dalam asuhan melainkan ketika anaknya sudah berumah tangga
     Selama dalam kandungan, setelah lahir, hingga mereka berumah tangga, orang tua selalu bersunguh-sungguh dan bersaha menjadikan mereka seorang yang berguna. Dan para orang tua pasti akan bangga jika anaknya bisa menjadi orang yang berguna dan dapat melampaui mereka di dalam segala hal. Dan begitupun sebaliknya, orang tua akan merasa kecewa bila anak-anaknya ada di bawah keadaan mereka. Untuk membimbing anak-anaknya ke jalan yang benar, harus memberika contoh yang baik bagi anaknya. Dalam hal ini orang tua yang bertanggung jawab akan berusaha keras untuk tidak mewarisi sifat-sifat yang tidak diinginkan pada anak-anaknya.
     Menurut Sigalovada Sutta, ada lima kewajiban yang harus dilaksanakan oleh orang tua yaitu:
1.      Berusaha Mengindarkan Anak-anaknya dari Kejahatan.
Rumah adalah sekolah yang pertama dan orang tua merupakan guru yang pertama. Pada umumnya, anak-anak memperoleh pendidikan dasar tentang baik dan buruk dari orang tua mereka. Untuk itu tidak bijaksana orang tua yang dusta, menipu, berbicara kasar, dan berprilaku tidak baik di depan anak-anaknya yang masih kecil. Maka dari itu jangan sekali-kali membohongi anak-anaknya. Orang tua harus tanggap terhadap apa yang menjadi kebutuhan anaknya jika itu ada dan layak untuknya maka berikanlah tampa disertai dengan ancaman atau omelan. Anak tidak boleh dibesarkan dalam ketakutan, contonya jika anak menangis jangan dihentikan dengan cara menakut-nakutinya karena anak kecil menangis itu tidak berbahaya, dan jika tangisan itu dihntikan dengan menakut-nakutinya maka si anak tersebut akan menjadi lemah, dan secara tidak langsung mengembangkan rasa rendah diri, contohnya mereka takut tempat gelap, dan hal-hal yg lainnya. Orang tua harus mampu mengoreksi anaknya setiap si anak membuat kesalahn agar si anak tahu jikalau yang dia akukan itu salah dan dia mau memperbaikinya.
2.      Mengajar Anak-anak Untuk Berbuat Baik
Orang tua adalah guru di rumah, guru adalah orang tua di sekolah, orang tua dan guru bertanggung jawab kesejahteraan masa depan anak-anaka, agar mereka dapat hidup sesuai dengan apa yang mereka ajarkan. Anak sebaiknya tidak ditinggalkan di bawah asuhan yang bodoh karena kebanyakan anak lebih dekat dengan yang mengasuh dari pada dengan orang tuanya sendiri. Kesederhanaan, kepatuhan, kesatuan, keberanian, pengorbanan diri, kejujuran, sifat  tegas, bakti, percaya diri, rajin, rasa puas, perilaku baik, taat pada agama dan sifat-sifat kebajikan lain sebaiknya ditanamkan dalam pikiran anak-anak sedini mungkin. Setidaknya mereka harus diajar untuk melaksanakan lima prinsip perilaku baik (pancasila).
Dengan melaksanakan sila pertama yaitu tidak membunuh, berarti mereka mengambangkan sifat kasih sayang dan tidak kejam karena mereka mulai diajar nilai suci kehidupan ini. Sila kedua yaitu tidak mencuri akan membangkitkan sifat jujur. Sila ketiga yang berkenaan dengan prilaku moral yang baik. Hendaknya anak-anak diajarkan untuk hidup yang bersih dan murni, mereka harus diperhatikan secara sungguh-sungguh agar tidak bergaul dengan teman-teman yang jahat dan orang tua harus bisa menjadi contoh yang bsik, jika tidak besar kemungkinan si anak akan meniru erbuatan irang tuanya. Sila keempat yaitu anak-anak sebaiknya diajarkan supaya selalu berlaku jujur, apabila mereka melakukan kesalahan, maka anjurkanlah mereka untuk mengakui kesalahannya. Sila kelima yaitu hilangkan atau hindarkan anak-anak dari sifat memfitnah, latihlah agar mereka berbicara dan berprilaku yang sopan. Contohnya mengenai minuman keras, orang tua telah menyadari bahaya dari pada minuman keras tersebut  untuk itu orang tua harusnya mampu membimbing anaknya agar tidak terjerumus ke dalah pergaulan yang seperti itu, tentunya dengan memberi contoh kepada mereka dengan tidak minum-miuman keras sebelum menasehati anak-anaknya untuk menjalankan sila kelima yaitu tidak minum-minuman keras dan sejenisnya.
3.      Memberikan Pendidikan Yang Baik Pada Anak
Tak ada harta yang lebih berharga daripada pendidikan, karena itu merupakan berkah utama yang dianugrahkan oleh orang tua terhadap anaknya. Pendidikan yang diberikan pada anak-anak selagi masih kecil lebih baik dilandaskan atas norma-norma agama dan Negara. pendidikan agama harus menduduki tempat yang utama di dalam kurikulum lembaga pendidikan, agama tidak boleh dipisahkan dari pendidikan umum, jangan biarkan mereka berpura-pura suci dengan magsud hanya untuk menipu orang lain. pemhetahuan Dharma dipelajari untuk dilaksanakan seperti tertulis dalam Kitab Suci Dhammapada “orang yang belajar Dhamma tanpa melaksanakan adalah seperti gembala yang mengitung-hitug ternak orang lain”. disamping memperhatikan pendidikan, kesehatan tidak boleh dilupakan. Seorang sarjana sakit-sakitan tidak akan dapat memberikan bantuan berharga bagi Nusa dan Bangsa.
4. Mengawinkan Anak-anak Dengan Pasangan yang Sesuai
Perkawinan adalah “hidup bersama untuk selama-lamanya dikatakan demikian karena perkawinan adalah suatu janji untuk hidupnya bersama selamanya hayat dikandung badan. Bukan hanya untuk waktu yang terbatas saja. Pertalian ini tak diputuskan begitu saja. Karena itu sebelum perkawinan segala sesuatunya perlu ditinjau dari berbagai segi demi kepuasan kedua belah pihak. Berbeda pedapat dapat menimbulkan pertentangan. Daam hal ini orang tua menurut kewajiban sedang anak-anak menuntut hak. Menurut budaya Buddhis kewajiban lebih kuat daripada hak.  Karenanya janganlah kedua belah pihak kukuh pada pendapat masing-masing tetapi sebaiknya digunakan pertimbangan yang bijaksana untuk mencapai penyelesain yang  baik. Bilamana kedua bela pihak tidak mau saling mengalah maka akan terjadi hal-hal yang kurang baik dan merugikan.
Didalam memilih seorang istri Maha Menggala Jentaka  ( NO. 453) telah memberi petunjuk sebagai berikut :
                 “Jika orang mempunyai istri yang lues dan sepadan umurnya. Patuh baik dan subur, setia bajik serta berasal dari keluarga yang baik, inilah berkah yang terdapat pada istri.” Walaupun pilihan mungkin terbatas kalau milih suaami lebih baik yang menghindari “hidung belang, pemabuk, penjudi, dan boros” (Vasala Sutta)
Kesehatan harus diperhatikan juga sebelum memulai perkawinan. Kalau tidak, maka orang tua dapat menderita akibat keturunan mereka. Orang tua yang tidak bisa memiliki keturunan sendiri membatu negara dan bangsa apabila mereka bersedia mengangkat anak dari keluarga-keluarga miskin dan mendidiknya menjadi warga yang baik. Cinta kasih dan kebaikan mereka dapat ditumpahkan pada anak-anak tersebut.
5. Memberikan Warisan Kepada Anak-anak Pada Saat yang Tepat
Orang tua yang baik tidak hanya mencintai dan memelihara anak-anak selama didalam asuhan mereka. Tetapi juga mempersiapkan kesejahteraan anak-anak pada masa mendatang. Kekayaan yang dikumpulkan dengan susah payah akhirnya dengan penuh kerelaan mereka hadiahkan kepada anak-anak.
Hadiah perkawinan yang paling baik yang dapat diberikan orang tua pada anak wanitanya adalah nasehat-nasehat berikut yang diberikan pada Visakha oleh ayahnya pada hari perkawinanannya menerima :
1.      Jangan membawa ke luar api yang berada di dalam rumah
2.      Jangan memasukkan ke dalam rumah api yang berada di luar
3.      Memberi hanya kepada mereka yang patut menerima
4.      Jangan memberi pada mereka yang tak memberi
5.      Memberi pada mereka yang meberi dan yang tak memberi
6.      Duduk dengan bahagia
7.      Makan dengan bahagia
8.      Merawat api
9.      Tidur dengan bahagia
10.  Menghormat devata keluarga

Yang dimaksud dengan sepuluh hal di atas adalah sebagai berikut :
1.      Api di sini berarti fitnah. Seorang istri tidak boleh mendiskripsikan suami dan mertuanya kepada orang lain. Begitu pula, kekurangan-kekurangan atau pun pertengkaran-pertengakaran dalam rumah tangga jangan diceritakan kepada orang lain.
2.      Seorang istri tidak seharusnya mendengarkan cerita-cerita atau pun ocehan-ocehan dari keluarga-keluarga lain
3.      Barang-barang hendaknya dipinjamkan kepada mereka yang mau mengembalikannya
4.      Janganlah meminjamkan barang-barang kepada mereka yang tak mau mengembalikannya
5.      Sanak saudara dan kawan-kawan yang miskin harus ditolong, sekalipun mereka tak akan mengembalikkanya lagi
6.      Seorang istri seharusnya duduk dalam cara yang pantas. Bilamana melihat mertuanya datang, ia harus berdiri dan tidak tetap duduk saja. Nasehat ini merupakan sopan santun bagi wanita dan menunjukkan rasa hormat terhadap mertua
7.      Sebelum makan, sebaiknya istri terlebih dulu menyiapkan kebutuhan-kebutuhan suami at mertuanya. Ia juga harus menjaga agar kebutuhan makan para pembantu dipenuhi
8.      Seorang istri yang baik, sebelum tidur harus memeriksa apakah alat-alat rumah tangganya sudah aman, apakah para pelayan telah menyelesaikan tugas-tugas mereka, dan apakah mertua dan suaminya sudah pergi tidur dan belum
Seorang istri harus bangun pagi-pagi sekali dan tidak akan tidur pada siang hari kecuali jikia badannya terasa tak enak atu tidak sehat.
9.      Mertua dan suaminya harus dipandang sebagai api. Rawatlah mereka baik baik seperti kita menjaga api di dapur
10.  Disini, mertua dan suami dipandang sebagai devata patut dihormati.


B. KELUARGA DAN MASYARAKAT
1. Pengertian Keluarga
Keluarga adalah ikatan antara ibu, bapak, dan anak. Ikatan dalam hal ini mengandung pengertian bentuk kesatuan kerja sama. Jadi, ikatan dalam bentuk kesatuan kerja sama yang paling kecil disebut keluarga. Sedangkan ikatan dalam bentuk kesatuan dan kerja sama yang paling besar disebut negara.
Dalam masyarakat yang menganut corak hukum “patrilinial” ikatan bentuk kesatuan kerja sama itu ditarik berdasarkan garis bapak. Kemudia bila masyarakat mengabut corak hukum “matrilinial” maka ikatan bentuk kesatuan kerja sama itu ditarik berdasarkan garis ibu.
Latar belakang masyarakat yang menganut hukum patrilinial dan matrilinial perlu diketahui karena menyangkut masalah perkawinan. Kemudian dari perkawinan itu akan menurunkan anak. Selanjutnya anak inilah yang akan menjadi ahli waris, yang mewarisi segala kekayaan orang tua sebagai pelanjut hidup suatu keluarga.
Keluarga mempunyai pola dasar kelembagaan yang bersifat Socio Culture dan Socio Psikolog sangat mendalam sifatnya sehingga berperan memberi bentuk dan karakteristik sifat dari keluarga lain.
Permasalahan di atas dapat dipahami bahwa, manusia lahir cenderung mewariskan sifat-sifat yang dominan pada keluarganya termasuk sikap moral, rasa harga diri dan perasaan terdalam yang dimiliki oleh suatu keluarga itu. Dengan demikian maka timbul sikap pandangan publik, sosial dan budaya yang berbeda pada masing-masing keluarga yang diturunkan secara melembaga dan membudaya.
Setiap individu merupakan egosentrisme dalam keluarga maka dari itu sosiosentrisme terbentuk pula dalam kesatuan keluarga, misalnya rasa superioritas antara satu keluarga dengan keluarga lain.
Berdasarkan teori di atas dapat dilihat adanya pengembangan yang ekstrim dari sistem “Warna” ke arah sistem “Kasta”. Itu terjadi adalah akibat dari Socio Centrisme. Perlu ditegaskan bahwa agama Hindu tidak demikian. Itu terjadi adalah semata-mata akibat perkembangan sosial di masyarakat.
Keluarga Hindu menganut asas “Purusa” yakni asas “Kebapakan”. Akibat dari asas Purusa itu maka keluarga Hindu mementingkan status anak laki-laki dalam artian Purusa. Dalam praktik masyarakat dapat dilihat bila satu keluarga hanya mempunya anak wanita saja, kemudian bila mereka kawin keluar maka keluarga tersebut tidak mempunya status sentana. Nah, kemudian supaya kelangsungan hidup keluarga itu berlanjut dalam perkawinan dapat ditempuh, anak wanita bisa meminta anak laki untuk membentuk rumah tangga, dengan status hukum ditentukan, anak wanita berstatus Purusa dan anak laki-laki berstatus “Pradana” hal seperti inilah yang disebut Nyentana dalam sistem perkawinan adat di Bali.
Secara riil kesatuan unit keluarga Hindu didsarkan pada tujuh lapisan keturunan berpusat dari “Aku” dihitung tiga lapis keatas dan tiga lapis ke bawah, bila digambarkan tersusunlah seperti berikut ini :
3. Embah
2. Kakek
1. Bapak
AKU
1. Anak
2. Cucu
3. Cicit
Menurut R.M. Malever dan C.H. Page dalam bukunya yang berjudul Sosiote dijelaskan sifat khusus untuk satu kerluarga adalah meliputi :
a.       Universal dalam segala bentuk sosial
b.      Mempunyai dasar-dasar emosional yang integral dalam arti melanjutkan keturunan, rasa kekeluargaan yang baik. Keibuan dan kebapakan terhadap keturunannya.
c.       Memiliki sifat-sifat yang mempengaruhi terhadap lingkungannya, dimana mereka berfungsi sebagai sumbernya dalam pembentukkan kepribadian individu.
d.      Mempunyai ukuran yang terbatas baik dari arti biologi maupun dalam bentuk kekuasaannya.
e.       Merupakan unit terkecil dalam kerangka struktur sosial pada umumnya dan mempunyai sifat yang lebih sederhana dalam masyarakat yang bersifat patriarhat.
f.       Mempunyai tradisi-tadisi yang berdiri sendiri, berbeda dari keluarga lainnya (kula dharma) yang bersifat mengatur.
g.      Mempunyai tanggung jawab kuat terhadap kelangsungan hidup keluarganya.
h.      Mempunyai sifat kelembagaan yang kekal atau temporel.

Bila dilihat keluarga Hindu di Bali kesempurnaan dari kesatuan keluarga itu adalah memiliki hal sebagai berikut :
a.       Tempat tinggal sendiri
b.      Ada tempat suci pemujaan rong tiga sering disebut Kemulan Taksu.
c.       Mempunyai keturunan. Diharapkan yang berpredikat “Suputra”, artinya anak yang berkualitas.

Setelah itu tahu dan dapat melaksanakan kewajiban sebagai suami, sebagai istri dan sebagai anak, kewajiban terhadap orang tua, leluhur, masyarakat lingkungan, kepada agama, dan kepada negara serta nusa dan bangsa.
Demikianlah kesatuan keluarga Hindu dipandang kesempurnaannya bila telah memenuhi persyaratan di atas. Namun untuk kelangsungan hidupnya harus selalu mengorbankan semangat cinta kasih yang berlandaskan kesucian.


 oLEH :
1.      Ni Kadek Sri Astuti                     
2.      Kadek Dita Lestari                         
3.      Ni Luh Rai Widiani             
4.      I Wayan Pasek Edi Setyawan      

0 comments:

Posting Komentar