RSS

TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISME


BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Hakikat Teori Belajar Konstruktivisme
Pada dasarnya teori konstruktivisme mempunyai asumsi bahwa pengetahuan lebih bersifat kontekstual daripada absolut, yang memungkinkan adanya penafsiran jamak (multiple perspectives) bukan hanya satu penafsiran saja. Hal ini berarti, bahwa pengetahuan dibentuk menjadi pemahaman individual melalui interaksi dengan lingkungan dan orang lain. Dengan demikian, peranan kontribusi siswa terhadap makna, pemahaman, dan proses belajar melalui kegiatan individual dan sosial menjadi sangat penting (Bruning, Schraw, dan Ronning, 1999).
Perspektif konstruktivisme juga mempunyai pemahaman tentang belajar yang lebih menekankan proses daripada hasil. Hasil belajar sebagai tujuan dinilai penting, tetapi proses yang melibatkan cara dan strategi dalam belajar juga dinilai penting. Dalam proses belajar, hasil belajar, cara belajar, dan strategi belajar akan mempengaruhi perkembangan tata pikir dan skema berpikir seseorang. Sebagai upaya memperoleh pemahaman atau pengetahuan siswa (mengkonstruksi) atau membangun pemahamannya terhadap fenomena yang ditemui dengan menggunakan pengalaman, struktur kognitif, dan keyakinan yang dimiliki (Jonassen, 1991). Dengan demikian pemahaman atau pengetahuan dapat dikatakan bersifat subjektif  oleh karena sesuai dengan proses yang digunakan seseorang untuk mengonstruksi pemahaman tersebut. Sebagai contoh adalah konsep “jauh dan dekat”. Misalnya seorang penduduk berjalan bersama seorang yang terbiasa hidup di kota. Penduduk desa mengatakan “Oh, tempatnya dekat, hanya dibalik bukit itu”. Bagi orang yang hidup di kota dan tidak terbiasa berjalan jauh, berjalan kaki satu meter saja sudah terasa jauh sekali dan melelahkan. Tetapi bagi penduduk desa, jarak tersebut bukan apa-apa, karena ia terbiasa tiap hari berjalan ke hutan yang jauh untuk mencari kayu bakar. Begitu pula dengan konsep “besar-kecil”. Sepasang suami istri muda yang baru menikah mengganggap bahwa tinggal di rumah berukuran 80 m2 dengan dua kamar cukup besar dan longgar. Tetapi beberapa tahun kemudian setelah dua anaknya tumbuh besar, dan dipengaruhi pula oleh konsep pendidikan bahwa untuk mengembangkan kejiwaan yang sehat anak-anak yang menjelang remaja sebaiknya mempunyai kamar sendiri, mereka menganggap rumah menjadi terasa kecil dan sempit.
Contoh tersebut menunjukkan bahwa pemahaman seseorang terhadap suatu konsep dapat berkembang dan berubah. Perkembangan dan perubahan terhadap pemahaman konsep terjadi sesuai pengalaman dan interaksi dengan pandangan lain yang ditemukan kemudian.
Dalam teori belajar konstruktivisme, pembelajaran di kelas dilihat sebagai proses konstruksi pengetahuan oleh siswa. Jadi, pada teori belajar ini mengharuskan siswa bersikap aktif untuk mengembangkan pengetahuannya bukan pembelajar atau orang lain. Siswalah yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Dalam proses ini siswa mengembangkan gagasan atau konsep baru berdasarkan analisis dan pemikiran ulang terhadap pengetahuan yang diperoleh pada masa lalu dan masa kini. Selain itu, kreativitas dan keaktifan siswa akan sangat membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa.
Dengan demikian, pembelajaran dengan menggunakan teori konstruktivisme ini perlu disusun berorientasi lebih kepada kebutuhan dan kondisi siswa, dengan memicu rasa ingin tahu dan keterampilan memecahkan masalah melalui inquiri learning, reflective learning dan problem-based learning.
Hakikat pembelajaran konstruktivisme oleh Brooks dan Brooks dalam Degeng mengatakan baha pengetahuan adalah non-obyektif, bersifat temporer, selalu berubah, dan tidak menentu. Belajar dilihat sebagai penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkret, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. Mengajar berarti menata lingkungan agar si belajar termotivasi dalam menggali makna serta menghargai ketidakmenentuan. Atas dasar ini maka si belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung pada pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya. (Mohammad Jauhar, 2011: 36).
Ciri-ciri dari pembelajaran konstruktivisme adalah bahwa belajar merupakan proses aktif untuk mengkonstruksi pengetahuan dan bukan proses menerima pengetahuan. Proses pembelajaran yang terjadi lebih dimaksudkan untuk membantu atau mendukung proses belajar, bukan sekadar untuk menyampaikan pengetahuan (Cunningham & Duffy, 1996, p.172). Sehingga penekanannya bukan pada bagaimana “mentransfer” ilmu sebagaimana menyuapi siswa dengan makanan jadi, tetapi pada cara “mentransform” struktur berpikir dan pengetahuan, dimana siswa mengolah pemahamannya dari yang disiapkan guru.



2.2  Premis Dasar Teori Belajar Konstruktivisme
Asumsi-asumsi dasar dari konstruktivisme seperti yang diungkap oleh Merril (1991) adalah sebagai berikut.
1)         Pengetahuan dikonstruksikan melalui pengalaman.
2)         Belajar adalah penafsiran personal tentang dunia nyata.
3)         Belajar adalah sebuah proses aktif di mana makna dikembangkan berdasarkan pengalaman.
4)         Pertumbuhan konseptual berasal dari negoisasi makna, saling berbagi tentang perspektif ganda dan pengubahan representasi mental melalui pembelajaran kolaboratif.
5)         Belajar dapat dilakukan dalam setting nyata, ujian dapat diintergrasikan dengan tugas-tugas dan tidak merupakan aktivitas yang terpisah (penilaian autentik) (Suyono dan Hariyanto, 2011:106).

2.3     Prinsip – Prinsip Belajar Konstruktivistik
Prinsip – prinsip yang sering diambil dari konstruktivistik (Trianto, 2011: 75), antara lain:
1)         Pengetahuan dibangun oleh siswa secara aktif
2)         Tekanan dalam proses belajar terletak pada siswa
3)         Mengajar adalah membantu siswa belajar
4)         Penekanan dalam proses belajar lebih kepada proses bukan hasil akhir
5)         Kurikulum menekankan partisipasi siswa
6)         Guru sebagai fasilitator
Secara umum, prinsip – prinsip tersebut berperan sebagai referensi dan alat refleksi kritis terhadap praktik, pembaharuan, dan perencanaan pendidikan.

2.4        Jenis-jenis Teori Belajar Konstruktivisme
Pemahaman orang tentang konstruktivisme beragam, karena konstruktivisme memang mempunyai beberapa perwujudan tergantung dari sisi mana dilihatnya. Untuk dapat memahami perspektif konstruktivisme dengan utuh, maka perlu dibahas dua sisi bentuk konstruktivisme, yaitu konstruktivisme individual (individual constructivism) dan konstruktivisme sosial (social constructivism). Menurut perspektif konstruktivis suatu pengetahuan dibangun sendiri oleh siswa dengan menggunakan pengalaman dan struktur kognitif yang sudah dimiliki. Tetapi hal ini tidaklah berarti tidak dimungkinkannya pemahaman bersama atau pemahaman yang sama terhadap suatu realitas. Sekelompok orang dapat mempunyai pemahaman yang sama terhadap suatu fenomena atau realitas tertentu melalui interaksi sosial dan kolaborasi bersama dalam membangun makna.
Penjelasan di atas juga selaras dengan teori yang dikemukakan oleh Piaget dan Vygotsky dalam menjelaskan tentang belajar.

2.4.1  Teori Konstruktivisme Individual dari Piaget
Piaget (1990) menjelaskan pentingnya berbagai faktor internal seseorang seperti tingkat kematangan berpikir, pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya, konsep diri, dan keyakinan dalam proses belajar. Berbagai faktor internal tersebut mengindikasikan kehidupan psikologis seseorang, serta bagaimana dia mengembangkan struktur dan strategi kognitif, dan emosinya.
Piaget menjelaskan bahwa perkembangan kognitif manusia sesuai urutan atau sequence tertentu. Kemampuan berpikir pada satu tahapan yang lebih tinggi merupakan perkembangan dari tahapan-tahapan sebelumnya. Pada tahapan yang lebih tinggi seseorang lebih mampu berpikir terorganisasi dan abstrak. Piaget menyebutnya sebagai kemampuan untuk mengembangkan skema berpikir.
Misalnya sekelompok anak TK diberi mainan berupa potongan-potongan kayu dengan berbagai bentuk dan bermacam warna. Mereka bebas melakukan apa saja dengan potongan-potongan kayu tersebut. Ternyata yang dilakukan anak-anak tersebut beraga, ada yang mengelompokkan berdasarkan warna merah saja, ada juga yang mengambil atau mengumpulkan potongan kayu yang mempunyai bentuk bintang apapun warnanya. Tetapi ada pula anak yang mengumpulkan potongan kayu yang berbentuk kotak dan hanya yang berwarna kuning saja. Hal ini menunjukkan perkembangan skema berpikir yang berbeda . Pada tahap lanjut mereka dapat menggambar sendiri berbagai bentuk tersebut dengan pilihan warna tertentu, dan menempatkannya dalam konteks yang relevan, misalnya entuk bintang dengan latar belakang langit, atau bentuk bulat bebatuan di taman dan lainnya.
Menurut Piaget, proses berpikir melibatkan dua jenis proses yang saling berhubungan, yaitu mengorganisasikan dan mengadaptasi atau mengubah informasi (pengetahuan). Ketika mengorganisasikan pengetahuan, yang dilakukan seseorang adalah membedakan informasi yang penting dari yang tidak penting, atau konsep utama dengan jabarannya, serta melihat saling keterkaitan antara satu konsep dengan konsep lainnya. Di samping itu, seseorang akan melakukan proses adaptasi ketika belajar, yaitu melalui asimilasi dengan cara mengaitkan pengetahuan baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki, atau melalui proses akomodasi terhadap pengetahuan baru, dengan sedikit banyak mengubah struktur kognitif yang telah dimiliki (Udin S. Winataputra, 2007).

2.4.2        Teori Konstrutivisme Sosial dari Vygotsky
Seorang psikolog dari Rusia yang terkenal bernama Vygotsky adalah penganjur konstruktivisme lainnya. Vygotsky berpendapat bahwa pengetahuan dibangun secara sosial, dalam pengertian bahwa peserta yang terlibat dalam suatu interaksi sosial akan memberikan kontribusi dan membangun bersama makna suatu pengetahuan. Dengan demikian proses yang terjadi akan beragam sesuai dengan konteks kulturalnya.
Proses dan konteks kultural yang beragam juga menghasilkan ‘belajar’ yang beragam pula. Sebagai contoh kita dapat mengamati bagaimana anak-anak kita mempelajari suatu konsep melalui modus tertentu. Sebelum media visual banyak digunakan, anak-anak mempelajari nilai-nilai yang berlaku melalui apa yang di dengar dari orang lain. Sebelum tidur, ayah atau ibu akan menceriterakan cerita yang memuat pengajaran nilai kepada anak-anaknya, dan dalam kesempatan itu anak biasanya banyak bertanya tentang mengapa demikian, apa yang tejadi dan sebagainya. Dalam masyarakat modern dewasa ini, pada umumnya orang tua hampir-hampir tidak punya waktu lagi untuk berceritera kepada anaknya. Anak-anak lebih mengandalkan tayangan televisi (yang didengar dan dilihat) untuk membentuk pemahaman tentang nilai-nilai tertentu. Besar kemungkinan pemahaman anak terhadap suatu nilai sebagai hasil belajar tidak akan sama melalui kedua proses yang berbeda tersebut. Kesempatan berdialog melalui menonton program televisi kalaupun terjadi kadarnya tidak terlalu tinggi.
2.4.3        Teori Konstruktivisme di Indonesia
Perspektif konstruktivisme buka merupakan teori belajar yang asing bagi perspektif pendidikan di Indonesia. Ki Hajar Dewantoro, seorang tokoh pendidikan nasional, sudah lama memperkenalkan pendekatan pendidikan yang diungkapkan melalui tiga prinsip utama peran pendidik, yaitu “ing ngarso sungtulodo” (bila berada di depan anak didik, guru harus memberikan contoh atau tauladan), “ing madyo mangun karso” (bila ditengah-tengah siswa, bangunkan keinginan anak untuk belajar) dan “tut wuri handayani” (bila berada di belakang anak didik, beri dorongan semangat). Dalam wawasan ini, sebenarnya siswalah yang mempunyai peranan penting dalam belajar, sedangkan guru secara fleksibel menempatkan diri sebagaimana diperlukan oleh siswa dalam proses emahami dunianya. Pada suatu saat, guru memberi contoh atau model bagi siswanya, dan pada saat yang lain guru membangun rasa ingin tahu dan keinginan anak untuk mempelajari sesuatu yang baru. Pada saat-saat tertentu guru membiarkan anak mengeksplorasi dan bereksperimen sendiri dengan lingkungannya, guru cukup memberi semangat dan arahan saja.
2.5 Karakteristik Pembelajaran Konstruktivisme
2.5.1 Karakteristik Perspektif Konstruktivisme
           Beberapa Karakteristik yang juga merupakan prinsip dasar perspektif konstruktivisme dalam pembelajaran adalah sebagai berikut.
1)      Mengembangkan strategi alternatif untuk memperoleh dan menganalisis informasi.
2)      Dimungkinkannya perspektif jamak (multiple perspective) dalam proses belajar.
3)      Peran siswa utama dalam proses belajar, baik dalam mengatur atau mengendalikan proses berpikirnya sendiri maupun ketika berinteraksi denganlingkungannya.
4)      Penggunaan scaffolding dalam pembelajaran.
5)      Peranan pendidik/guru lebih sebagai tutor, fasilitator dan mentor untuk mendukung kelancaran dan keberhasilan proses belajar siswa
6)      Pentingnya kegiatan belajar dan evaluasi belajar yang otentik
Prinsip-prinsip dasar tersebut dapat diterapkan guru dalam pembelajaran, misalnya dengan:
1)      Menyeimbangkan Strategi Alternatif untuk Memperoleh dan Menganalisis Informasi
               Siswa perlu dibiasakan untuk dapat menemukan (mengakses) informasi dari berbagai sumber, seperti buku, majalah, koran, pengamatan, wawancara, dan dengan menggunakan `internet; yang sekarang sedang giat dikampanyenya oleh pemerintah. Sesuai dengan tingkat perkembangan berpikir siswa, mereka perlu belajar menganalisis informasi, sejauh mana kebenarannya, asumsi yang melandasi informasi tersebut, bagaimana mengklasifikasikan informasi dan menyederhanakan informasi yang banyak. Atau dengan istilah lain siswa dilatih bagaimana `memproses informasi.' Ketika mempelajari suatu materi, siswa dapat mencoba untuk membuat ringkasan dengan mengidentifikasi inti atau esensi mated, membuat pertanyaan berkaitan dengan materi, mencoba membuat penjelasan lanjut dari materi yang dipelajari, atau bahkan membuat prediksi atau perkiraan apa yang akan terjadi pada penerapan konsep materi yang dibahas. Dalam hal ini guru perlu aktif dan kreatif dalam memberikan penugasan kepada siswa. Dalam proses belajar, kesalahan berpikir yang dilakukan siswa secara positif dapat dilihat sebagai indikator bagaimana cara berpikir siswa sehingga guru dapat memancing atau mendorong siswa untuk mencari alternatif berpikir lain, yang dinilai lebih baik.
2)      Dimungkinkannya perspektif jamak (multiple penspective) dalam proses belajar
                  Sebagai suatu proses dialogis baik antara siswa dengan guru maupun dengan siswa yang lain, dalam belajar akan muncul pendapat, pandangan dan pengalaman yang beragam. Dalam menjelaskan suatu fenomena, di antara siswa pun akan terjadi perbedaan pendapat yang dipengaruhi oleh pengalaman, budaya dan struktur berpikir yang dimiliki. Sebagai contoh, ketika anak-anak belajar tentang aktivitas letusan gunung Merapi di Jawa Tengah bulan Mei 2006 yang lalu, sosok Mbah Marijan sebagai `penunggu' gunung Merapi mungkin akan menarik perhatian siswa saat membicarakan tentang pentingnya mengungsi pada saat dinyatakan `awas Merapi' oleh Badan pengawas Gunung Merapi. Mengapa Mbah Marijan meholak untuk mengungsi, bahkan ketika dihimbau dan dibujuk oleh berbagai pihak yang mengkuatirkan keselamatannya? Dalam kesempatan diskusi siswa ini, pendapat yang diwarnai pemikiran ilmiah akan bertemu dan berinteraksi dengan pendapat yang berlandaskan kultural, kebiasaan dan kepercayaan setempat. Dalam hal ini tidak ada `hanya satu' kebenaran yang berlaku. Siswa perlu diperkenalkan dan diizinkan berpikir plural, supaya dapat memahami kenyataan yang berlaku dengan lebih baik.
3)      Siswa mempunyai peran utama dalam proses belajar, baik dalam mengatur atau mengelola proses berpikirnya sendiri maupun ketika berinteraksi dengan lingkungannya
            Dalam usaha untuk menyusun pemahaman, siswa harus aktif dalam kegiatan belajar bersama. Dalam hal ini siswa perlu terlatih untuk `mendengarkan' dan mencerna dengan baik pendapat siswa lain dan guru. Sesuai dengan tahap perkembangan emosi dan berpikirnya dia perlu dapat menganalisis pendapat tersebut dikaitkan dengan pengetahuan yang dimilikinya. Dia perlu mampu bertanya evaluatif seperti, `apakah pendapat yang ini sama atau berbeda dengan pendapat saya?' `mengapa berbeda?', `mengapa dia berpendapat seperti itu?, dan sebagainya. Dan pada akhirnya dia mampu menyusun pengertian dan pendapat yang bersifat inklusif, yang merupakan rekonstruksi pemahaman sendiri dan dengan mempertimbangkan pendapat lain yang berbeda.
4)      Penggunaan scaffolding dalam proses pembelajaran
Scaffolding merupakan proses memberikan tuntunan atau bimbingan kepada siswa untuk mencapai apa yang harus dipahami dari apa yang sekarang sudah diketahui.
            Berdasarkan pemahaman guru terhadap kemampuan siswa, siswa didorong dan ditugaskan untuk mengerjakan tugas yang sedikit lebih sulit, dan selangkah lebih tinggi dari kemampuan yang saat ini dimiliki dengan intensitas bimbingan yang semakin berkurang. Dengan cara ini kemampuan berpikir siswa akan berkembang, di samping sesuai dengan perkembangan intelektual siswa, juga dipengaruhi oleh `tantangan berpikir' dalam penugasan dari guru.
5)      Peranan pendidik/guru lebih sebagai tutor, fasilitator dan mentor untuk mendukung kelancaran dan keberhasilan proses belajar siswa
            Dalam hal ini terjadi perubahan paradigma dari `pembelajaran berorientasi guru' menjadi `pembelajaran berorientasi siswa.' Siswa diharapkan mampu untuk secara sadar dan aktif mengelola belajarnya sendiri, dalam arti mempunyai pemahaman tentang tujuan belajarnya dan pengertian yang jernih mengapa tujuan belajar tersebut mempunyai nilai bagi dirinya, serta bagaimana dia akan mencapainya.
Perhatikan cantoh berikut ini.
            Guru menugaskan siswa untuk mencari informasi tentang daya saing produk kosmetik Indonesia dibandingkan dengan produk negara lain, khususnya untuk kelas menengah ke bawah.
Siswa tersebut jelas dengan tujuan yang harus dicapai, dan bahwa metalui tugas ini dia akan dapat melakukan riset sederhana dan membuat kesimpulan berdasarkan data yang diperoleh: Sebagai hasil akhir dia harus dapat menjelaskan bagaimana daya saing produk kosmetik Indonesia dibandingkan dengan produk dari negara lain. Dia berpendapat tujuan belajar ini cukup bernilai baginya karena kemampuan melakukan riset akan berguna bagi perkembangan pengetahuan dan keterampilan akademisnya.
            Untuk mencapai itu, dia merancang untuk mencari data melalui kliping koran dan mengecek asal negara produk kosmetik langsung di lapangan: Untuk itu dia merencanakan, pergi ke swalayan dan mencatat negara mana yang memproduksi suatu produk. Ternyata hasil catatan dia menunjukkan banyak sekali produk yang 'made-in' Thailand atau Malaysia, dan hanya sedikit jenis barang yang dibuat di Indonesia. Dari data ini dan kliping koran yang relevan maka siswa tersebut dapat memberikan presentasi yang cukup bagus, rinci dan informatif, dan menyimpulkan bahwa saat ini daya saing produk Indonesia benar-benar ditantang oleh produk negara-negara tetangga di Asia Tenggara, yaitu oteh Thailand dan Malaysia, belum lagi kalau memperhitungkan banjir produk dari China.
            Penugasan seperti ini jelas akan membuat siswa menjadi aktif dan termotivasi untuk belajar, karena dia dapat melihat manfaat atau nilai tugas bagi perkembangan intelektualnya. Dalam hal ini peran guru lebih sebagai wasit, atau mediator bila diperlukan, untuk memfasilitasi siswa memperoleh data dan melakukan analisis dengan cermat.
6)      Pentingnya kegiatan belajar dan evaluasi belajar yang otentik
            Yang dimaksudkan dengan kegiatan belajar yang otentik adalah seberapa dekat kegiatan yang dilakukan dengan kehidupan dan permasalahan nyata (sesungguhnya) yang terjadi dalam masyarakat, yang akan dihadapi siswa ketika berusaha menerapkan pengetahuan tertentu. Dalam berbagai contoh kondisi riil ini siswa perlu belajar bahwa tidak ada cara pemecahan masalah tertentu yang tepat digunakan untuk berbagai kondisi tersebut. Siswa pada tahap perkembangan intelektual tertentu cenderung menyederhanakan masalah yang kompleks dan menganggap cara pemecahan masalah yang umum sudah akan memadai. Demikian pula ketika guru menguji hasil belajar siswa sebaiknya juga menggunakan pendekatan yang otentik, misalnya menggunakan kasus yang terjadi atau mendekati kenyataan.

2.5.2 Mengembangkan Komunitas Pembelajar Di Kelas
      Suasana dan kegiatan pembelajaran dapat dikemas bersifat kompetitif atau kolaboratif, tergantung tujuan yang ingin dicapai. Pembelajaran yang bersifat kompetitif dapat menggunakan perlombaan atau pertandingan untuk mencari dan menentukan hasil kerja siapa yang terbaik. Pendekatan ini dapat saja dipilih dengan catatan ada kondisi tertentu yang harus dipenuhi, yaitu bahwa setiap individu siswa mempunyai kemampuan yang setara dan bahwa keberhasilan ditentukan sepenuhnya oleh usaha siswa dan bukan oleh faktor-fahtor lain di luar kendali siswa (Stipek, 1999). Secara individu siswa berusaha untuk `mengonstruksi' sesuatu, dapat berupa produk IPA, ceritera, hasil penelitian, dan sebagainya. Pendekatan ini dapat menghasilkan hasil terbaik siswa, tetapi terkadang juga dapat menimbulkan hambatan psikologis pada siswa, sebab mereka lebih mencemaskan bagaimana supaya menang dan tidak merasa malu kepada guru daripada bagaimana dapat mempelajari suatu kemampuan atau pengetahuan secara optimal.
      Pembelajaran dapat juga dikemas sebagai suatu kegiatan kerja sama (cooperative efforts). Dalam tim siswa bekerja sama untuk mengonstruksi suatu hasil kerja bersama. Dalam suasana kerja sama siswa biasanya merasa lebih termotivasi untuk belajar dan berprestasi, karena mereka beranggapan kemungkinan untuk berhasil lebih besar (C.Ames, 1984). Dalam proses belajar bersama siswa berpikir dan bekerja bersama dan saling mengamati, atau bahkan meniru, strategi pemecahan masalah dari yang lain. Mereka berbagi informasi dan saling mengoreksi, bahkan berperan sebagai tutor sebaya (peer tutoring) untuk temannya. Dalam proses seperti ini jelas bahwa pemahaman yang dihasilkan akan lebih baik dibandingkan dengan pemahaman seorang siswa yang belajar sendiri. Dalam auasana belajar bersama yang kooperatif seluruh siswa membentuk suatu masyarakat pembelajar untuk tumbuh bersama.
      Dalam pembelajaran collaboratif ada lima aspek yang perlu dipenuhi supaya proses pembelajaran menjadi efektif, yaitu: saling ketergantungan yang positif, tanggung jawab individual, proses kerja kelompok, keterampilan sosial, dan tugas yang spesifik (Johnson, R. & David, 1998). Guru perlu dapat menciptakan kondisi yang mendukung dan melatih atau membiasakan siswa supaya terampil bekerja dalam kelompok.
2.5.3 Model Pembelajaran Konstruktivistik
         Dalam praktek seringkali tidak selaras antara tujuan pembelajaran dengan model pembelajaran yang digunakan. Meskipun secara sadar guru menganggap penting tujuan pembelajaran yang berupa kemampuan berpikir analitis-kritis, atau sikap pribadi yang toleran menghargai keragaman pendapat, tetapi model pembelajaran yang digunakan guru tanpa disadari justru dapat menekan pertumbuhan sikap analitis-kritis siswa, misalnya sikap guru yang otoriter. Mungkin sekarang sudah bukan zamannya lagi guru merasa tersinggung atau marah apabila pendapatnya dibantah oleh siswa, atau bersikap meremehkan ketika siswa mengemukakan gagasan yang kedengaran aneh.
         Demikian pula halnya dengan prinsip-prinsip pembelajaran konstruktivisme. Pembelajaran seperti apakah yang dapat mendukung proses belajar siswa untuk dapat mengonstruksi pemahaman dan pengetahuan melalui penalaran individual dan dialog dengan teman, guru dan lingkungannya. Dalam hal ini guru perlu kreatif untuk dapat menciptakan berbagai proses pembelajaran yang dimaksud, tentunya dilandasi dengan pemahaman yang memadai tentang pembelajaran yang baik dan konstruktivistik.
         Pada bagian berikut ini akan disajikan contoh suatu model pembelajaran konstruktisitik, yang disusun dengan mempertimbangkan berbagai karakteristik yang dibahas sebelumnya. Dua model pembelajaran konstruktivistik yang sering digunakan adalah pembelajaran menemukan (discovery learning) dan pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning).
         Cobalah ingat sesuatu yang pernah Anda pelajari dari pengalaman atau percobaan yang Anda lakukan sendiri, bukan dari bacaan. Apakah pengalaman seperti itu memberikan kesan yang lebih mendalam bagi Anda dibandingkan dengan sekadar membaca atau mendengar dari orang lain?
Sewaktu masih sekolah dasar kami pernah melakukan percobaan lab kimia, yaitu mencampur zat-zat kimia yang berbeda dan melihat reaksi yang terjadi. Saya kebagian untuk mencampur zat kalsium sulfida dengan air, dan tiba-tiba mencium bau yang mPmbuat mual. Teman - teman lain satu kelompok mulat tertawa-tawa dan saling tuding, dasar anak-ariak. Saya baru paham bahwa bau itu dihasilkan oleh asam sulfida. Sampai tua bau yang khas itu saya ingat, dan kesannya akan lain kalau hanya membaca dari buku teks.
         Percobaan ini dapat dikategorikan sebagai discovery learning karena dalam kesempatan tersebut siswa berinteraksi dengan lingkungan fisik atau sosialnya, yaitu dengan melakukan percobaan lab dan melihat implikasinya pada kehidupan sosial. Siswa mencoba untuk mencari tahu dan menjelaskan apa yang terjadi, dan mengapa sesuatu terjadi, dengan menggunakan berbagai sumber belajar, misalnya dengan melakukan studi literatur, atau melakukan wawancara. Supaya percobaan yang dilakukan bermanfaat, sebaiknya siswa telah terlebih dahulu memahami berbagai konsep atau prinsip yang dibutuhkan. Dalam discovery learning siswa dapat saja melakukan kesalahan (trial and error), dan kesalahan ini justru menjadi bagian dari proses belajar.
         Daiam beberapa penelitian ditemukan bahwa seseorang akan mengingat dan menggunakan kembali pengetahuan yang diperoleh, apabila pengetahuan tersebut dihasilkan dari upaya mengonstruksi sendiri. (McNamara & Healy, 1995).
Belajar melalui pengalaman (leaniuzg by doing) dalam bentuk eksplorasi dan memanipulasi akan menjadikan sesuatu yarb dipelajari diingat untuk waktu lama (long-term memory). Dan khususnya bagi anak-anak usia sekolah dasar, sesuai dengan tahap perkembangannya, mereka lebih mudah memahami suatu fenomena melalui pengalaman konkret, dibandingkan hanya mendengar dari guru saja.
Dalam pembelajaran melalui menemukan intinya adalah kerja kelompok, penugasan dan berbagi informasi.  Dalam hal ini guru perlu merancang langkah-langkah sebagai berikut.
1)      Menentukan hasil belajar siswa dan merancang tugas
2)      Merancang tahapan atau langkah-langkah sebagai pedoman kegiatan siswa.
3)      Memastikan siswa telah memahami konsep dan prinsip yang relevan (prior knowledge)
4)      Menugaskan siswa dalam kerja kelompok atau individual.
5)      Memberi kesempatan siswa melaporkan temuannya, dan mendorong mereka mengidentifikasi bagaimana mereka dapat menerapkan temuan mereka dalam konteks yang lain.
6)      Memberi balikan dan pengayaan sebagaimana diperlukan.
Agar proses pembelajaran menjadi efektif, guru perlu mempunyai sikap sebagai berikut.
1)      Pada awal proses pembelajaran siap menjawab pertanyaan siswa dan   membantu mereka memulai kegiatan.
2)      Mendorong siswa untuk membuat keputusan sendiri
3)      Mendorong siswa membuat pertanyaan `apa yang akan terjadi, bila...' (what-if questions)
4)      Mendorong siswa menggunakan metode atau cara belajarnya sendiri 
5)      Memfasilitasi diskusi, guru perlu bersikap netral tidak menganggap dan langsung mengkoreksi pendapat dan pemikiran siswa yang `salah' tetapi usah.akan pendapat tersebut didiskusikan oleh siswa.
6)      Memasukkan unsur yang tidak diperkirakan sebelumnya (surprise).
7)      Mengusahakan suasana belajar yang menyenangkan. 

2.6                                            Penggunaan Teori Belajar Konstruktivisme dalam Pembelajaran
Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak adalah sebagai berikut :
a.       Tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memimiliki kemampuan berpikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi;
b.      Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memecahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan;
c.       Peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitator dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik (Poedjiadi, 1999: 63).
Implikasi teori belajar konstruktivisme dalam proses pembelajaran yaitu, pertama pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa. Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak. Kedua teori belajar konstruktivisme menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui lingkungannya. Bahkan secara spesifik mengatakan bahwa seseorang lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada apa yang telah diketaui orang lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan mempengaruhi terjadinya proses belajar tersebut (Hudoyo 1990: 4).
Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut : (1) memberi kesempatan pada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, (2) memberi kesempatan pada siswa untuk berpikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif (3) memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru, (4) memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki sisa, (5) mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan (6) menciptakan lingkungan belajar yang kondusif (Tyler, 1996:20).
Pembelajaran yang mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih memfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.

2.7     Konstruktivisme Dalam Pembelajaran Bidang Studi
1)                             Konstruktivisme dalam Pembelajaran IPA
Contoh Proses Pembelajaran Fisika
Berikut ini adalah pengalaman pembelajaran yang dilakukan oleh Pak Adam ketika membahas pokok bahasan 'gerak, kecepatan dan bidang' dalam mata pelajaran fisika. (Diadaptasi dari Leonard & Garace, 1996)
Digunakan dua pipa yang sejajar sama tinggi, meskipun panjangnya tidak sama karena pada pipa 2 terdapat lekukan yang dalam. Pada ujung pipa 1 dan 2 diluncurkan bola yang sama besar dan beratnya. Pertanyaannya adalah apabila kedua bola tersebut dilepaskan pada saat yang sama, bola pada pipa manakah yang akan mencapai ujung pipa atau garis finish lebih dulu?
Pada awalnya banyak siswa yang menjawab bahwa bola pada pipa 1 akan lebih cepat mencapai ujung pipa. Pipa 2 lebih panjang sehingga jarak yang ditempuh bola juga lebih lama.
Siswa lainnya memperkirakan kedua bola akan mencapai ujung pipa pada saat yang sama, karena bola pada pipa 2 meskipun akan bergerak lebih cepat pada bidang yang menurun, akan melambat ketika sampai pada bidang yang menanjak.
Tidak ada seorang pun yang memperkirakan bahwa bola pada pipa 2 akan lebih cepat daripada pada pipa 1.
Ketika dicobakan, anak-anak menjadi terheran-heran, karena setiap kali dilakukan percobaan bola pada pipa 2 setalu mendahului bola pipa 2. Apa yang ada di dalam pikiran mereka tentang apa yang terjadi? Mengapa demikian? Apa ini rahasianya?
Saya sampaikan kepada mereka bahwa ini bukan sulap, dan saya minta mereka untuk berpikir ulang mencermati apa yang terjadi pada bola tersebut ketika mencapai bagian-bagian pipa tertentu.
Pada mulanya mereka merasa segan mengemukakan pendapat, mungkin karena merasa diuji guru sehingga takut memberi jawaban yang salah.
Tapi saya katakan kepada mereka bahwa yang saya inginkan adalah mereka mau berbagi pendapat dengan teman-temannya yang lain, mendiskusikan dengan bebas apa yang terjadi. Satu dua siswa mulai berbicara dan akhirnya menjadi riuh karena hampir semua ikut bicara. Ada yang mengoreksi, ada yang menyatakan setuju, mereka merasa bebas mengemukakan apa yang mereka pikirkan. Dan akhirnya mereka sampai pada kesimpulan sebagai berikut.
Kedua bola mencapai titik A pada saat yang sama dengan kecepatan yang sama. Bidang miring dari titik A ke B mempercepat gerak bola sehingga mencapai titik B lebih cepat daripada bola pipa 2.
Ketika mencapai titik C bola mana yang lebih cepat? Ananda menjawab bahwa keduanya akan tiba pada saat yang sama. "Mengapa kamu berpikir begitu?" "karena bola pipa 2 meskipun bergerak cepat pada bidang menurun, akan. melambat ketika melalui bidang yang menanjak," sahutnya. Pendapat ini ternyata mengundang pendapat pro dan kontra, karena hasil pengamatan menunjukkan bola pada pipa 2 selalu mendahului bola pipa 2.
Melalui pertanyaan-pertanyaan saya berusaha mengarahkan pemikiran mereka pada panjang pipa yang merupakan jarak yang ditempuh bola. Dan pada akhirnya mereka dapat menemukan kuncinya, yaitu bahwa bola pipa 2 bergerak lebih cepat daripada bola pada pipa 1, dan kecepatan itu memungkinkan dia untuk melalui jarak yang lebih panjang dengan waktu lebih pendek, sehingga sampai lebih cepat. Ada yang langsung menerima, ada juga yang tidak mudah percaya. Nah, terjadilan debat dan diskusi di antara siswa. Yang penting adalah bahwa pada akhirnya anak-anak dapat memahami bagaimana proses berpikir seorang ahli fisika ketika berusaha menjelaskan suatu fenomena.

(Diadaptasi dari Leonard, W. & Gerace, W. (1996)
Berdasarkan pembahasan pada Kegiatan Belajar 1 dan 2, menurut Anda karakteristik pembelajaran konstruktivistik apa saja yang Anda temukan pada contoh pembelajaran di atas?
Kasus pembelajaran di atas merupakan contoh pembelajaran konstruktivisme yang cukup baik. Guru nampaknya menggunakan pendekatan “pembelajaran melalui menemukan.” Siswa aktif berpikir dan mendiskusikan pemikirannya untuk dapat memahami fenomena fisika yang dihadapi. Kita akan mencermati strategi yang digunakan guru dalam proses pembelajaran tersebut.
Dalam proses pembelajaran tersebut guru melakukan kegiatan sebagai berikut.
(1)   Guru memberi suatu kasus untuk dianalisis oleh siswa secara bersama.
(2)   Guru menugaskan siswa untuk mfngamati suatu fenomena yang merupakan perwujudan konsep atau prinsip terter.tu.
(3)   Guru mengundang dan mendorong siswa untuk be-pendapat.
(4)   Guru meminta siswa menjelaskan pendapatnya melalui pertanyaan¬pertanyaan, tanpa memberikan penilaian bahwa suatu pendapat `salah' atau `benar'.
(5)   Guru memberikan bimbingan sampai siswa akhirnya dapat membuat kesimpulan sendiri.
Dalam melaksanakan pembelajaran diskoveri guru perlu memperhatikan beberapa saran sebagai berikut.
(1)   Pastikan siswa telah mengenal dan memahami beberapa konsep dasar yang diperlukan yang relevan dengan tugas yang diberikan guru.
(2)   Perlu menyusun struktur kegiatan sebagai acuan siswa. Hat ini diperlukan misalnya untuk kegiatan lab ipa, kalau tidak ada prosedur yang jelas percobaan yang dilakukan siswa dapat menjadi tidak bermakna atau bahkan berbahaya.
(3)   Bimbing siswa untuk menghubungkan hasil pengamatan dan analisis mereka dengan berbagai konsep dan prinsip lain. Dengan ini guru menggunakan `pembelajaran tematik' (thematic instruction) untuk mendorong.siswa membuat kaitan hubungan dan berpikir makro.

2)  Pembelajaran Konstruktivistik dalam Bidang IPS
        Dalam suatu pelajaran IPS guru menugaskan siswa untuk membentuk kelompok. Guru kemudian memberi foto kopi peta provinsi Lampung kepada setiap kelompok. Setelah beberapa saat memberi kesempatan setiap anggota mencermati peta tersebut, guru bertanya "Coba, apa yang menarik dari nama-nama tempat di peta itu?" Siswa bergantian menjawab bahwa banyak nama desa berbahasa Jawa, di 'antaranya seperti 'Pringsewu', `Sukohardjo', dan 'Kalirejo'. 'Menurut kalian mengapa terjadi demikian?'.
Guru berusaha untuk membimbing arah berpikir siswa, mengaitkan kenyataan tersebut dengan aspek sosial, ekonomi dan budaya, seperti 'transmigrasi', 'hubungan sosial antar budaya' atau multikultural, dan sebagainya.
Dalam kesempatan berdiskusi dengan kelompok, siswa berusaha mengembangkan pemahaman tentang interaksi berbagai konsep IPS melalui nama desa.
Menurut Anda dapatkah pembelajaran di atas dikategorikan sebagai pembelajaran tematik, yaitu pembelajaran yang dikembangkan dari suatu tema/topik? Apabila ya, kira-kira tema apa yang sesuai dengan contoh pembelajaran di atas?
Perhatikan pula contoh berikut ini! 
Dalam suatu pembelajaran matematika, guru bertanya kepada siswa. Saya perlu mengisi bensin mobil saya, dan saya hanya mempunyai uang Rp100.000,00. Harga bensin sekarang Rp4000,00 per liter. Dengan uang tersebut berapa liter bensin yang akan saya peroteh?' Siswa sibuk menghitung dan sating mengecek hasil hitungan dengan teman di dekatnya. `Mirna, jawabnya bagaimana?"
“Hampir 23 liter, Pak," sahut Mirna. 'Tepatnya berapa?' "2,222 liter, Pak. " 
"Bagus. Nah, sekarang, menurut kalian harga bensin saat ini mahal atau murah?"
Melalui pertanyaan ini Pak Guru membawa siswa berpikir tentang berbagai penyebab perubahan harga bensin, kaitannya dengan ketersediaan sumber daya alam, dan sebagainya. Dalam pembelajaran ini siswa mendapat kesempatan untuk berhitung, membahas prinsip ekonomi (naik turunnya harga merupakan fungsi permintaan dengan persediaan barang), dan . pentingnya pengelolaan sumber daya alam dengan baik.
Dalam pembelajaran ini siswa dilatih berpikir lintas disiplin (interdisipliner) dan multi disiplin. Kedalaman dan kompleksitas tujuan pembelajaran tentunya akan bervariasi sesuai dengan jenjang pendidikan.
3)   Evaluasi dalam Pembelajaran Konstruktivisme
       Secara fundamental terdapat perbedaan antara tujuan dan cara mengevaluasi hasil belajar antara pendekatan konstruktivis dengan pendekatan lain yang lebih tradisional. Pada pendekatan tradisional, misalnya pendekatan behavioristik, focus perhatian evaluasi lebih kepada hasil belajar berupa pengetahuan atau kemampuan yang dikuasai. Sedangkan pada pendekatan konstruktivis yang menjadi fokus hasil belajar bukan hanya hasil tetapi juga proses yang teijadi ketika siswa berusaha mengkonstruksi pemahamannya. Den-an demikian perkembangan strategi berpikir siswa juga perlu dievaluasi, apakah siswa telah dapat mengembangkan kemampuan berpikir tinggi (analisis, pemecahan masalah), sebagaimana diharapkan oleh pendekatan konstruktivistik.
       Tes pengetahuan yang dilakukan sebaiknya juga lebih banyak menggunakan soal berbasis kasus, portofolio, dsb. Di samping itu sebaiknya evaluasi siswa tidak terbatas kepada pengetahuan saja, tetapi hasil belajar (kinerja) siswa secara utuh, dengan merrlperhitungkan juga aspek lain seperti keterampilan sosial (yang diperlukan dalam berkolaborasi dalam proses belajar), serta perkembangan afektif (sistem nilai, sikap terhadap behijar, dan sebagainya).
2.8     Keunggulan dan Kelemahan Teori Belajar Konstruktivisme
1)         Keunggulan Teori Belajar Konstruktivistik
a)         Berfikir dalam proses membina pengetahuan baru, murid berfikir untuk menyelesaikan masalah, menjana idea dan membuat keputusan.
b)         Paham, karena murid terlibat secara langsung dalam mebina pengetahuan baru, mereka akan lebih faham dan boleh mengapliksikannya dalam semua situasi.
c)         Ingat, karena murid terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama semua konsep. Yakin Murid melalui pendekatan ini membina sendiri kefahaman mereka. Justeru mereka lebih yakin menghadapi dan menyelesaikan masalah dalam situasi baru.
d)        Kemahiran sosial diperoleh apabila berinteraksi dengan rekan dan guru dalam membina pengetahuan baru.
e)         Menyenangkan, karena mereka terlibat secara terus, mereka paham, ingat, yakin dan berinteraksi dengan sehat, maka mereka akan merasa senang belajar dalam membina pengetahuan baru.
2)         Kelemahan Teori Belajar Konstruktivistik
a)         Siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, tidak jarang bahwa hasil konstruksi siswa tidak cocok dengan hasil konstruksi sesuai dengan kaidah ilmu pengetahuan sehingga menyebabkan miskonsepsi;
b)         Konstruktivisme menanamkan agar siswa membangun pengetahuannya sendiri, hal ini pasti membutuhkan waktu yang lama dan setiap siswa memerlukan penanganan yang berbeda-beda;
c)         Situasi dan kondisi tiap sekolah tidak sama, karena tidak semua sekolah memiliki sarana prasarana yang dapat membantu keaktifan dan kreatifitas siswa;
d)        Meskipun guru hanya menjadi pemotivasi dan memediasi jalannya proses belajar, tetapi guru disamping memiliki kompetensi dibidang itu harus memiliki perilaku yang elegan dan arif sebagai spirit bagi anak sehingga dibutuhkan pengajaran yang sesungguhnya mengapresiasi nilai-nilai kemanusiaan;
e)         Dalam proses belajarnya dimana peran guru sebagai pendidik itu sepertinya kurang begitu mendukung; siswa berbeda persepsi satu dengan yang lainnya;