RSS

ASTIKA DAN NASTIKA (FILSAFAT HINDU)

ASTIKA DAN NASTIKA

ASTIKA
Sistem filsafat Hindu yang tergolong pada klasifikasi Astika adalah sistem atau aliran yang percaya pada kesucian Weda (Autority of the Veda). Menurut klasifikasi ini ada enam aliran yang disebut dengan Sad Darsana (Sad = enam, Darsana = Pandangan, filsafat). Yang termasuk Astika adalah Samkhya, Yoga, Niaya, Waisasika, Mimamsa dan Wedanta.
Dalam pengertian lain selain percaya kepada kesucian Weda, percaya pula pada reinkarnasi (kelahiran kembali) maka yang tergolong Astika tidak hanya enam aliran filsafat tadi termasuk aliran Buddha dan Jaina. Namun yang umum disebut Astika adalah Sad Darsana tadi.
Filsafat Samkhya
Perkataan Samkhya terjadi dari dua kata yaitu sam dan khya, sam artinya bersama-sama dan khya berarti bilangan. Samkhya berarti bilangan bersama-sama atau susunan berukuran bilangan. Dalam Samkhya bilangan mempunyai fungsi-fungsi penting, sebagaimana peranan bilangan pada filsafat Yunani. Walaupun ada juga bilangan yang tidak termasuk ukuran bilangan dalam Samkhya. Inti pembahasan filsafat Samkhya adalah penciptaan alam semesta dengan segala isinya 25 satwa.

Fungsi Bilangan
1.      Bilangan satu : simbol dari Yang Maha Ada yaitu yang Tunggal (Parama Siwa Sang Hyang Widhi). Dalam agama Hindu Yang Maha Ada itu tunggal (satu) digambarkan dengan satu huruf disebut Omkara yang pada adasarnya adalah sepuluh aksara (dasaksara), setelah disarikan menjadi lima aksara (pancaksara), disarikan lagi menjadi tiga aksara (tryaksara), akhirnya kembali pada intinya semula pada angka satu yaitu Omkara (aksara tunggal).
2.      Bilangan dua : menunjukkan yang saling berbeda yaitu Rwabhineda, Purusa Pradana, Centana Acentana, Adwaya Adwayadnyana. Prinsip dua pada Samkhya menimbulkan evolusi setelah adanya pertemuan dalam prinsip itu sendiri, membawa perubahan pada keseimbangan semula.
3.      Bilangan tiga : bilangan bentuk api, sifat api adalah menerangi dan dharmanya api adalah membakar 3 x 7 = 21, merupakan bilangan api terbesar yaitu matahari. Angka 21 sama nilainya dengan 2 + 1 = 3, kembali bilangan api. Dalam hubungan  upacara agama Hindu terutama di Bali, bilangan 3 hampir tidak pernah ketinggalan, sejak bayi lahir sampai tua dan meninggal, yang jelas maksudnya untuk mensucikan (memari sudha) mala (kotoran jasmaniah rohaniah) membakar segala noda dan dukha (penderitaan).
4.      Bilangan empat : bilangan menunjukkan penjuru atau mata angina (catur desa) dengan di masing-masing penjuru berstana dewa tertentu. Kata dewa berasal dari kata div yang berarti bersinar. Dewa adalah sinar dari Sang Hyang Widhi.
Utara               sthana              Wisnu
Timur               sthana              Iswara
Selatan                        sthana              Brahma
Barat               sthana              Mahadewa
5.      Bilangan lima : bilangan dunia dengan keempat penjuru ditambah zenith. Kuadrat bilangan 5 adalah 25 merupakan bilangan untuk melukiskan penciptaan dunia sebagai makro kosmos (bhuwana agung) dan sebagai mikro kosmos (bhuwana alit) dalam ajaran 25 tatwa.
6.      Bilangan delapan : menunjukkan delapan mata angina dan symbol kekuatan Sang Hyang Widhi yang digambarkan dengan Padma anglayang, yaitu gambaran bumi berputar melayang-layang di angkasa mengitari matahari (surya sewana).
7.      Bilangan Sembilan : menunjukkan 9 lubang pada badan manusia dan juga berarti pintu. Bila dihubungkan dengan meru maka angka Sembilan menunjukkan bilangan delapan arah mata angina ditambah dengan satu yaitu di tengah, jumlah tingkat daripada meru, tempat menghormati roh para raja-raja penguasa alam dunia.
Bilangan-bilangan selanjutnya adalah pengadaan dari bilangan satu sampai dengan sembilan atau kelipatan dari bilangan-bilangan itu dan nilainya adalah jumlah dari masing-masing bilangan.
Contoh : di candi Borobudur terdapat 504 patung Buddha. Angka 504 nilainya adalah 5 + 0 + 4 = 9. Bilangan Sembilan menunjukkan Yang Maha Ada atau Adi Buddha dalam ajaran Buddha.
Cetana dan Acetana
Filsafat Samkhya pada dasarnya memulai dari pembahasan Cetana dan Acetana yaitu hakikat dua unsur yang mempunyai kesamaan keutamaannya, gaib tiada terkena dari suka dan duka duniawi. Ia ada tanpa diciptakan atau tanpa sebab, dinamai Cetana dan Acetana di dalam sastra. Dua unsur inilah yang menjadi awal dari penciptaan. Cetana dan acetana adalah dua unsur yang saling bertentangan. Cetana adalah unsur kesadaran yang kekal, sedangkan Acetana adalah kebingungan atau ketidaksadaran yang bersifat awidya. Pertemuan Cetana dan Acetana itu menimbulkan sesuatu yang bersifat jasmaniah. Tetapi jika kedua Cetana dengan Acetana tidak mengadakan pertemuan maka dunia dengan segala isinya tidak akan ada. Cetana dengan Acetana disebut juga Siwa tatwa dengan Majatatwa atau sekala dengan niskala. Cetana itu terbagi lagi menjadi tiga bagian yaitu:
a.       Paramasiwa
b.      Sadasiwa
c.       Siwa
a.    Paramasiwa-Tatwa
Yang pertama ini disebut Parama-Siwa yaitu masih suci nirguna adalah yang kekal selama-lamanya, tidak tunduk oleh ruang tempat dan waktu, hidup tak mengenal lupa, ialah yang disebut dengan Ida Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa).
b.   Sadasiwa-Tatwa
Yang kedua ini disebut Sada-Siwa yaitu bertingkatan dibawah Parama-Siwa adalah juga kekal, tidak hidup tidak mati, tidak ingat dan tidak lupa (saguna Brahma) tersebut sebagai Ida Sang Hyang Widhi yang mempunyai sifat-sifat kemahakuasaanNya yang disebut Padmasana yaitu symbol dari segala macam kemahakuasaan bersusun-susun bagaikan kelopak daunnya bunga teratai. Karena dia yang menempati yaitu yang bagaikan bunga teratai dan dinamai padmasana. Padmasana (tempat kedudukan yang menyerupai bunga teratai) dinamai Cadu Sakti (Catur Sakti) yaitu:
1.      Janana Sakti
2.      Wibhu Sakti
3.      Prabhu Sakti
4.      Kriya Sakti

1.      Jnana Sakti
Berarti maha tahu. Segala kejadian di dunia sekala niskala diketahui semuanya: dilihat, didengar, dipikirkan. Karena itu Jnana Sakti ini berisikan tiga unsur yaitu:
a.       Duradarsana : melihat segala sesuatu yang tidak mungkin dilihat orang
b.      Durasrawa    : mendengar apa yang tidak mungkin didengar orang
c.       Durajnana     : memikirkan apa yang tidak dapat dipikirkan orang
2.      Wibhu Sakti
Berarti sifat Maha Ada meresap memenuhi bhuwana, tiada tempat yang tiada dipenuhi olehNya dimana-mana Dia selalu ada (wyapi-wyapaka). Kekosongan ruang angkasa dipenuhi oleh wujudnya yang Maha Sukma itu.
3.      Prabhu Sakti
Berarti sifatnya Maha Kuasa sebagai pencipta (Utpeti), pemelihara (Sthiti) dan dapat menghilangkan atau menghancurkan segala isi alam (Pralina).
4.      Kriya Sakti
Berarti Maha Karya, dapat melakukan apa saja yang dikehendakiNya. Ini berisi delapan unsur yang dikenal dengan nama Asta Eswarya yaitu:
1.      Anima : kekuasaan untuk mengubah diri sekecil atom dan dapat berhubungan dengan barang-barang yang terkecil sekalipun.
2.      Lagima : kekuatan mengubah badan menjadi ringan sehingga dapat terbang sebagai kapas terbawa angina, demikian juga Ia berat seberat-beratnya.
3.      Mahima : kekuatan untuk menjadikan diriNya tujuan umat, dimana-mana.
4.      Prapti : kekuatan untuk mencapai jarak sejauh-jauhnya. Tidak tunduk pada tempat, ruang dan waktu Ia seketika ada.
5.      Prakamia : kemauan untuk menginginkan segala sesuatu Ia serba jenis tidak tunduk oleh umur tua muda besar kecil.
6.      Isitwa : kekuatan menguasai dan menciptakan, menguasai alam surge dan neraka.
7.      Wastwa : kekuatan memerintah segala sesuatu, tidak tunduk oleh kodrat lahir hidup mati pendeknya Ia ada di bumi, air, cahaya, angina dan langit tidak terbakar oleh api. Tidak basah oleh air karena Ia adalah air.
8.      Yatrakamawasayitwa : kekuatan untuk emnentukan, tidak adanya yang dapat menentang kehendak dan kodratNya, segala yang telah ditakdirkan berlaku, dengan tidak ada sesuatu kekuatan apa pun yang mungkin menghalangiNya.
Demikianlah delapan sifat keagungan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sada Siwa (saguna Brahma) disimpulkan dengan singgasana teratai (padmasana) yang berdaun kelopak delapan (astadala) merupakan lambing dari kemahakuasaanNya menguasai dan mengatur alam semesta beserta makhluk-makhluk di dalamnya.
c.    Siwa (Siwatma-Tatwa)
Yang ketiga setelah Sadasiwa yaitu tingkatan dibawahnya dinamai Siwatma atau disebut juga Sang Hyang Mahasiratatwa, Sang Hyang Dharma, Sang Hyang Jagatkarana, Sang Hyang Icana, dan Sang Hyang Rudra. Mulai disinilah pengaruh duia yaitu seperti lupa, bingung dan lain sebagainya disebut Acetana, timbul sebagai pengaruh sifat-sifat tatwa-tatwa berikutnya. Tatwa-tatwa berikutnya yang dimaksudkan disini adalah Purusatatwa yang ditimbulkan oleh pertemuan antara Siwa dan Maya.
Purusa dan Pradana Tatwa
Sesudah selesai pertemuannya Siwa dengan Maya maka muncullah dari padaNya apa yang disebut Purusa dan Pradana Tatwa yang tampaknya terwujud tunggal memenuhi seluruh ruangan alam ini bersifat Rwabhineda. Purusa itu adalah atman yang selalu hidup kekal abadi tidak pernah mengalami mati. Pradhana (prakrti) merupakan badannya Purusa yang mempunyai sifat mati atau berganti. Antara Purusa dan Pradana terdapat kekuatan saling tarik-menarik (magnitisme) yang memang telah ada pada setiap prakrti yaitu bagaikan hubungan electron dengan proton pada aliran listrik. Pertemuan proton dan electron menimbulkan api listrik, demikian pula pertemuan Purusa dengan Prakrti menimbulkan sesuatu wujud.
Citta dan Triguna
            Telah disebut bahwa Purusa adalah Jnana swabhawa wruh tan keneng lupa atau dengan kata lain: purusa adalah Maha Tahu (sadar). Dalam bentuk kejiwaan Ia adalah spiritual dan segala gejala psikis yang termasuk benda pengalaman ilmu jiwa. Jadi organ-organ atau alat-alat materi (prakrti) mendapatkan gejala-gejala psikis ini dari dalam dan mengadakan citta.
            Maka yang terlahir dari spiritual dan material membawa pula sifat-sifatnya yaitu kebendaan dan kejiwaan yang menurut Samkhya sudah ada pada sebab (satkaryavada) yaitu kenyataan peristiwa dan anggapan. Tiga faktor sifat itu adalah:
1.      Yang menjadi sebab adanya anggapan (sebutan), misalnya api menjilat rumah penduduk. Hal demikian kebakaran.
2.      Yang menjadi sebab adanya peristiwa itu misalnya keluarga itu karena lengah menaruh pelita di dalam rumah.
3.      Kenyataan : adalah akibat dari 1 dan 2.
Hal ini terurai di atas dipandang dari segi kebendaannya. Selanjutnya jika ada tiga faktor sifat tersebut diatas tentu ada asalnya. Inulah prakrti pemberi sifat khas kepada citta.
Jadi tiap-tiap kejadian hanya pernyataan dari ada sebab digambarkan oleh citta yang terlahir dari spiritual dan material itu.
Citta dapat digambarkan, memgambil macam-macam rupa, sehingga rupa-rupa yang terjadi itu menyusun Vrittis (Gerakan –gerakan pikiran). Gerakan-gerakan pikiran itu dapat diubah, perubahan-perubahan itu disebut gelombang-gelombang pikiran atau kisaran-kisaran pikiran. Kalau citta memikirkan tentang kebakaran maka gelombang pikiran (vrittis) hal kebakaran terbentuklah dalam lautan citta itu. Gelombang pikiran hal kebakaran itu akan berangsur-angsur surut, jika citta telah memikirkan hal-hal yang lain sehingga muncul vrittis baru.
Hal ini mungkin dapat dibandingkan dengan pita tape rekorder yang jika hendak merekam suara baru maka suara lama hilang saja dengan sendirinya. Sebagaimana diatas telah diuraikan , bahwa citta terlahir dari Samyoganya purusa dan prakrti yang bagaikan hubungan positif dengan negative mempunyai kekuatan daya tahan menarik. Pertemuannya inilah yang disebut dengan Samyoga.
Evolusi dimulai setelah adanya Samyoga yang dengan sendirinya mengubah keseimbangan semual dan berubahlah menjadi gerak. Untuk terjadinya samyoga itu berlakulah asas saling berhubungan yang berdasarkan hukum sifat tarik menarik. Pemberi sifat tarik menarik (magnit) itu telah ada pula pada setiap prakrti (materi) yang selalu bekerja berputar berbeda arah satu sama lain sesuai dengan asas kontradiksi, itulah Triguna.
Triguna terdiri dari Sattwam (Satwika), Rajas (Rajasika) dan Tamas (Tamasika)
1.      Sattwam (Satwika) : berasal dari kata sat dan twa. Sat berarti benar dan twa berarti mempunyai sifat. Sattwa berarti sifat benar. Berarti sifat rungan bagi benda dan sifat baik bagi makhluk hidup.
2.      Rajas (Rajasika) : berasal dari kata Raj yang berarti mengendalikan (kata raja bahasa Indonesia berasal dari kata Raj tersebut diatas berarti mengendalikan). Rajas berarti sifat yang menjadi penggerak dari segala benda yang ada di alam semesta, dan bagi makhluk hidup berarti sifat yang memberi kekuatan untuk mengerjakan sesuatu atau kekuatan yang menyebabkan makhluk aktif dalam hidupnya . sifat-sifat Rajas bergerak, bekerja sangat dibutuhkan dewasa ini bagi kepentingan pembangunan Negara, karena dengan banyak omong dan hanya teori  diatas meja tidak akan dpaat menyelesaikan cita-cita menuju masyarakat adil dan makmur. (no great work can be achieved by humbug)
3.      Tamas (Tamasika) : berasal dari kata Sanskerta Tam berarti susah tau gelap. Tamas berarti sifat yang menyebabkan segala makhluk di dalam kegelapan atau kemalasan, bagi benda mati Thamas berarti sifat, yang menyebabkan benda itu lamban (statis atau tidak bergerak). Jadi jelaslah bahwa Tamas bersifat amerih sukaning awak tan ton laraning len (menghendaki kesenangan diri sendiri tanpa melihat kesusahan orang lain).
Rajas dan Tamas lebih menguasai Ksipta (kegusaran dan kecemasan). Karenanya jika Sattwam ketentraman disimbolkan dengan warna putih maka Rajas disimbolkan dengan warna merah dan Tamas disimbolkan dengan warna hitam (gelap).
Mahat Buddhi
            Hasil dari gerak pertama yang kita sebut evolusi, karena rwabhineda tadi mnimbulkan suatu benih maha besar (mahat) yang membawa sesuatu unsur kesadaran. Setelah mahat (buddhi) mendapatkan sifat-sifatnya saling mempengaruhi satu dengan yang lain bagaikan kabel, bohlam, dan aliran listrik yang ketiga-tiganya adalah memegang peranan penting, baik bohlam, kabel ataupun aliran listrik, jika satu diantaranya rusak maka ia tidak akan dapat menyala. Demikianlah buddhi mempunyai sifat wikerta, tejasa dan butadi yang kegunaannya sama dengan Sattwam, Jajas dan Tamas tersebut diatas. Karena ia memeberi kesadaran maka ia disebut Budhi dimana Sattwam menduduki tempat yang terbesar. Mahat (buddhi) diumpamakan air laut yang ditiup angina bergelombang. Matahari diatas kelihatan bayangannya berombak juga padahal matahari itu tetap tidak bergoyang sebagai bayangannya di air.
            Demikianlah dalam Samkhya Yoga bahwa Yoga itu bertujuan menghilangkan gelombang-gelombang itu. Tahap yang harus dilalui dalam berusaha menghilangkan gejolak buddhi itu dalam hal ini ada lima tingkatan yang disebut Citta Bhumi yaitu:
1.      Ksipta : (gusar) dimana pikiran tidak tetap, karena alamnya dikuasai oleh kedua-duanya baik rajas maupun tamas.
2.      Mudha : (bodoh) dimana segala sesuatu tidak dapat ditangkap oleh pikiran, sering linglung, bagaikan seorang yang amat bodoh karena alamnya dikuasai sendiri oleh tamas.
3.      Viksipta : (kacau) karena alamnya dikuasai oleh Rajas sendiri yang berlaku sebagai pengemudi bergerak maju tetapi tak menentu tujuan.
4.      Ekagra : konsentrasi pikiran dapat terpusat serta telah dapat menguasai suka duka di dunia ini, karena telah dikuasai oleh sattwam.
5.      Niruddha : (ketenangan) kekuasaan Sattwam yang mutlak dimana pada tingkatan ini manusia misalnya dapat membedakan dirinya dengan subjek-subjeknya.

1.      Dasa Indra
Dalam proses penciptaan setelah timbul unsur-unsur diatas kemudian barulah timbul Dasa Indria yaitu sepuluh sumber indria yang terbagi menjadi dua: Panca Budhi Indria dan Panca Karma Indria
1.      Panca Budhi Indria
a.       Srota Indria = rangsang mendengar
b.      Twak Indria = rangsang perasa
c.       Caksu Indria = rangsang pelihat
d.      Jihwa Indria = rangsang pengecap
e.       Grana Indria = rangsang pencium
2.      Panca Karma Indria
a.       Wak Indria = penggerak mulut
b.      Pani Indria = penggerak tangan
c.       Pada Indria = penggerak kaki
d.      Payu Indria = penggerak dubur/pelepasan
e.       Upastha Indria = penggerak kemaluan
Setelah timbul indria-indria kemudian timbul: Panca Tan Matra yaitu lima benih alam yang terdiri dari:
a.       Sabdha Tan Matra = benih suara
b.      Sparsa Tan Matra = benih rasa sentuhan
c.       Rupa Tan Matra = benih penglihatan
d.      Rasa Tan Matra = benih rasa
e.       Gandha Tan Matra = benih penciuman
Dari unsur-unsur Panca Tan Matra inilah kemudian timbul unsur-unsur benda materi yang nyata dan dinamai Panca Maha Bhuta yang terdiriri dari :
a.       Akasa = ether
b.      Bayu = gas atau udara
c.       Teja = sinar atau panas
d.      Apah = zat cair
e.       Pratiwi = zat padat
Dari kelima unsur-unsur alam inilah kemudian terbentuk parama anu (atom) yang mengalami evolusi sampai kemudian terbentuk alam semesta yang terdiri dari Brahmanda. Brahmanda adalah planet-planet seperti matahari, bumi, bulan dan binatang-binatang lainnya. Panca Maha Butha ini pula yang menjadikan unsur badan manusia (mikrokosmos = bhuwana alit). Dalam filsafat Samkhya ini Tuhan tidak begitu dibahas karena dinilai tidak perlu, sehingga filsafat Samkhya disebut juga ajaran Nir Iswara Samkhya.


Filsafat Yoga
Yoga berasal dari kata Yuj yang artinya menghubungkan diri. Yoga berarti jalan atau proses, cara manusia menghubungkan jiwa atau atmannya yang suci dengan Parama atma (Tuhan) sehingga bersatu padaNya. Filsafat Yoga disponsori oleh Patanjali. Dalam hal ini metafisika dan evolusi kejadian dunia ini Yoga sama dengan ajaran Samkhya, dengan menambah kepercayaan bahwa ada Tuhan yang menciptakan purusa dan Prakrti. Hal penting dalam system filsafat Yoga adalah tentang praktek yoga dilakukan untuk mencapai Wiweka Jnyana yaitu pengetahuan untuk membedakan jiwa dengan bukan jiwa. Yoga mempunyai praktek tingkat-tingkat pelaksanaan mental (citta urtti nirodha), untuk mencapai keadaan moksa ada lima tingkat mental yang disebut Citta Bhumi yang terdiri dari Ksipta, Mudha, Viksipta, Ekagra dan Nirudha.
Ksipta, Mudha dan Viksipta masih keadaan konsentrasi pikiran pada suatu objek, sedangkan Ekagra dan Nirudha adalah konsentrasi yang telah sempurna. Tiga yang disebutkan pertama tadi disebut dengan Samprajnata dan dua yang disebutkan tadi disebut Asamprajanata.
Selain lima tahap tersebut, yoga mengajarkan delapan jalan untuk melakukan yoga yang disebut dengan Astangga Yoga.
1.      Yama (larangan) : suatu disiplin penahanan diri terhadap keinginan atas nafsu, Yama terdiri dari :
a.       Ahimsa : tidak menyiksa (membunuh). Janganlah menyiksa atau membunuh sesame makhluk dan jangan berbuat menyakiti hati orang lain.
b.      Satya : pupuklah kejujuran, pantang kepada keburukan, kembangkanlah kebenaran.
c.       Asteya : jangan bohong, mencuri serta pantang segala kejahatan.
d.      Aparigraha : jangan loba, batasi diri pada kebaikanlah selalu menempatkan diri, makanlah makanan yang sewajarnya dan jangan sekali-sekali minum yang memabukkan.
e.       Brahmacarya : dalam keadaan belum kawin/tidak kawin yaitu tidak mengobral nafsu. Brahmacarya juga dimaksudkan tingkatan hidup manusia yaitu untuk mengikuti pelajaran.
Tingkatan – tingkatan lainnya adalah sebagai berikut:
a.       Sukla Brahmacarya : tidak kawin sama sekali sampai tua dan mati.
b.      Sewala Brahmacarya : kawin hanya sekali dengan seorang istri.
c.       Trsna Brahmacarya : kawin lebih dari satu kali yaitu poligami. Karena memerlukan keturunan dan seizin istri pertama.
2.   Niyama
Suruhan untuk berdisiplin, beradab yang baik dengan memupuk kebiasaan-kebiasaan baik. Niyama terdiri dari :
a.       Saucha (pembersihan luar dalam) : pembersihan badan jasmani dengan jalan mandi dan makan murni sebagai langkah kebersihan lahir. Kebersihan dalam yaitu kebersihan rohani jalannya yaitu memupuk perasaan – perasaan yang baik, berlaku ramah riang menjauhkan diri dari pengaruh yang buruk.
b.      Dhariti : tetap tenang di dalam menghadapi segala keadaan yang bagaimanapun juga, baik dalam keadaan mengembirakan, ataupun kecelakaan, kekecewaan maupun keuntungan.
c.       Ksama : tidak mengeluh atas segala derita menahan segala cobaan hidup.
d.      Swadhyaya : belajar mengekang diri. Bermuka manis terhadap kawan atau lawan.
e.       Dana : dana punya dan beramal dengan tulus ikhlas, jangan mengharapkan balasannya.
3.   Asana
Cara duduk yang baik dengan maksud, Prana dapat mengontrol semua bagian badan termasuk syaraf karena penyakit-penyakit berasal dari urat syaraf.
4.   Pranayama
Mengatur pernapasan untuk membersihkan darah melalui tiga jalan yaitu :
a.       Menarik nafas panjang dan dalam-dalam hal ini dinamai Puraka
b.      Menahan nafas yang telah penuh, hal ini dinamai Kumbaka
c.       Setelah sesaat lamanya, lalu dikeluarkan perlahan, hal ini dinamai Recaka
5.   Pratyahara
Berasal dari urat kata a V hr = mengatur. Mengontrol semua panca indria sehingga mendapat tanda-tanda misalnya melihat sinar-sinar, sastrajendra, bahkan suara-suara halus dan sebagainya. Dari angka satu sampai dengan angka lima tersebut merupakan bantuan luar Yoga.
6.   Dharana
Yaitu usaha untuk menyatukan pikiran untuk ditujukan ke satu arah yaitu kepada Ida Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa). Kalau lima faktor yang tersebut diatas adalah bantuan luar dari Yoga maka tiga tersebut adalah Dharana, Dhya dan Samadhi adalah bantuan dalam dari Yoga.
7.   Dhya
Yaitu usaha untuk menyatukan pikiran yang lebih tinggi tarafnya daripada Dharana.
8.   Samadhi
Penyatuan pikiran pada benda yang diciptakan sehingga pikiran itu bersatu dengan benda itu. Setelah menjauhkan pikiran-pikiran yang tidak benar yaitu dalam keadaan benar-benar tenang, tenteram ia lupa akan badannya tetapi ingat akan apa yang diciptakannya saja.
Yoga disebut Sa Icwara Samkhya percaya bahwa Tuhan adalah satu-satunya objek yang termulia dan tertinggi untuk dikonsetrasikan karena Tuhan Maha sempurna, Maha Tahu, Maha Adil, Maha Agung, Maha Pengasih, dan lain sebagainya. Argumentasi Yoga tentang adanya Tuhan adalah sebagai berikut :
1.      Ia percaya akan adanya tingkatan, di dunia ini oleh karena itu ia memerlukan suatu tingkatan yang maksimum. Misalnya ada sesuatu yang baik ada pula yang lebih baik dan tentu ada pula yang paling baik atau paling sempurna. Yang paling sempurna yaitu paling maksimum adalah Tuhan. Karena Ia adalah disebut Maha Sempurna, Maha Tahu, Maha Adil dan sebagainya.
2.      Betul ada Purusa dan Prakrti yang diumpamakan sebagai orang buta dan orang lumpuh. Pertemuan diantara keduanya memerlukan perantara (penghubung). Penghubung inilah Tuhan.
Yoga mengajarkan bahwa bila telah mencapai alam Samadhi dengan Tuhan sebagai objek, jiwa dapat bersatu denganNya. Pada saat itulah kebahagiaan tertinggi dapat dicapai bersatu dengan Tuhan, tujuan dari Yoga.
Filsafat Nyaya (Niaya)
        Niaya artinya logika, filsafat Niaya adalah secara system filsafat yang mengajarkan cara menelaah sesuatu dengan cara berpikir yang kritis logis, tepat dan masuk akal, diajarkan oleh rsi Gautama dengan mengemukakan empat sumber cara berpikir (catur prmana) yaitu :
1.      Pratyaksa: praty yang berarti langsung dan ksa berarti pengamatan. Jadi pratyaksa berarti pengamatan langsung dari panca indria, yaitu dengan melihat sendiri sesuatu kejadian, melanggar, mencium langsung dari alat-alat indria sehingga itu semuanya menjadi pengetahuan yang dapat dirasakan.
2.      Anumana : pengetahuan yang dapat dengan jalan menarik kesimpulan dengan melihat sesuatu tanda (lingga) yang selalu berhubungan dengan objek yang di tarik kesimpulannya (sadhya). Perhubungan antara lingga dan sandhya disebut vyapati. Dalam pengertian Anumana ini paling sedikit harus ada tiga syarat yaitu:
a)      Paksa : sesuatu objek yang kita tarik.
b)      Sadhya : objek yang ditarik kesimpilannya.
c)      Lingga : tanda yang dapat dipisahkan dengan bedanya dan kesimpulannya.
Contoh : jauh disana keliatan ada asap (merupakan tanda bagi kita bahwa disana tentu ada benda yang mengeluarkan asap). Benda yang mengeluarkan asap tak lain ialah asap (sadhya). Dengan melihat itu lalu kita menarik kesimpulan: mungkin ada kebakaran di sana ( paksa).
3.      Upamana : pengetahuan yang didapat dengan mencara dan member contoh atau tafsiran. Contoh: kepada anak kecil yang belum pernah melihat harimau. Diberitahukankepadanya bahwa harimau itu seperti kucing, tetapi badannya lebih besar.
4.      Sabda: pengetahuan yang dapat daripembuktian orang lain. Misalnya seorang ahli kimia memberitahukan kepada kita bahwa air itu terdiri dari molekul-mulekul H20. Kita pun percaya saja meskipun kita sendiri tak pernah membuktikan kebanarannya.
       Keempat pengetahuan tersebut diatas berasal dari kaum Naiyayikas. Menurut nyaya, objek dari keempat pengetahuan itu berkisar kepada pribadinya sendiri, panca indiria, buddhi , perasaan (activity), dosa pratyabhawa (rebirth), phala, dhuka, apavarga (freedom from suffering).
       Nyaya sebagai juga system filsafat yang lain-lainnya mencari “Aku (ego) “ pada badan sendiri dan pada panca indria. Menurut itu bahwa diri sendiri ”Aku” berbeda dengan “Sarira” (badan) atau body dan manas (mind). Badan hanyalah benda-benda materi, mana adalah sesuatu yang sukar diketahui yaitu tak dapat dilihat. Bersifat kekalyang dengan kata lain disebut Anu. Ia adalah alat dari jiwa yang di pakai untuk merasakan berbagai macam-macam perasaan sebagai senang, sakit dan lain-lainnya, karena itu ia disebut antara rasa (internal sense kebalikannya ialah bahwa rasa (external sense).
        Atman merupakan unsur lain sangat berbeda dengan manas dan jasmaniah (sarira). Atman itu ada, ia dapat dibuktikan melalui sarira dan manas.
Contoh perbandingan: aliran listrik dapat diketahui melalui kawat atau kabel dengan alat  tes, atau dicoba dengan memegangnya. Adanya aliran listrik dapat dirasakan walaupun tidak dapat dilihat.
 Hubungan atman dengan Brahman
      Atman adalah bagian dari Brahman oleh karena itu pada dasarnya hakikat atman adalah sama dengan hakikat atman (aham Brahman Asmi artinya saya (Atman) adalah bagian dari pada Brahman). Jiwa (roh) itu suci. Yang mengalami serbaneka penderitaan, kebahagian, kegembiraan pendeknya suka dan duka itu adalah ditimbulkan oleh manas melalui panca indria serta derita dan dirasakan oleh sarira (body). Dari manaslah timbul mithya Jnana yaitu kebodohan terhadap kebenaran, raga, dwesa, dan moha yang memaksa badan bekerja dengan segala konsekuen. Apawarga berarti terlepas sama sekali dari kesengsaraan dan penderitaan yang ditimbulkan oleh apa yang disebut  Tattwa – Jnana.
       Adanya tuhan oleh penggolongan naiyayikas dikemukakan dengan beberapa bukti. Tuhan adalah maha pencipta pemelihara dan pengancur. Dalam bentuk brahma adalah sebagai pencipta, dalam bentuk (manifestasi) wisnu sebagai pemelihara dan dalam manifestasi icwara sebagai pelebur.tidaklah benar jika dikatakan bahwa tuhan mencitapkan dunia dari sesuatu yang tidak ada, tetapi adalah evolusi atom- atom yang kekal, yaitu ruang, waktu, ether dan lain-lainnya. Diadakannya di dunia agar individual soul (jiwa) dapat merasakan kesenangan atau kesusahan (penderitaan), sesuai dengan karma ataupun dapat memetik buah perbuatannya di dunia lain.
Waisasika
            Filsafat Waisasika ini diajarkan oleh Rsi Kanada yang juga dinamai Rsi Ulaka. Filsafat ini banyak hubungannya dengan sistem filsafat Niaya dan mempunyai pandangan yang sama misalnya dalam memberi pendapat tentang kebesaran jiwa individu (perorangan). Waisasika memberi kupasan ilmiah terhadap semua objek di dunia ini yang menurut pendapatnya dibagi menjadi tujuh kategori yang merupakan :
1)      Substansi (grawya)
2)      Perbuatan (karma)
3)      Kualitas (guna)
4)      Kesatuan (samanya)
5)      Keistimewaan ( wisesa)
6)      Hubungan yang tak terpisah (samawaya)
7)      Ketiadaan (abhana)

1.      Substansi (grawya)
Suatu substansi bersumber pada sifat-sifat dan gaya, tetapi baik sifat maupun gaya itu berbeda satu sama lain, ada Sembilan macam substansi yaitu : tanah, air, api, udara, ether (akasa), ruang, waktu, jiwa, dan pikiran (manas). Tanah, air, api, udara, ether disebut Panca Mahabhuta yang mempunyai sifatnya masing-masing yaitu : bau, rasa, warna, rabaan, dan suara. Akasa, ruang dan waktu adalah substansi yang tak dapat dilihat yang pada hakikatnya masing-masing adalah kekal, tetapi “manas” adalah juga suatu substansi yang tak terbatas kecilnya. Manas itu adalah suatu perasaan yang dalam yang langsung atau tidak langsung merasakan segala perasaan dan keinginan. Manas juga adalah suatu yang hanya dapat dirasakan. Jiwa (atman) adalah kekal, meresap ke dalam substansi yang menjadi lapis segala kesadaran, Jiwa (atman itu dapat dirasakan di dalam oleh “Manas” orang itu sendiri, ini terbukti bahwa setiap orang dapat merasakan senang, susah dan lain sebagainya.
Paramatma (Tuhan) menurut kepercayaan kaum Waisasika adalah pencipta dunia dari atom-atom, yang susunan dan persenyawaan dari atom itu adalah disebabkan karena kemauan Tuhan yang secara langsung berhubungan dengan hukum karma daripada objek yang tercinta dari pada atom-atom tersebut. Demikian atom-atom itu bersenyawa menurut kehendak Tuhan menjadi suatu dunia dengan isinya yang langsung bekerja sesuai dengan Hukum Karma.

2.      Hukum Karma
Berdasarkan atas teori ilmu pengetahuan lebih terkenal dengan hokum sebab akibat. Ini berarti bahwa apapun yang terjadi di dunia ini mestilah ada sebab-sebabnya dan tiap-tiap apa yang kita lakukan mestilah pula ada pengaruhnya. Dalam dunia ini, tidak ada satupun yang terjadi tanpa ada sebab-sebabnya. Apabila kita melakukan sesuatu perbuatan, baik dengan bertujuan menolong maupun bertujuan membuat keonaran maka perbuatan tersebut menghasilkan suatu tenaga. Dalam ilmu pengetahuan telah dibuktikan bahwa tenaga itu adalah sama dengan benda nyata yang tak bisa habis hanya bisa berganti bentuk apabila dipengaruhi oleh unsur-unsur kimia. Listrik bukan berasal dari dynamo, tetapi berasal dari tenaga yang ditimbulkan air terjun, umpamanya: dynamo merubah bentuk tenaga itu.
Teori daya atom menunjukan bahwa tenaga itu adalah suatu benda yang nyata; bahwa atom itu dibuat oleh kumpulan-kumpulan tenaga merupakan teori yang telah lama ada sejak zaman dahulu, dan terdapat dalam buku-buku Hindu Kuno dan Yunani Purba secara rontal di Bali.
Hukum Newton dalam ilmu alam mengatakan bahwa tiap-tiap benda semuanya ingin mencoba untuk dapat kembali ke etmpat aslalnya dari mana ia mula-mula dihasilkan. Apabila batu dilempar ke dalam kolam maka gelombang-gelombang akan sampai ke tepi kolam dan kemudian bergerak kembali hingga sampai di pusat pelemparan itu, lenyaplah alunan gelombang itu. Apabila mengayunkan sebuah batu yang digantungkan pada seutas tali maka ia akan kembali ke tempatnya semula dengan kekuatan ayunan yang sama.
Demikian apabila seorang melakukan perbuatan, baik dengan maksud menolong maupun untuk membuat onar, maka timbulah suatu tenaga, sesuai dengan teori ilmu alam tersebut di atas maka hasil tenaga itu akan kembali pada orang itu juga.
Demikianlah hukum karma itu sesuai dengan ilmu pengetahuan dapat dipecahkan secara ilmiah. Teori atom dari golongan Waisesika yang agak bersifat teologi menunjukan suatu teori yang dapat diterima meskipun berbeda dengan teori atom lainnya yang bersifat mekanis dan meterialistik belaka.



3.      Guna (kualitas)
Semua substansi yang terjadi dari atom-atom mempunyai sifat (guna) yang banyaknya adalah dua puluh empat sifat yaitu: warna, rasa, bau, rabaan, bunyi, bilangan, batasnya (magnitude), hal yang dapat membedakan (prthaktwa), pertemuan (samyoga), kerusakan (wibhaga), karena terpencil (paratwa), berdekatan (aparatwa), kecairan (drawatta), kepekatan (sucha), pengamatan (buddhi), senang, sakit, keinginan, kesenangan, bercita-cita (prayatna), kebahagiaan (gurutwa), samsara, dharma, dan adharma.
      Sebagai juga sifat-sifat tersebut diatas maka gerak terdapat juga di dalam tiap-tiap laku. Jadi sesuatu laku adalah sesuatu gerak:
1)      Utksewana : gerakan
2)      Awaksewana : gerakan turun
3)      Akuncana : berkerut yaitu gerakan yang bersifat menjadikan sesuatu itu lebih pendek
4)      Prasarana : perluasan yaitu gerakan yang menyebabkan menjadi makin lebar
5)      Gamana : gerakan maju

4.      Samanya (kesatuan)
Sifat-sifat dari suatu substansi ditakdirkan oleh alam yang merupakan sifatnya yang hakiki misalnya: alamnya sapi ditakdirkan oleh sifatnya yang hakiki yaitu mereka dapat dikumpulkan menjadi satu grup (kelompok). Meskipun dari sapi-sapi yang berasal dari golongan-golongan lain. Sifat-sifat sapi yang demikian disebut gotwa dan dapat berkumpul dengan berbagai golongan sapi menjadi kelompok besar (samanya) adalah sifatnya yang universal. Kalau sifat ke “Sapian” itu tidak ditaruh karena kelahiran ataupun sapi itu belum mati maka gotva tadi kekal adanya. Demikianlah sifat-sifat universal dari sapi adalah hal yang biasa yang primer terhadap individu daripada golongan-golongan sapi manapun juga.


5.      Wisesa (keistimewaan)
Biasanya kita membedakan dua buah benda yaitu yang satu dengan yang lainnya dengan melihat bagian keistimewaannya berbeda pada sifat-sifat yang ada pada kedua benda itu. Tetapi bagaimana kita dapat membedakan substansi yang kekal yang paling sederhana yang tak dapat dipecah lagi di dunia ini yaitu sebagai dua atom tanah. Tentu harus ada sesuatu perbedaan pokok (wisesa) pada tiap-tiap atom-atom itu namun tidak mungkin dapat dibedakan satu sama lain tetapi ia adalah atom-atom dari tanah wisesa itu dimaksudkan keistimewaan daripada wujud kesatuan yang kekal yang membentuk dunia ini.

6.      Samavaya ( hubungan yang tak terpisahkan)
Sifat perhubungan yang tak kekal pada keseluruhan di dalam bagian-bagiannya, sesuatu sifat sesuatu gerak di dalam substansi, sesuatu kesatuan (universal) di dalam wujud terkecil yang berbeda-beda. Contoh: kain sebagai sesuatu keseluruhan selalu ada karena jalinan-jalinan benang. Sesuatu sifat sebagai hijau, manis, harum ada di dalam substansi bersangkutan demikian juga (sifat) kesapian sebagai kesatuan sifat sapi ada di dalam sapi itu sendiri.
Sifat hubuingan yang kekal ini yaitu hubungan antara sesuatu keseluruhan dengan bagian-bagiannya, di antara kesatuan dengan individualitasnya dan diantara sifat-sifat atu gerakan-gerakan yang substansinya terkenal dengan nama Samavana.

7.      Abhawa ketiadaan
Yang dimaksud dengan abhawa yaitu faktor-faktor/ hal-hal yang tidak ada.
Contoh: disini tak ada ular
              Mawar itu bukan merah
        Tidak ada bau pada air yang jernih
Contoh-contoh di atas adalah menunjukan hal-hal bahwa sesuatu tidak ada.
Yang pertama : tidak ada ular
Yang kedua    : tidak ada warna merah dan
Yang ketiga    : tidak ada bau
Hal yang semacam ini dimaksudkan dalam golongan abhawa yang terjadi ada empat :
a.       Ragabhawa : sesuatu benda tidak ada sebelum dibuat. (pot bunga tak aka nada sebelum dibuat oleh tukang pot).
b.      Dhawamsabhawa : tidak ada sesuatu benda itu karena dirusakkan (dhawamsa). (pot bunga tidak aka nada lagi sesudah pot itun sendiri dipecahkan).
c.       Atyatabhawa : tidak ada sesuatu benda (sifat sesuatu benda) pada benda-benda lain, baik dahulu, sekarang, maupun yang akn dating yaitu : attita – nagata – wartamana yakni tak aka nada warna di dalam udara sejak dahulu sampai sekarang dan terus sampai mana akan dating.
Ketiga-tiganya yang tersebut diatas dinamai Syamsaryabhawa yaitu ketidakadaan sesuatu substansi di dalam sesuatu benda atau tempat.
d.      Anyonyabhawa : tidak terdapat hubungan dua benda yang saling berbeda misalnya : sebuah ember dengan sepotong kain dan sebagainya: sebuah ember bukanlah sepotong kain atau sepotong kain bukanlah sebuah ember. Antara kedua benda yang tidak ada unsure hubungannya disebut Anyonyabhawa.

Dengan berbakti kepada Tuhan dan membebaskan jiwatman dari prakreti maka atma akan dapat bersatu dengan sumbernya (Brahman).

Mimamsa
Filsafat mimamsa terdiri dari dua bagian filsafat dimana yang satu berbeda dengan yang lainnya. Yang pertama disebut Purwa mimansa atau Karma mimansa yaitu menekankan kepada karma. Dengan pendek disebut mimansa saja. Yang kedua adalah uttara mimansa atau jnana mimansa menekankan kepada jnana. Ya pula disebut wedanta.
Mimamsa (purma mimamsa) dipelopori oleh Jaimini. Tujuan filsafat mimamsa ini ialah mempertahankan upacara-upacara (ritual) yang diajarkan oleh Weda. Golongan pengikut mimamsa percaya bahwa Weda maha sempurna dan abadi. Karenanya apa yang disebutkan di dalam weda adalah benar. Apa yang disuruh lakukan oleh weda itulah dharma sebaliknya apa dilarang itulah adharma dan salah.
Melakukan upacara-upacara itu bukanlah karena ingin akan balasannya tetapi adalah sesuatu yang menjadi kewajiban yang harus dilaksanakannya menurut ketentuan di dalam weda dan mengetahui akan tujuan dari upacara-upacara yang diadakan. “Mensucikan diri” da;lam menghadapi upacara-upacara tersebut, misalnya dengan melepaskan sama sekali nafsu, kemarahan dan lain-lain yang dapat menodai seluruh upacara yang diadakan. Jika hal tersebut di atas dapat dipenuhi maka menurut mimamsa akan dapat mencapai kebebasan dari kehidupan ini. Sebaliknya meskipun upacara dilakukan tetapi dengan maksud-maksud tertentu msisalnya ngaben, secara besar-besaran dengan maksud untuk diketahui orang bahwa ia sangat kaya dan dengan demikian agar dipuji orang maka upacara yang demikian tidak mengenal maksud yang sebenarnya. Jadi percuma.
Untuk itu mimamsa menganjurkan :
1)      Bahwa jiwa itu abadi dan tidak akan mati meskipun benda-benda itu sudah hancur.
2)      Percaya akan kebenaran segala benda-benda yang ada di dunia ini diterima oleh panca panca indrya.

Dengan demikian mereka itu juga berpandangan realistis. Karena pengaruh pendapat yang realistis ini meskipun mereka percaya akan kekelalan jiwa (atma) tetapi mereka tak percaya akan adanya Tuhan yang menciptakan dunia ini.
Mereka berpendapat dan percaya segala yang ada di dunia ini adalah komposoisi dari benda-benda itu saja dengan disesuaikan dengan karma daripada tiap-tiap jiwa itu sendiri. Mereka menganggap bahwa karma adalah sesuatu moral yang berkuasa untuk menentukan kebebasan tiap-tiap jiwa manusia daripada kelahiran kembali, karena itu tiap-tiap orang yang melakukan upacara dengan sasaran yang benar, maka pada jiwanya akan timbul suatu benih yang akan menumbuhkan karm pada waktu-waktu yang sudah tertentu sehingga kepadanya akan memetik hasilnya dikemudian hari.
Dua aliran di dalam mimamsa yaitu yang pertama terdapat dalah Prabhakara yang mengemukakan lima sumber pramanas (panca pramana) : 1) pratyaksa, 2) anumana, 3) upamana, 4) sabda, dan 5) arthapatti. Nomor satu sampai dengan empat sama dengan yang terdapat di dalam filsafat Nyana di depan tetapi yang kelima yaitu artaphatti adalah pengetahuan yang didapat dengan menyatakan sesuatu perbandingan.
Contoh : seorang yang pergi ke hutan lalu melihat “serigala” dan membuktikan sendiri bahwa serigala seperti anjing. Kemudian orang itu lalu melihat anjing lalu berkata “serigala” yang saya lihat dahulu seperti anjing ini.
Jalan lainnya didapat dan dikemukakan oleh Kumarila Bhatta terjadi dari eman pokok, di antaranya lima sama dengan yang tersebut di atas ditambah dengan yang keenam yaitu anupalabdhi, yaitu tak dapat diamati karena bendanya memang tidak ada. Umpama; di kamar ini tidak ada kipas. Ketiadaan benda yang bernama kipas di kamar itu tidak bisa diamati, inilah yang disebut anupalabdhi.

Filsafat Wedanta
Kata Wedanta berarti akhir daripada Weda. Mula-mula kata Wedanta itu dimaksudkan upabishad karena dianggap akhir daripada Weda. Tetapi kemudian yang dimaksud dengan Wedanta adalah filsafat yang berdasar pada Upanishad. Di dalam sementara Upanishad dikatakan bahwa dunia ini diciptakan oleh Brahman dan dari Brahman. Tetapi dalam Upanishad lainnya dunia ini dinyatakan tiada lain kepalsuan belaka. Perbedaan pendapat ini tentu saja menimbulkan suatu teka teki apakah dunia ini benar-benar diciptakan oleh Tuhan, kalau Tuhan itu benar-benar ada berarti dunia ini pun benar-benar ada, ataukah dunia ini sesungguhnya tidak ada. Semua pendapat ini dikumpulkan dan disusun secara sistematis oleh Badarayana dalam bukunya Brahma Sutra. Kitab ini berusaha menganalisis tentang adanya Brahman dan ditulis dengan bentuk sutra (kalimat-kalimat pendek) hingga masih memerlukan komentar-komentar untuk mengartikannya. Dengan sendirinya komentar yang satu tidak sama dengan komentar yang lain bahkan kadang-kadang bertentangan. Kemudian timbullah beberapa aliran filsafat Wedanta di antaranya:
1)      Adwaita Wedanta : yaitu monisme yang dipelopori oleh Sankara.
2)      Wasistha Wedanta : disponsori oleh Ramanuja

Adwaita Wedanta oleh Sankara
             Sankara ragu-ragu akan pernyataan dsari Upanishad yang menyatakan dunia ini diciptakan oleh Brahman, akan tetapi tidak percaya akan keanekaragaman di dunia ini sebagai yang dianjurkan oleh Ramanuja. Kalau dunia ada dengan nyata maka tak mungkin keanekaragaman itu tak ada. Dengan pemikiran ini ia berusaha menemukan pendapat-pendapat yang bertentangan itu dengan berdasarkan pada upacara-upacara dalam sweta Upanishad yang menyatakan bahwa prakreti daripada dunia ini terletak pada kekuatan maya dari Tuhan. Maya pada Tuhan tak akan dapat dipisahkan dengan Tuhan sebagaimana halnya tenaga membakarnya api tak dapat dipisahkan dari api itu sendiri. Semua keanekaragaman yang ada di dunia ini dianggap benar ada oleh orang yang bodoh, tetapi orang yang benar-benar bijaksana yang dapat melihat yang ada di balik ini semua hanya melihat adanya Brahman. Dengan demikian Brahman dengan mayanya memperlihatkan segala yang kita lihat ini sesungguhnya mengelabuhi pengetahuan kita tentang yang sebenarnya tentang Brahman. Pengaruh maya terhadap manusia ada dua :
1)      Membuat kita tertipu mengenai dunia yang kita lihat.
2)      Tertipu apa sebenarnya Tuhan itu.
Oleh karena itu pengaruh maya disebut juga awidya.

Pandangan Sankara terhadap penciptaan dunia
            Menurut  upanisad bahwa isi dunia ini adalah merupakan evolusi dari Brahma karena kekuatan maya. Evolusi itu jalannya demikian, dari Brahman timbul panca tan matra sebagai asal benih alam. Terjadinya suatu benda, misalnya, akasa adalah merupakan gabungan dari lima unsure panca tan matra tadi. Misalnya: 1/2  akasa, 1/8  air, 1/8 api, 1/8 tanah, 1/8 angin.
Sankara setuju dengan evolusi ini tetapi tetap pada jalur teori wiwarta, yaitu teori perubahan yang berdasar pada pandangan seperti melihat ular atau melihat tali seperti ular. Sedangkan sesungguhnya tali tidak berubah menjadi ular, ular tidak berubah menjadi tali. Sankara mengajukan argument, jika Tuhan menciptakan dunia ini dan menciptakan segalanya dari benda lain tentu harus diakui bahwa ada sesuatu di samping Tuhan itu sendiri, hingga cirri Tuhan tak terbatas tidaklah benar. Dan jika Tuhan menciptakan dunia memakai benda lain yang ada di dalamnya tentu Tuhan itu terbagi-bagi dank arena terbagi-bagi tentu menandakan ketidaklabadiannya, jikalau sesuatu atau bahan tidak dapat merupakan bagian dari Tuhan, tetapi Tuhan sendiri menjadi dunia ini. Dengan alasan ini Sankara tidak setuju bahwa Tuhan menciptakan dunia ini, tetapi menyatakan  diproyeksikan pada Tuhan (wiwarta weda). Seolah-olah dunia ini ada, Tuhan tidak ada dunia ini tidak ada.

Wasista Adwaita
            Wasista adwaita dipelopori oleh Ramanuja yang mengikuti teori Upanishad bahwqa Tuhan menciptakan dunia ini karena Ia mau menciptakannya. Di dalam Brahman terdapat dua macam yaitu ;
1)      Acit  ialah bahan yang mati, tidak sadar
2)      Cit spirit yang selalu sadar
            Acit adalah sumber dari segala benda yang ada di dunia dan oleh karena itu dinamai pula prakreti. Dan prakreti acit ini tidak tidak diciptakan oleh Tuhan oleh karena itu tidak bisa mati. Ramanuja menganggap bahwa prakreti adalah juga bagian dari Tuhan sebagaimana jiwa mengontrol badan ini. Ketika Pralaya (pada saat belum ada apa-apa) prekreti ini sudah ada pada Tuhan, tetapi tak bisa dibedakan dengannya, dan kemudian Tuhan  menciptakan dunia ini dari prakreti itu. Karena kemauan Tuhan prakreti yang tidak terpisahkan itu mula-mula menjadi api, air, tanah, yang masing-masing membawa gunanya yaitu satwam rajas dan tamas. Kemudian ketiga elemen ini bercampur satu dengan lainnya sesuai dengan kualitasnya, sehingga menimbulkan segala yang ada di dunia ini. Ramanuja juga menegaskan bahwa penciptaan ini memang benar ada sebagai kebenaran adanya Tuhan. Upanishad menegaskan bahwa benda-benda di dunia ini hanya satu, menurut Ramanuja yang dimaksud ialah memang benda itu banyak, tetapi di masing-masing benda itu ada satu yang sama ialah Brahman, sebagai halnya berbagai perhiasan ada satu yang tetap sama yaitu emasnya. Maya menurut Ramanuja ialah kekuatan Tuhan yang maha besar sebagai alat untuk menciptakan dunia ini. Dan maya dengan Tuhan ini bekanlah dua hal yang berbeda karena ditegaskan di samping Tuhan tidak ada hal apa-apa lagi. Tetapi di dalamnya terdapatlah apa yang kita dapati di dunia ini. Jadi di dalam Brahman yang absolute tunggal itu ada terhadap banyak hal. Oleh karena itulah filsafat Ramanuja ini dinamai qualivaid monisme. Jadi monisme yang mempunyai bagian-bagian di dalamnya baik  Acit ataupun Cit dan bukan dinamai absolute monisme (tak ada apa-apa, Nirguna Brahman). Di dalam filsafat Wedanta ada tiga macam perbedaan :
1)      Wijatiya bheda: perbedaan di luar warga, seperti perbedaan anjing dengan kuda.
2)      Satya bheda: perbedaan dalam  satu warga, seperti perbedaan sapi betina dengan sapi jantan.
3)      Swajatiya bheda: perbedaan antara bagian dari satu benda seperti beda kaki dengan ekor.

Perbedaan antara Tuhan Cit dan Acit tadi menurut Ramanuja bukanlah perbedaan wijatiya atau Satyabheda karena selain Tuhan tak ada apa-apa lagi. Perbedaan itu adalah Swajatiya bheda. Di samping itu Ramanuja percaya bahwa Tuhan mempunyai segala sifat yang yang bagus atau Saguna Brahman. Cit dan Acit itu itu tetap abadi sedangkan Cit dan Acit itu mempunyai tiga kualitas yaitu:
1)      Berubah
2)      Tumbuh, dan
3)      Mati
Di saat pralaya di mana benda-benda yang kelihatan ini sirna Brahman tinggal bersama Cit dan Acit. Keadaan Brahman dalam hal demikian dinamai Karya Brahman. Jadi konsep Ramanuja tentang Tuhan adalah Theisme yang berarti Tuhan ada di dunia ini merupakan sesuatu yang mempunyai kemauan dan yang merupakan sasaran dari tujuan Sembahyang dan dengan menyembah Tuhanlah kita akan bisa melepaskan diri dari ikatan dunia.

Jiwa dan Moksa
            Upanishad mengajarkan bahwa tuhan dan Jiwa itu sama, yang oleh Ramanuja diartikan bukanlah persamaan yang absolut. Karena ia yakin bahwa mustahil manusia yang punya kemauan terbatas ini bisa dasamakan dengan Tuhan yang abadi bahkan tanpa batas. Jadi yang dimaksud adalah persamaan hakikat Brahman dengan jiwa (atman). Menurut Ramanuja manusia itu mempunyai: badan dan Jiwa.
            Badan ini terdiri dari benda-benda yang merupakan bagian dari Tuhan hanya tidak kekal, sedang jiwa itu adalah bagian dari Tuhan jadi kekal. Moksa dapat dicapai dengan jalan kerja dan laksana dan pengetahuan. Yang dimaksud dengan kerja adalah pelaksanaan semua upacara menurut warna asrama tetapi pelaksanaan ini hendaknya tanpa pamrih apa pun juga. Dengan moksa tidak berarti jiwa berubah menjadi Brahman, melainkan hanya bersatu dengan-Nya.

NASTIKA
            Sistem filsafat hindu yang tergolong pada klasifikasi nastika ialah system/aliran yang tidak mengakui kesucian weda. Kelompok ini terdiri dari filsafat Buddha, jaina, dan carvaka.
Filsafat Buddha
Pelopor filsafat Buddha adalah Siddharta dari keluarga Gautama, sehingga biasa juga disebut Siddharta Gautama, putra dari Raja Suddhadana dari kerajaan Kapilawastu. Ibunya bernama Maya. Pada usia 29 tahun tatkala anak pertama lahir Siddharta meninggalkan istananya untuk masuk hutan menjadi pertapa. Pertapa Siddharta pada usia 35 tahun memperoleh kesadaran Agung, ia mencapai tingkat Buddha, seorang yang telah mendapat penerangan sejati. Sejak saat itu ia disebut Sang Buddha dan mengajarkan ajarannya secara berkeliling dari satu tempat ke tempat lain. Dalam usia 80 tahun meninggal di kota Kusinara. Dari rangkaian khotbah-khotbahnya di berbagai tempat dihimpun satu ajaran yang sekarang dikenal sebagai agama Buddha. Pokok-pokok ajaran Buddha adalah sebagai berikut :

Empat Kesunyatan Mulia (Chattari Ariya Saccani)
1)      Dukkha (penderitaan dan ketidakkekalan)
Hidup manusia pada dasarnya adalah dukkha (penderitaan) yaitu keseluruhan dari semua kegembiraan, kebahagiaan dan penderitaan yang sifatnya tidak kekal.
a.       Dukkha sebagai derita biasa, yaitu semua macam derita dalam kehidupan seperti : dilahirkan, usia tua, sakit mati, bekerja sama dengan orang yang tidak disukai atau dalam keadaan yang tidak disukai, dipisahkan dari orang yang dicintai, tidak mendapat sesuatu yang dikehendaki, kesedihan, keluh kesah, dan lain-lain.
b.      Dukkha sebagai akibat dari perubahan (Wiparinama dukkha). Rasa bahagia dalam kehidupan bersifat tidak kekal. Cepat atau lambat kebahagiaan dapat berubah dan perubahan ini menimbulkan kesedihan, derita dan ketidakbahagiaa. Semua ini tergolong duka akibat perubahan.
c.       Dukkha sebagai keadaan yang saling bergantungan ( sankhara-dukkha). Pikiran atau keinginan selalu mempunyai rasa keterikatan pada sesuatu yang merupakan sebab dan membawa akibat, keterikatan ini juga menimbulkan dukkha.
2)      Dukkha Samudaya (sumber dari dukkha)
Kesunyatan kedua adalah sumber dari dukkha (dukkha samudaya Ariya saceani). Tanha (kehausan) adalah sumber dari dukkha, yang menghasilkan kelangsungan kembali dan kelahiran kembali (ponobhavika) dan yang terikat oleh hawa nafsu (nandi raga sohagata) yang disana sini memperoleh kenikmatan baru yaitu :
a.       Kehausan akan kenikmatan hawa nafsu (kama-tanha)
b.      Kehausan akan kelangsungan dan kelahiran (bhawa-tanha)
c.       Kehausan akan tidak kelangsungan (wibhawa-tanha)
Kehausan ini, keinginan dan keserakahan memperlihatkan diri dalam berbagai cara dan bentuk merupakan sumber dari beraneka ragam penderitaan dalam hidup tiap-tiap makhluk.
3)      Dukkha Nirodha (terhentinya dukkha)
Kesunyatan mulia ketiga adalah tentang pembebasan diri dari pada derita atau terhentinya dukkha. Untuk menghilangkan dukkha secara total harus dihilangkan akar dari dukkha yaitu tanha ( kehausan, keinginan, dan hawa nafsu). Hilangnya penderitaan berarti Nirwana. Nirwana dikenal juga dengan istilah tanha khaya, atau juga dikatakan padamnya hawa nafsu (raga khaya), padamnya kebencian (dosa khaya) dan padamnya kebodohan (maha khaya).
4)      Magga (marga)
Kesunyatan mulia keempat ialah jalan yang menuju ke penghentian dukkha, dikenal dengan jalan tengah, oleh karena ia menghindari dua hal yang ekstrim. Hal yang ekstrim pertama ialah mencari kebahagiaan dengan menuruti nafsu-nafsu indriya, dan ekstrim kedua ialah mencari kebahagiaan dengan menyiksa diri dalam berbagai cara yang menyakiti. Buddha sendiri melalui pengalaman-pengalamannya telah menemukan jalan tengah itu yang menghasilkan pandangan dan pengetahuan yang membawa kepada ketenangan, pengertian benar dan kesadaran agung. Jalan tengah ini disebut juga Delapan Jalan Utama (triya asthangika marga) karena dapat dibagi dalam delapan bagian yaitu :
a.       Samma Ditthi                   = pengertian benar
b.      Samma Sankappa             = berpikir yang benar
c.       Samma Waca                   = berkata yang benar
d.      Samma Kammanta           = berbuat yang benar
e.       Samma Ajiwa                   = mata pencaharian yang benar
f.       Samma Wayama              = daya upaya yang benar
g.      Samma Sati                      = berperhatian yang benar
h.      Samma Samdhi                = memusatkan pikiran yang benar

Pandangan Buddha terhadap Manusia
Manusia adalah gabungan nama (batin) dan rupa (lahir). Nama dan rupa terdiri atas lima kelompok kegemaran (panca khanda) yaitu :
1)      Rupa Khanda                   = kegemaran akan bentuk
2)      Wedana Khanda              = kegemaran akan perasaan
3)      Sanna Khanda                  = kegemaran akan pencerapan
4)      Sankara Khanda               = kegemaran akan bentuk-bentuk pikiran
5)      Winanna Khanda                         = kegemaran akan kesadaran
Gabungan dari lima kelompok kegemaran ( panca khanda) selalu berubah-ubah, tidak kekal dan tidak bisa sama keadaannya walaupun untuk sekejap saja. Oleh karena itu manusia adalah tidak kekal, karena roh sendiri adalah tidak kekal (anatha). Dalam filsahat Buddha tidak dibahas tentang Tuhan.

Filsafat Jaina
Aliran ini mempunyai Nabi yang terakhir yang bernama Mahavira yang hidup abad-6 sebelum masehi yaitu sezaman dengan Sidharta Gautama. Nabi I bernama Babhadewa dan di samping kedua Nabi ini ada guru-guru lain yang berjumlah 22 yang hidup pada zaman prehistory. Arti kata “Jaina” ialah “yang menang” dan nama guru yang terakhir ialah Mahavira sedangkan nama aslinya Vardhaman. Mereka tidak percaya akan adanya Tuhan tetapi mendewa-dewakan guru-gurunya sebagai jiwa yang dahulunya terikat dengan usahanya sendiri, kini menjadi bebas. Walaupun mereka itu Atheis tetapi mereka adalah optimis juga karena mereka mempunyai kepercayaan pada diri sendiri, bahwa akhirnya mereka bisa sama dengan guru-gurunya itu bukan hanya merupakan spekulasi tetapi merupakan harapan yang pasti akan tercapai.
Jaina terjadi dari dua golongan yaitu pertama Digambara dan kedua Swethambara. Golongan Digambara sangat fanatik  dan mengajarkan bahwa manusia itu tidak boleh mempunyai apa pun juga sehingga golongan ini telanjang bulat (dig=langit; ambara=udara; pikiran berpakaian udara). Pengikut Swetambara berpakaian putih-putih, tidaklah begitu fanatic dan mengakui akan kelemahan-kelemahan manusia. Digambara melarang wanita-wanita mengikuti sektenya karena mereka percaya bahwa wanita itu tidak bisa dibebaskan sebelum ia lahir lagi menjadi laki-laki. Swetambara tak setuju dengan teori ini, yang menjadi pokok bagi aliran ini ialah “ahimsa” sehingga bila mereka itu berjalan atau berbuat apa saja, mereka membersihkan terlebih dahulu tempat-tempat itu dengan sapu, sehingga jangan sampai mereka membunuh serangga atau lain-lainnya yang mereka tak sengaja perbuat. Tanda-tanda lain dari kaum Jaina ini ialah bahwa mulutnya ditutup dengan kain putih dan membawa sapu. Dalam lapangan filsafat, cara berpikir orang Jaina ini dinamai Syadwada yaitu bahwa semua itu adalah mungkin, dengan kepercayaannya bahwa apa yang nyata didunia ini bisa ditelaah dari bermacam-macam sudut dengan membawa kebenarannya masing-masing.(Syat: artinya benar). Umpama : ada seekor gajah, gajah itu jika dilihat hanya kakinya mirip dengan pilar, maka orang yang mengatakan kaki gajah itu seperti pilar merupakan hal yang benar. Jika dilihat dari sudut telinganya, gajah itu seperti kipas, itu pun betul. Semuanya batul dari sudutnya masing-masing. Contoh ini untuk membedakan Syadwada dengan seepticisme yang ada pada filsafat barat yang menganggap bahwa tak ada sesuatu yang benar.
Berhubung dengan Syahwada ini mereka mempunyai 7 prinsip dalam cara mereka berpikir:
1)      Syatesti : umpama dalam beberapa hal periuk ada di luar rumah
2)      Syatnasti : dalam beberapa hal periuk tidak ada di luar kamar
3)      Syatesti canas ti ca : periuk dalam beberapa hal ada di luar dan di dalam beberapa hal tidak ada di luar
4)      Syatawaktawyam : dalam beberapa hal periuk itu tak bisa digambar
5)      Syatasti avaktavyam ca : dalam beberapa hal ada di luar kamar dan beberapa hal tak bisa digambar
6)      Syatnasti ca avaktavyam ca : dalam beberapa hal periuk tidak ada di luar dan tidak bisa digambar
7)      Syatesti ca nasty ca avaktavyam ca : dalam beberapa hal periuk itu ada di luar dan dalam beberapa hal ada di dalam serta tidak bisa digambar

Ajaran syadvada ini dibandingkan dengan filsafat barat yaitu “pragmatism”. Umpama : Shiller menganggap bahwa tanggapan itu tidak benar, pun benar (tidak benar) tanpa hubungannya yang tertentu dan maksudnya yang tertentu pula. Selanjutnya dia mengatakan bahwa kebenaran yang sudah lumrah umpamanya segi empat itu bukan lingkaran, atau 2x2=4. Ini benar dalam hal dan hubungannya dengan suatu tertentu. Memang ada persamaan antara Jaina dengan Prgamatisme ala Shiller ini, tetapu bedanya Jaina adalah realis, sedangkan Pragmatis adalah idealis. Karena Jaina menganggap bahwa tanggapan yang berbeda-beda terhadap suatu hal, dilihat dan timbul dari keadaan sebenarnya daripada benda itu, sedangkan Shiller membeda-bedakan tanggapannya berdasarkan pemikiran yang subjektif tentang benda itu.
Kesimpulannya ialah bahwa:
Jaina = pragmatis realitas
Shiller = pragmatis idealitas
           
Yang terpenting dari ajaran Jaina ialah Ethica-nya sedangkan yang lain-lainnya adalah sebagai jalan, untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang baik dan benar yang merupakan juga jalan untuk mencapai “moksha”. Moksha dalam filsafat India (Hindu) ialah penuntutan dari seseorang untuk tidak lahir kembali ke dunia, karena lahir ke dunia adalah menderita. Menurut Jaina, yang lahir serta menderita adalah jiwa yang sebenarnya. Jiwa ini adalah maha sempurna, maha tahu, suksma dan sempurna. Karena kelahiran maka jiwa itu dengan sendirinya mengadakan hubungan dengan kebendaan yang selanjutnya melakukan karma sehingga semua ini menyebabkan jiwa yang maha sempurna itu diselubunginya sebagaimana halnya matahari diselubungi oleh mendung. Diselubunginya jiwa itu oleh benda karena ditarik oleh nafsu, keinginan dan keinginan ini ditentukan oleh karma dari orang tua yang kita warisi. Lahirnya manusia kedunia ini pada keluarga tertentu, sifat tertentu dan keadaan badan tertentu, semuanya disebabkan oleh karma yang kita warisi.
Jaina mengakui adanya banyak karma umpamanya :
Bhuta karma : karma yang menentukan dikeluarga mana kita dilahirkan
Ayu karma : karma yang menentukan panjang/pendek umur seseorang.

Ada pula karma yang meliputi pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang disebut Jnana Warania Karma. Darsana Warania Karma adalah karma yang meliputi kepercayaan seseorang. Warania berasal dari urat kata (wr) artinya yang meliputi wara artinya memiliki dan warna artinya kasta pilihan. Nafsu yang menyebabkan terikatnya jiwa pada keduniawian ialah:
1)      Krodha (kemarahan)
2)      Moha (kesombongan)
3)      Maya (kepalsuan), dan
4)      Lobha (tamak atau serakah)

Menurut Jaina kita bisa mencapai moksha setelah kita bisa memutuskan diri dari nafsu-nafsu keduniawian yang ditimbulkan oleh kebodohan, baik tentang sesuatu yang bersifat harta benda maupun yang lain-lainnya. Kebodohan ini bisa dihapuskan dengan pengetahuan yang sejati dan menurut Jaina pengetahuan itu dapat diterima dari ajaran-ajaran dari tirthankara ( guru-guru yang sudah mencapai moksa). Tetapi untuk meresapkan ajaran-ajaran ini haruslah kita mencapai serta mempunyai kepercayaan akan kebenaran ajaran-ajaran itu. Selanjutnya pengetahuan itu tidak akan ada gunanya jika salah pelaksanaanya dan oleh karena itu kita harus mempunyai laksana yang baik dan benar, dan kepercayaan yang baik itu akan timbul karena kita sudah tahu apa yang kita percayai (bukan sembarang percaya saja).

Dalam perbuatan harus melakukan Panca Maha Vrata (5 janji besar) yaitu:
a.       Ahimsa, satya, asteya, brahmacari, dan aparigraha (tidak menurui kemauan 5 indrranya)
b.      Dalam berbicara hendaklah diusahakan, jagan sampai menyakiti hati hati orang, baik sengaja maupun tidak
c.       Dalam perbuatan haruslah ditunjukkan rasa kasih sayang kepada sesama makhluk
d.      Melakukan pengekangan dalam pikiran, berbicara dan gerak
e.       Meditasi jaina sebagaimana juga Buddha mengajarkan orang meditasi untuk mendapatkan pengalaman-pengalaman sendiri dalam hal kebatinan, jaina mengajarkan suatu agama yang tidak percaya akan Tuhan (Atheis)

Adapun dasar-dasar dari keatheisan Jaina ialah bahwa ia tidak percaya dunia ini ciptaan dari Tuhan, karena untuk menciptakan sesuatu Tuhan harus mempunyai alat beserta bahan ciptaannya, tetapi kita belum pernah melihat Tuhan mempergunakan alatnya dan bahannya menciptakan dunia. Jaina juga tidak percaya jika kita berikan atribut bahwa Tuhan itu Maha sempurna. Jika demikian tentu yang dihasilkan dunia ini adalah buatan Tuhan, tetapi nyatanya tidak. Periuk umpamanya dihasilkan oleh tukang periuk, sedangkan sakit bukan buatan Tuhan tetapi disebabkan karena penyakit. Karenanya kita harus percaya pada orang yang terlepas dari hukum karma.
Filsafat aliran carwaka
            Filsafat india aliran carwaka ini digolongkan dalam aliran materialisme. Karena mereka ini, menganggap bahwa hanya apa yang bisa dilihat hanya itulah sumber pengetahuan yang paling dapat di percaya. Mereka mengatakan bahwa semua yang tidak bisa dilihat atau apa yang didapat hanya dengan mendengar/perbandingan saja adalah sumber pengetahuan yang sering menyesatkan. Oleh karena itu tidak bisa dipercaya sepenuhnya. Mereka hanya percaya pada apa yang dilihat pada waktu dan tempat itu juga. Menurut pendapatkanya material yang dilihat itu terdiri dari catur maha bhuta (4 unsur alam) yaitu hawa, api, air, tanah. Aliran filsafat lain menganggap dunia ini terjadi dari panca maha bhuta yaitu hawa, api, air, tanah, dan ether. Tetapi karena carwaka tidak percaya terhadap apa yang tidak dilihat dan dirasakan sendiri dan ternyata ether itu tidak bisa dilihat dan dirasakan sendiri maka mereka meniadakan unsure itu. Dengan demikian sudah sewajarnya mereka tidak percaya tentang adanya roh/jiwa, karena tak melihat dan merasakan adanya roh/jiwa. Jika seseorang menyatakan saya gemuk atau saya berani semua ini bertalian dengan badan yang terbuat dan terjadi dari material. Ketika ada pertanyaan mungkinkah kumpulan dari benda-benda materi itu bisa menjelmakan sesuatu yang hidu? Merea menjawab bahwa itu mungkin. Buktinya : kalau kita makan sirih,kapur, gambir, pinang, semuanya dipersatuan (dikunyah) maka akan menimbulan warna-warna, sedangan sebelumnya tidalah demikian. Berhubung dengan adanya demikian bukanlah sesuatu kemustahilan jika persenyawaan diantara benda-benda mati memungkinkan akan menimbulkan sesuatu benda hidup. Karena ketidak percayaan mereka tentang adanya roh ataupun jiwa maka sudah sewajarnya mereka tidak percaya kehidupan di dunia baka. Dan oleh karena itu pula mereka tidak berusaha hidup secara baik, bertuhan dan bermoral tinggi,karena mereka tidak percaya akan adanya phala (hukuman) setelah mereka mati.
Etika orang carwaka
            Beberapa aliran filsafat india, umpama mimamsa, percaya bahwa tujuan tertinggi dari manusia adalah mencapai surga yaitu tempat yang serba sukha yang bisa dicapai dengan upacara menurut ajaran weda. Tetapi orang carwaka menolak teori ini karena mimamsa itu tidak bisa membuktikan adanya hidup sesudah mati. Surga dan neraka itu hanyalah buatan para pendeta untuk memaksa agar rakyat melakukan upacara-upacara. Pendapat mimamsa ini tidak diakui kebenarannya oleh aliran-aliran filsafat lainnnya karena mereka percaya bahwa tujuan hidup tertinggi adalah moksa yaitu mendapat tempat dimana semua penderitaan-penderitaan enjadi sirna atau hilang. Tepai golongan carwaka tidak percaya akan adanya jiwa itu sendiri sehingga tidak percaya juga akan adanya moksa surge dan neraka itu dicapai semasa hidup sekarang ini. Orang-orang carwaka itu percaya bahwa badan manusia itu sudah terikat oleh perasaan senang ataupun sedih tidak bisa dilepaskan lagi yang mengakibatkan bertemunya dengan surga atau neraka. Yang dapat diusahakan oleh manusia yaitu mempersedikit perasaan sedih atau sakit, karena menghabiskan sekali sedih/sakit sama dengan kematian. Mereka mengatakan bahwa moksa itu bisa dicapai semasih hidup dengan jalan mematikan (menghabiskan) perasaan senang itu adalah manusia tolol. Carwaka percaya bahwa sedih dan senang tiada dapat dipisahkan tetapi adalah ketololan belaka bila kita membuang semua itu karena takut akan kesedihan. Mereka percaya bahwa hidup mereka adalah untuk hari ini belaka. Maka dengan demikian mereka mencemooh orang yang mau dengan harapan untuk mendapat kebahagian di hari depan. Mereka menyatakan lebih baik menjadi burung kecil sekarang daripada menjadi burung merak besok (itupun kalau ada penjelmaan hari esok). Menurut tanggapan carwaka, tujuan hidup utama/tujuan tertinggi dari hidup kita ini adalah kesenangan.
            Oleh karena itu, pendapat carwaka ini di dunia barat dinamai hedonisme (teori bahwa kesenangan adalah tujuan hidup tertinggi). Hal ini dengan sendiri bertentangan dengan ideal hidup filsafat lainnya di india, yang percaya bahwa tujuan hidup manusia ada 4 macam :
  1. Artha (membutuhkan harta kekayaan)
  2. Kama (memenuhi keinginan-keinginan)
  3. Dharma (melakukan tugas kebajikan)
  4. Moksha (mencapai kebahagiaan yang kekal)
Menurut tujuan hidup kaum carwaka hanyalah kama belaka sedangkan artha hanya merupakan suatu alat untuk kama atau kekayaan hanyalah alat mencapai kesenangan. Golongan kaum carwaka ini ada dua yaitu :
  1. Durta artinya licik/tak terpelajar
  2. Suchiksita artinya terpelajar
Di dalam filsafat barat yang pertama dinamai Crude Hedonist dan yang kedua dinamai Cultured Hedonist. Kedua-duanya menganggap bahwa kesenangan memang menjadi tujuan hidup tetapi pengikut-pengikut Suchiksita, carwaka mencapai kesenangan itu dengan mempelajari kesenian-kesenian dan lain-lain sebagainya yang 64 cabangnya. Salah seorang pengikut Suchiksita carwaka ialah vatsyayana yang mengarang “kama sutra” yaitu ilmu percintaan yang mengajarkan di samping rasa dan tingkah laku cinta disebut filsafat cinta
Berbeda dengan Durta Carwaka yang menganggap arta dan dharma itu semata-mata untuk kama. Vatsyayana mengajarkan bahwa ketiga-tiganya harus berkembang dengan harmonis. Ia menganggap bahwa kesenangan manusia tanpa seni adalah kesenangan ala binatang. Vatsyayana hidup dalam abad 1 masehi dan kama sutranya ialah kumpulan buku-buku dan tulisan-tulisan dari masa sebelumnya.




Oleh

1.      Ni Wayan  Maretayani                           
2.      Ni Nyoman Lini Purwanti                      
3.      Kadek Dwijayanti                                  
4.      I Kadek Pariana                                     

5.      Ni Luh Putu Diah Puspitasari               















7 comments:

Anatta Gotama mengatakan...

Tinjauan yang menambah wawasan. Terimakasih Saudara-saudari yang menyusun artikel bagus ini. Semoga segala kelimpahan dan anugerah-Nya senantiasa mengiringi gerak-langkah kalian.

Unknown mengatakan...

Materi yg sangat lengkap

Unknown mengatakan...

aaaaaaooba

Sri mengatakan...

Terimakasih saudaraku 🙏🙏🙏

Unknown mengatakan...

Thanks

Unknown mengatakan...

Saya sangat sugar dengan pelajaran ini

Reynaldo mengatakan...

Lengkap sekali terimakasi untuk pbuatnya

Posting Komentar