RSS

BUDAYA SEBAGAI EKSPRESI PENGAMALAN AJARAN AGAMA HINDU

A.    Kebudayaan Dan Unsur-Unsurnya
Dalam bahasa Sanskerta kita mengenal kata buddhi yang dalam bahasa Indonesia yang berarti budi atau akal. Bentuk jamak dari kata buddhi adalah buddhayah. Kita tahu bahwa sangat banyak kata-kata dalam bahasa Indonesia merupakan hasil adopsi dari bahasa Sanskerta, termasuk kata kebudayaan. Sesuai dengan makna definisi yang diberikan oleh Kuntjaraningrat bahwa kebudayaan merupakan hasil dari pengembangan akal manusia, demikian pula dalam Kamus Besar Indonesia keterangan dengan kebudayaan adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin ( akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat. Dari keseluruhan uraian ini kita dapat menyimpulkan bahwa kebudayaan pada dasarnya adalah semua produk akal budi manusia. Sebagai produk akal budi kebudayaan juga mempunyai wujud, yaitu:

1.      Wujud Kebudayaan
Tuhan Yang Maha Esa menciptakan manusia lengkap dengan akal dan pikiran, dengan mengembangkan akal dan pikirannya manusia menjadi makhluk yang berbudaya. Sebagai produk akal dan pikirannya setidak-tidaknya ada tiga wujud kebudayaan yaitu:
a.       Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai, norma,dan peraturan.
b.      Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat.
c.       Wujud kebudayaan sebagai suatu benda-benda hasil karya manusia
Sebagai suatu kompleks dari suatu ide, gagasan dari pikiran manusia budaya mempunyai wujud yang abstrak. Tidak dapat dilihat, diraba, dipandang maupun diflmkan dan letaknya dalam kepala-kepala manusia penganutnya. Para ahli antropologi dan ahli sosiologi menyebutkan sebagai sistem budaya.
Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, dapat berbentuk interaksi antar anggota masyarakat dapat diamati, dapat dilihat, dapat diasakan, oleh para ahli antropologi dan ahli sosiologi disebut sistem sosial.
Wujud ketiga dari kebudayaan sebagai benda-benda hasil kaya manusia disebut kebudayaan fisik, jelas dapat dilihat, dapat didokumentasikan, bentuknya ada yang besar, seperti candi, gapura, rumah, pabrik, dan pesawat terbang. Ada juga benda-benda yang kecil seperti manik-manik, kancing baju, dan transistor.
Apabila dicermati lebih mendalam ketiga wujud kebudayaan tersebut diatas, yaitu wujud gagasan, wujud aktivitas, dan wujud benda-benda fisik tampaknya saling ada keterkaitan satu sama lainnya. Biasanya wujud gagasan dapat mendorong timbulnya tindakan bahkan mengatur aktivitasnya menata sistem sosialnya. Kedua wujud kebudayaan ini dapat mendorong timbulnya bermacam-macam benda peralatan yang diperlukan, sehubungan dengan adanya aktivitas sosial tertentu berupa benda-benda fisik kalau wujud gagasan kita tempatnya paling atas, wujud aktivitas dibawahnya, dan wujud benda-benda fisik paling bawah maka pengaturan dari atas ke bawah biasanya dikaitkan selaras dengan dukungan dari bawah. Pengaturan atau hubungan, sepeti ini sering disebut sibernatik, yaitu hubungan diantara yang diatas dengan di bawah, yang diatas mengatur yang di bawah, yang di bawah memberi energi pada yang diatas, yang sekaligus merupakan kaitan hubungan, dalam hal ini kaitan hubungan antara tiga wujud kebudayaan tadi.
2.      Unsur-Unsur Kebudayaan
Adapun unsur-unsur universal kebudayaan itu adalah sebagai berikut:
a.       Sistem religi
b.      Sistem organisasi kemasyarakatan
c.       Sistem pengetahuan
d.      Bahasa
e.       Kesenian
f.       Sistem mata pencarian
g.      Sistem teknologi dan peralatan
Dari ketujuh unsur kebudayaan ini selalu tampak ada dalam setiap kebudayaan, dari kebudayaan yang paling sederhana sekalipun sampai pada kebudayaan yang sudah maju dan berkembang modern.
1.      Sistem religi berkaitan dengan keyakinan atau kepercayaan, unsur ini selalu ada dalam kenyataan setiap kebudayaan dari yang paling primitif sekalipun sampai pada kebudayaan yang sudah maju. Kebudayaan pada makhluk-makhluk gaib pada kelompok yang dikatakan masih primitif hingga pada keyakinan agama yang sudah terstruktur dalam masyarakat yang sudah maju.
2.      Sistem organisasi kemasyarakatan
Sistem kebudayaan mempunyai sistem organisasi sosial yang menata kehidupan masyarakatnya, menentukan dan mengatur hubungan antar orang-orang yang diberi kedudukan tertentu, dengan orang-orang dibawahnya. Kriteria orang-orang yang mempunyai kekuasaan memerintah dan lain sebagainya. Dalam kebudayaan yang sudah maju, pada masyarakatnya akan berkembang organisasi-organisasi sosial yang sudah berstruktur yang jelas jenis tugas masing-masing pejabat dalam oraganisasi, seperti rukun tetangga, rukun warga, dan lain-lainnya. Dalam masyarakat lainnya kita mengenal adanya kepala adat atau kepala suku yang mempunyai otoritas mengatur dalam kehidupan sukunya.
3.      Sistem pengetahuan
Pengetahuan adalah apa yang diketahui oleh manusia, dan ini ada dalam setiap kebudayaan. Semakin maju komunitas kebudayaan itu semakin maju pula pengetahuan yang dimilikinya. Dalam masyarakat yang kebudayaannya masih sederhana mereka juga memiliki pengetahuan misalnya mereka tahu mana tanaman yang buahnya dapat dimakan, mana tanaman yang dapat dijadikan obat, dan lain-lainnya. Dalam kebudayaan yang sudah maju, pengetahuannya juga maju, mungkin sudah merupakan pengetahuan ilmiah yang disebut ilmu pengetahuan
4.      Bahasa
Bahasa merupakan unsur kebudayaan yang universal, artinya bahasa ada pada setiap kebudayaan manusia di dunia. Betapapun sederhananya kebudayaan itu, selalu ada unsur bahasa yang dipergunakan sebagai alat komunikasi antar warganya. Sampai sekarang belum pernah diketemukan suatu masyarakat manusia atau sesuatu kebudayaan yang tidak memiliki unsur bahasa. Selain sebagai alat berkomunikasi, bahasa yang juga suatu sistem suara yang mempunyai lambang-lambang juga dapat menjadi alat penampung akalnya. Dengan dapatnya ditampung gagasan-gagasan baru itu, dapat dikembangkan menjadi konsep-konsep yang dapat dikomunikasikan, dipercaya dan diajarkan pada generasi berikutnya. Demikianlah bahasa merupakan unsur penting dalam kebudayaan dan unsur penting pula dalam proses belajar.
5.      Kesenian
Kesenian berhubungan dengan rasa keindahan ( estetika). Dalam setiap kebudayaan selalu ada unsur seni. Kesenian ini bermacam-macam bentuknya, ada seni suara, seni lukis, seni tari atau seni gerak. Kesenian merupakan unsur menonjol pada setiap kebudayaan. Setiap orang sesungguhnya mempunyai rasa seni dan dapat mengembangkan bakat seninya itu. Unsur seni ada pada setiap kebudayaan. Kita mengenal patung asmat dari Papua dan hiasan diantara kening penari-penari suku Aborigin Australia.
6.      Sistem mata pencaharian
Setiap orang merasa perlu mempertahankan hidupnya. Oleh karena itu, selalu berusaha untuk mengikuti suatu mata pencaharian. Sistem mata pencaharian selalu ada pada setiap kebudayaan atau yang disebut dengan sistem ekonomi. Tentu saja sistem ekonomi dapat berbeda pada setiap kebudayaan, ada sistem perkebunan, sistem ladang berpindah, sistem pertanian, sebagai nelayan, karyawan industri. Biar betapapun primitifnya kebudayaan itu sistem mata pencaharian selalu ada.
7.      Sistem teknologi dan peralatan
Sistem ini selalu ada pada setiap kebudayaan karena setiap manusia selalu memerlukan peralatan untuk memecahkan sesuatu. Dalam masyarakat yang masih primitif pada jaman dahulu, ilmu pengetahuan dapat menemukan kapak batu, tombak batu sebagai peralatan yang membantu kehidupan mereka.

B.     Kebudayaan Hindu Di Indonesia
1.      Pembawa Pengaruh Kebudayaan Hindu di Indonesia
Ada bermacam-macam pendapat tentang siapa yang menyebarkan kebudayaaan Hindu di Indonesia. Berikut ini adalah  beberapa pendapat menurut para ahli.
Krom berpendapat bahwa penyebar kebudayaan Hindu di Indonesia adalah para pedagang. Para pedagang itu datang ke Indonesia dan mereka mereka menetap beberapa waktu di Indonesia dan merekalah yang berperan penting dalam penyebaran pengaruh kebudayaan itu. Di antara para pedagang mempunyai hubungan baik bahkan ada yang mengawini orang setempat. Melalui perkawinan campuran ini penyebaran pengaruh kebudayaan Hindu jadi sangat mudah, tanpa menimbulkan gejolak apapun sama sekali. Penyebaran secara damai ini disebut penetration paepique, pendapat Krom ini oleh Bosch disebut dengan hipotesis Vaisya karena kaum pedagang adalah termasuk kelompok Vaisya.
Berg berpendapat bahwa yang berperanan penting dalam penyebaran pengaruh kebudayaan kebudayaan Hindu adalah para ksatria. Para ksatria datang secara berombongan mereka merampok dan merampas koloni dan menetap di sana. Kemudian, koloni-koloni para ksatria India ini menjadi pusat penyebaran kebudayaan Hindu di Indonesia. Mungkin juga mereka mendapatkan kedudukan tinggi karena dapat mengawini putri raja Jawa  pada kerajaan yang sudah ada. Jadi, para ksatria dianggap berperan besar dalam membentuk dinasti-dinasti di pulau Jawa. Pendapat serupa juga disampaikan oleh Moun yang menganggap bahwa para keturunan dari dinasti-dinasti di India yang telah runtuh banyak yang datang ke Indonesia merekalah yang mendirikan kerajaan-kerajaan di Indonesia dan menjadi nenek moyang dari dinasti-dinasti kerajaan Hindu di Indonesia.
Pendapat-pendapat tersebut banyak mendapat sanggahan dari para pembanta. Bahwa para pedagang tidak mungkin membawa pengaruh kebudayaan Hindu karena kebudayaan Hindu yang tampak berkembang dalam kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan dalam bentuk syair, ini adalah kemampuan para brahmana. Seandainya kebudayaan itu dibawa para ksatria apalagi pelaut-pelaut, para niagawan, sudah tentu pusat-pusat kebudayaan Hindu ada di dekat pantai, bukan pedalaman, seperti pusat-pusat kerajaan di Jawa maupun Kutai Kalimantan Timur, demikian juga kerajaan Taruma di Jawa Barat.
Pendapat lain datang dari Van Leur yang menyatakan bahwa yang membawa pengaruh kebudayaan Hindu ke Indonesia adalah para Brahmana. Para Brahmana yang memahami masalah kebudayaan, agama, filsafat, kesusastraan, seni arca, dan seni bangunan. Tidak menutup kemungkinan para Brahmana itu datang memang sengaja diundang untuk keperluan upacara keagamaan sehingga para Brahmana itu mendapat kedudukan tinggi dan terhormat di istana para penguasa Indonesia. Dengan kedudukan, seperti itu sangat mudah bagi para Brahmana untuk menyebarkan pengaruhnya. Apalagi kenyataan yang ada dalam pengaruh kebudayaan India itu tidak hanya seni sastra, pranata-pranata kenegaraan kenegaraan dan lain-lain tetapi termasuk pula pengaruh agama Hindu.
Ternyata dalam masyarakat Hindu, agama merupakan faktor yang amat penting maka pendapat yang menyatakan bahwa pengaruh kebudayaan Hindu dibawa oleh para agamawan, yaitu para brahmana dan kaum cendikiawan mempunyai kebenaran yang kuat. Namun demikian, tidak pula berarti para ksatria dan para pedagang tidak berperan, mereka mempunyai peranan walau tidak sebesar peranan Brahmana.
2.      Unsur-Unsur Kebudayaan Hindu yang Mempengaruhi Indonesia
Sebagaimana yang telah diuraikan di depan bahwa wujud kebudayaan universal ada tiga yaitu wujud gagasan pemikiran, wujud aktivitas, dan wujud benda-benda fisik. Koentjaraningrat berpendapat bahwa pengaruh kebudayaan Hindu terhadap kebudayaan Indonesia berwujud gagasan, konsep dan pandangan-pandangan, jadi berupa sistem nilai yang terdapat dalam kitab-kitab agama dan kesusastraan yang berbahasa Sanskerta di samping pengaruh upacara-upacara agama  dan wujud kebudayaan material lainnya.
Pengaruh unsur-unsur kebudayaan Hindu terhadap kebudayaan Indonesia setidaknya terdiri dari 6 unsur, yaitu sebagai berikut:
1.      Agama, seperti agama Hindu maupun Buddha
2.      Kesenian, berwujud seni sastra, seni bangunan, seni patung dan seni hias
3.      Bahasa, bahasa Sanskerta
4.      Teknologi, terutama arsitektur bangunan
5.      Organisasi sosial dalam wujud konsepsi dasar dan organisasi sistem kasta
6.      Sistem pengetahuan, terutama ilmu kedokteran dan pengobatan, ilmu hukum, seperti dalam kitab Manawadharma satra.
Dengan melihat keenam unsur kebudayaan tersebut tampak bahwa sesungguhnya adalah telah diresapi nilai-nilai agama Hindu yang di tranformasi dari kitab-kitab Veda, dan unsur-unsur itulah yang berkembang dalam masyarakat Indonesia.
C.    Nilai-Nilai Agama Hindu Dalam Kebudayaan

1.      Nilai-Nilai Agama Hindu dalam Sistem Religi
Dalam hubungan dengan agama Hindu, sistem religi dipahami sebagai tata cara pengamalan ajaran keyakinan agama Hindu yang telah membudaya dalam masyarakat. Pokok-pokok keyakinan dalam ajaran Hindu disebut Panca Sradha.
a.      Panca Sradha
1)      Keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang di dalam kitab-kitab suci Hindu disebut Brahman. Dalam bahasa masyarakat dipakai sebutan Sang Hyang Widhi Wasa. Dipuja dalam berbagai manifestasi yang disebut Ista Dewata, seperti Brahman, Wisnu, Siwa, yang juga dikenal dengan Trimurti. Brahma adalah Maha Pencipta, disebut Wisnu waktu memelihara alam ini dan disebut Siwa pada saat melaksanakan maha pralaya melebur alam semesta kembali pada asalnya. Demikian dalam keyakinan masyarakat Hindu Tuhan Yang Maha Esa disebut Dibata Sibincar Mulana Jadi, Brahma disebut Dibata Kaci-Kaci atau Dibata Banua Kaling atau Dibata Tengah, Siwa disebut Padukkah Ni Aji atau Dibata Teruh, sedangkan Trimurti disebut Sisada Telu. Pada masyarakat Hindu dengan budaya yang lain tentu kita akan memerlukan nama lain sesuai dengan bahasa dalam budaya itu. Brahman disebut juga Parama Atma sumber segala yang ada.
2)      Keyakinan Terhadap Atma atau Atma Sraddha
Atma adalah percikan terkecil dari Parama Atma, yaitu Sang Hyang Widhi Wasa yang berada di dalam tubuh setiap makhluk. Atman dalam tubuh manusia disebut Jiwatman yang menghidupkan manusia itu.Jadi manusia hidup karena adanya atman pada tubuhnya. Bilamana ditinggal oleh atman badan itu akan mati.
Eko devas sarva bhutesu gudhas
Sarva vyapi sarva bhuta tarat ma
Karma dhyaksas sarva bhuta divasas
Saksi ceta kevalo nirgunasca
(Sveta Svataraupanisad VI.II)
Artinya:
Tuhan Yang Maha Esa yang bersembunyi pada tiap makhluk, memerintah semua tindakan, berada dalam setiap ciptaan dan menjadi saksi abadi tanpa memiliki sifat apa pun.
3)      Keyakinan terhadap hukum karma
Kita percaya bahwa perbuatan yang baik (subha karma) membawa hasil yang baik dan perbuatan yang buruk (asubha karma) membawa hasil yang buruk. Jadi, seseorang yang berbuat baik pasti baik pula yang akan diterimanya, demikian pula sebaliknya yang berbuat buruk, buruk pula akan diterimanya. Karmaphala memberi keyakinan kepada kita untuk mengarahkan segala tingkah laku kita agar selalu mendasarkan etika dan cara yang baik guna mencapai cita-cita yang luhur dan selalu menghindari jalan dan tujuan yang buruk, inilah nilai-nilai agama Hindu dalam hukum karma.
Pahala dari karma itu ada 3 macam, yaitu berikut ini.
a)      Sancita Karmaphala ialah pahala dari perbuatan dalam kehidupan terdahulu yang belum habis dinikmati dan masih merupakan benih yang menentukan kehidupan kita sekarang.
b)      Prarabda Karmaphala ialah pahala dari perbuatan kita pada kehidupan ini tanpa ada sisanya lagi.
c)      Kriyamana Karmaphala ialah hasil perbuatan yang tidak dapat dinikmati pada saat berbuat sehingga harus diterima pada kehidupan yang akan datang.
Dengan pengertian tiga macam Karmaphala itu maka jelaslah cepat atau labat, dalam kehidupan sekarang atau nanti segala pahala dari perbuatan itu pasti diterima karena sudah merupakan hukum.Karmaphala mengantarkan roh (atma) masuk surga atau masuk neraka .Bila dalam kehidupannya selalu berkarma baik maka pahala yang didapat adalah surga, sebaliknya bila hidupnya itu selalu berkarma buruk maka hukuman nerakalah yang diterimanya.Dalam pustaka-pustaka dan cerita-cerita keagamaan dijelaskan bahwa surga, artinya alam atas, alam suksma, alam kebahagiaan, alam yang serba indah dan serba mengenakkan.Neraka adalah alam hukuman, tempat roh atau atma mendapat siksaan sebagai hasil dari perbuatan buruk selama masa hidupnya. Selesai menikmati surga atau neraka, roh atau atma akan mendapatkan kesempatan mengalami penjelmaan kembali sebagai karya penebusan dalam usaha menuju Moksa.
4) Keyakinan terhadap penjelmaan kembali
Dalam sastra-sastra Hindu keyakinan terhadap penjelmaan kembali disebut juga punarbhawa.
Jadi, Punarbhawa ialah keyakinan terhadap kelahiran yang berulang-ulang yang disebut juga penitisan atau Samsara.Dalam Pustaka Suci Weda dinyatakan bahwa penjelmaan jiwatman berulang-ulang di dunia ini atau di dunia yang lebih tinggi disebut Samsara.Kelahirannya yang berulang-ulang ini membawa akibat suka dan duka.
Punarbhawa atau Samsara terjadi oleh karena jiwatman masih dipengaruhi oleh Wisaya dan Awidya sehingga kematiannya akan diikuti oleh kelahiran kembali. Dalam Bhagawadgita Sang Krisna berkata demikian.
“Wahai Arjuna, kamu dan Aku telah lahir berulang-ulang sebelum ini, hanya Aku yang tahu, sedangkan kamu tidak, kelahiran sudah tentu akan diikuti oleh  kematian dan kematian akan diikuti oleh kelahiran”.
Segala perbuatan ini menyebabkan adanya bekas (wasana) pada jiwatma. Bekas-bekas perbuatan (karma wasana) ada bermacam-macam, jika yang melekat bekas-bekas keduniawian maka jiwatman akan lebih cenderung dan gampang ditarik oleh hal-hal keduniawian sehingga jiwatman itu lahir kembali.  
5) Keyakinan terhadap bersatunya Atman dengan Brahman
Tujuan hidup umat Hindu ialah mendapatkan kebahagiaan lahir dan batin (moksartham jagadhita).Kebahagiaan batin yang tertinggi ialah bersatunya Atman dan Brahman yang disebut Moksa.Moksa atau mukti atau nirwana berarti kebebasan, kemerdekaan atau terlepas dari ikatan karma, kelahiran, kematian atau belenggu maya/ penderitaan hidup keduniawian.Moksa adalah tujuan terakhir bagi umat Hindu. Dengan menghayati dan mengamalkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari secara baik dan benar, misalnya dengan menjalankan sembahyang batin dengan menetapkan cipta (Dharana), memusatkan cipta (Dhyana) dan mengheningkan cipta (Semadhi), manusia, berangsur-angsur akan dapat mencapai tujuan hidupnya tertinggi ialah bebas dari segala ikatan keduniawian, untuk mencapai bersatunya Atman dengan Brahman.
Bhagawadgita VII. 9
“Bahunan janmanam ante
Jnnanawan mam pradadyate
Wasudewah sarwam iti
Sa mahatma sudurlabhah.”
Artinya:
Pada akhir dari banyak kelahiran orang yang bijaksana menuju kepada Aku karena mengetahui bahwa Tuhan adalah semuanya yang ada.
Kebebasan yang sulit dicapai banyak makhluk akan lahir dan mati, serta hidup kembali tanpa kemauannya sendiri. Akan tetapi, masih ada satu yang tak tampak dan kekal, tiada binasa di kala semua makhluk binasa.Nah, yang tak tampak dan kekal itulah harus menjadi tujuan utama supaya tidak lagi mengalami penjelmaan ke dunia, tetapi mencapai tempat Brahman yang tertinggi. Jika kita selalu ingat kepada Brahman, berbuat demi Brahman maka tak usah disangsikan lagi kita akan kembali kepada Brahman. Untuk mencapai ini orang harus selalu berusaha, berbuat baik sesuai dengan ajaran agamanya.Kitab suci telah menunjukan bagaimana caranya orang melaksanakan pelepasan dirinya dari ikatan maya agar akhirnya Atman dapat bersatu dengan Brahman (suka tan pawali duka) sehingga penderitaan.Dapat dikikis habis dan tidak lagi menjelma ke dunia ini.
b. Panca Yadnya
Panca yadnya adalah 5 jenis karya suci sebagai bentuk pengamalan yang diselenggarakan oleh umat Hindu di dalam usaha mencapai kesempurnaan hidup.Adapun Panca Yadnya atau Panca Maha Yadnya tersebut terdiri dari berikut ini.
1)      Dewa Yadnya
Ialah suatu korban suci/persembahan suci kepada Sang Hyang Widhi Wasa dan seluruh manifestasi-Nya yang terdiri dari Dewa Brahma selaku Maha Pencipta, Dewa Wisnu sebagai Maha Pemelihara dan Dewa Siwa selaku Maha Pralina (pengembalikepada asalnya) dengan mengadakan serta melaksanakan  persembahyangan Tri Sandya (bersembahyang tiga kali di dalam sehari) serta Muspa (kebaktian dan pemujaan dilaksanakan pada hari-hari suci, hari peringatan (Rerahinan), hari ulang tahun (Pawedalan) ataupun hari-hari raya lainnya, sepertiHari Raya Galungan dan Kuningan. Hari Raya Saraswati, dan Hari Raya Nyepi.
2)      Pitra Yadnya
Ialah suatu korban suci/persembahan suci yang ditujukan kepada roh-roh sucileluhur (pitra) dengan menghormati dan mengenang jasanya dengan menyelenggarakan upacara Jenasah (Sawa Wedhana) sejak tahap permulaan sampai tahap terakhir yang disebut Atma Wedhana.
Adapun tujuan dari pelaksanaan Pitra Yadnya ini adalah demi pengabdian dan bakti yang tulus iklas, mengangkat serta menyempurnakan kedudukan arwah leluhur di dalam surga.Memperhatikan kepentingan orang tua dengan jalan mewujudkan rasa bakti, memberikan sesuatu yang baik dan layak, menghormati serta merawat hidup di hari tuanya juga termasuk pelaksanaan Yadnya. Hal tersebut dilaksanakan atas kesadaran bahwa sebagai keturunannya ia telah berutang kepada orang tuanya (leluhur), seperti berikut ini.
a)      Kita berutang badan yang disebut dengan istilah Sarirakrit
b)      Kita berutang budi yang disebut dengan istilah Anadtha
c)      Kita berutang jiwa yang disebut dengan istilah Pranadatha
3)      Manusa Yadnya
Adalah suatu korban suci/pengorbanan suci demi kesempurnaan hidup manusia.
Di dalam pelaksanaannya dapat berupa Upacara Yadnya ataupun keselamatan, diantaranya ialah sebagai berikut ini
a)      Upacara selamatan (jatasamskara/Nyambutin) guna menyambut bayi yang baru lahir
b)      Upacara selamatan(nelu bulanin) untuk bayi (anak) yang baru berumur 3 bulan (105 hari)
c)      Upacara selamatan setelah anak berumur  6 bulan (oton/weton)
d)     Upacara perkawinan (Wiwaha) yang disebut dengan istilah Abyakala/Citra Wiwaha/Widhi-Widhana.
Di dalam menyelenggarakan segala usaha serta kegiatan-kegiatan spiritual tersebut, masih ada lagi kegiatan dalam bentuk yang lebih nyata demi kemajuan dan kebahagiaan hidup si anak di dalam bidang pendidikan, kesehatan dan lain-lain guna persiapan menempuh bkehidupan bermasyarakat. Juga usaha di dalam memberikan pertolongan dan menghormati sesama manusia mulai dari tata cara menerima tamu (athiti karma), memberikan pertolongan kepada sesama yang sedang menderita (Maitri) yang diselenggarakan dengan tulus ikhlas adalah termasuk Manusa Yadnya.
4)      Rsi Yadnya
Adalah suatu Upacara Yadnya berupa karya suci keagamaan yang ditujukan kepada para Maha Rsi, orang-orang suci, Rsi, Pinandita, Guru yang di dalam pelaksanaanya dapat diwujudkan dalam bentuk berikut.
a)      Penobatan calon sulinggih menjadi sulinggih yang disebut Upacara Diksa
b)      Membangun tempat-tempat pemujaan untuk Sulinggih
c)      Menghaturkan/memberikan punia pada saat-saat tertentu kepada Sulinggih
d)     Menaati, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran para Sulinggih
e)      Membantu pendidikan agama di dalam menggiatkan pendidikan budi pekerti luhur, membina dan mengembangkan ajaran agama
5)      Bhuta Yadnya
Adalah suatu korban suci/pengorbanan suci kepada sarwa bhuta, yaitu makhluk-makhluk rendahan, baik yang terlihat (sekala) ataupun yang tak terlihat (niskala), hewan (binatang) tumbuh-tumbuhan dan berbagai jenis makhluk lain yang merupakan ciptaan Sang Hyang Widhi Wasa.
Adapun pelaksanaan upacara Bhuta Yadnya ini dapat berupa: Upacara Yadnya (korban suci) yang ditujukan kepada makhluk yang kelihatan/alam semesta, yang disebut dengan istilah Mecaru atau Tawur Agung, dengan tujuan untuk menjaga keseimbangan, kelestarian antara jagad raya ini dengan diri kita yaitu keseimbangan antara makrokosmos dengan mikrokosmos.
Di dalam pelaksanaan yadnya biasanya seluruh unsur-unsur Panca Yadnya telah tercakup di dalamnya, sedangkan penonjolannya tergantung yadnya mana yang diutamakan

2. Nilai-nilai Agama Hindu dalam Kesenian
Sebagaimana telah dijelaskan di depan bahwa kesenian adalah produk kebudayaan. Sebagai produk kebudayaan maka kesenian memiliki bentuk yang beraneka ragam. Seorang seniman dalam berkarya tidak semata-mata mengandalkan kemampuan intelektualnya saja, melainkan juga melaksanakan olah batin sesuai ajaran agama, melakukan renungan mohon petunjuk dari Tuhan Yang Maha Esa, agar karyanya itu mengandung nilai-nilai spiritual.
Oleh karena itu, karya seni yang telah dijiwai oleh nilai-nilai ajaran agama Hindu dapat menjadi media yang sangat efektif dalam membangkitkan emosi keagamaan sehingga pada gilirannya dapat memantapkan kekhidmatan dan kekhusyukan dalam melaksanakan upacara-upacara agama.Agama Hindu dengan budayanya memang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Dalam kitab suci Rgveda VIII.742 terdapat sebuah mantra demikian.
Visvesam aditir yajniyanam, visvesam atithir manusanam.
Artinya:
Dia (Tuhan) adalah Aditi yang utama diantara penerima sajian.Dia (Tuhan) adalah Atithi (tamu) di antara semua manusia.
     Jadi, dalam setiap upacara agama kehadiran Tuhan adalah merupakan Tamu Agung yang sangat utama maka harus mendapat pelayanan dan persembahan terbaik. Oleh karena itu, pantaslah setiap bhakti ingin mempersembahkan sesuatu yang terbaik ke hadapan Tuhan yang dipandang sebagai yang sangat utama dan tamu yang paling mulia yakni sebagai Aditi dan Atithi untuk dipuja, sikap inilah yang melahirkan berbagai ciptaan seni yang merefleksikan rasa bakti yang ingin dipersembahkan.
Orang-orang suci zaman Veda menemukan bahwa nyanyian merupakan saranan pengungkapan perasaan yang sangat mendalam. Oleh karena itu, kecintaan kepada Tuhan dilahirkan dalam bentuk nyanyian dan menginginkan agar nyanyian  mereka diterima dengan penuh cinta kasih, sebagaimana terungkap dalam Veda:
Arcata prarcata priyamevaso arcata,
Arcantu putraka utam puram na dhrsnvarcata
(Rgveda.VIII.69 :80)
Artinya :
Nyanyikanlah-nyanyikanlah lagumu oh Priyammeda, nyanyikanlah-nyanyikanlah Dia (yang menjadi tempat berlindung/Tuhan) laksana istana yang kokoh).

Ava savarati gargaro godha, pari sanisvanat pinga pari,
Caniskadat indraya brahmodyatama
(Rgveda VIII.69 :9)
Artinya :
Nah geseklah garbha (rebab) dengan nyaring, kumandangkanlah suara kecapi, dengungkanlah suara music, kepada Tuhan kami persembahkan nyanyian.
Mantra-mantra tersebut mengilhami lahirnya berbagai macam seni yang semuanya tujuannya untuk mempersembahkan rasa bhakti kehadapan Tuhan Yang Maha Esa Hyang Widhi Wasa.
a.       Seni Musik
Dengan irama lagu yang syahdu sangat mendukung terwujudnya suasana khusuk khidmat, hening dan suci, dipadu dengan seni vokal, berupa kidung-kidung maupun kakawin semakin terasa suasana keagamaan.
Perhatikanlah mantra-mantra veda berikut.
1)      Belajarlah mantra-mantra musik (gambelan)
Svaras ca me, slokas ca me.
Yjajurveda XVIII.1
“Hendaknyalah Anda belajar nada-nada seni bunyi-bunyian (music) dan pengubahan lagu”
2)      Nyanyikanlah dalam nada-nada yang berbeda
Gaye sasasravartani.
Samaveda 1829.
“Kami menyanyikan mantra-mantra Samaveda dalam ribuan cara”
Ubhe vacau vadati samaga iva
Gayatram ca traistubham canu rajati.
Regveda II. 43. 1
“Burung menyanyi dalam nada-nada yang berbeda, seperti seorang perapal samaveda, yang mengidungkan mantra dalam irama Gayatri dan Tristubh”.
3)      Nyanyikanlah lagu-lagu bagi keagungan Tuhan YangMaha Esa
Gayatri tva gayatripah,
Arcanti-arkam arkinah.
Samaveda 342
“Ya, Tuhan Yang Maha Esa, para penyanyi memuliakan Engkau dengan mantra Gayatri dan para perapal Rgveda memuja Engkau dengan mantra-mantra Rgveda.
4)      Nyanyikanlah mantra-mantra untuk Tuhan Yang Maha Esa
Indra sama gayata
Samaveda 388
“Wahai para penyanyi, nyanyikanlah Samaveda bagi Sang Hyang Indra”
5)      Bernyanyi (berkidung) dalam paduan suara
Sakhyana a ni sidata
Punanaya pra gayata
Rgveda IX. 104.1
“Ya, teman-teman, duduk dan nyanyikanlah lagu-lagu dalam paduan suara bagi dewa”.
Oleh karena dalam masyarakat Bali perangkat seni musik, seperti seni tabuh
dipandang memiliki dewanya masing-masing maka pada setiap acara sebelum menabuh selalu diawali dengan upacara tertentu, untuk memohon kepada yang Maha Kuasa agar diberi “Taksu” atau tuah agar sajian musik atau tabuhannya mampu menggetarkan perasaan.
Irama tabuh yang diciptakan banyak mendapat inspirasi dari suara alam ciptaan Tuhan, seperti suara angin yang kencang dan lembut ditransfer dalam “kumbang ngisep sari” dalam seni tabuh maupun kidung. Seni kekawin jenis lagunya juga banyak mendapat inspirasi dari suara penghuni alam semesta ciptaan Tuhan, seperti adanya wirama aswa lalita (kuda birahi) bramara ngisep sari dan sebagainya. Melalui seni vocal dan kerawitan tersebut telah mampu memperdengarkan irama lagu yang dirasakan sesuai dengan jenis yadnya yang disertainya.
6)      Peralatan music (gamelan)
Ava svarati gargaro
Godha pari sanisvanat
Pinga pari caniskadad
Indra ya brama-udyatman
Regveda VIII. 69.9
“Kelompok orang-orang yang bersembahyang mempersembahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan alat-alat musik (gamelan) yang menyertainya dimainkan oleh pengatur tinggi nada, kecapi dan seruling”.

Mahesa vina vadam
Krosaya tunavadharman,
Avarasparaya sankhadhmam.
Yajurveda XXX. 19
“Peniup seruling, peniup terompet dan peniup terompet-kulit-kerang dipergunakan untuk upacara-upacara dan mengundang banyak orang”.
Yatragatah karkaryah
Sam vadanti
Atharvaveda IV 37.5
“Tarian itu diiringi dngan canang (ceng-ceng)  dan kecapi-kecapi”.
7)      Kecapi itu berisi tujuh dawai
Iyam asya dhamyate nadir,
Ayam girbhih pariskrtah
Regveda X. 135. 7
“Pipa itu ditiup dan nada-nadanya diserasikan dengan ucapan”.
8)      Permainan seruling
Satam venun
Regveda VIII. 8.55.3
(Sang Hyang Indra memberikan seratus buah seruling kepada pengikut/penganutnya).
b.      Seni tari
Seni tari ditampilkan sebagai wujud penyambutan banyak memperkaya khasanah kebudayaan Hindu yang memberi daya tarik tersendiri. Mantra-mantra veda tersebut juga telah mengilhami ciptaan dari, seperti baris gede, rejang dewa, dalam kesenian Bali yang melukiskan Widyadara dan Widyadari di alam surge tatkala menyambut kehadiran para dewa, perhatikan mantramantra veda berikut.
1)      Mari kita menyanyi dan tertawa
Pranco agama nrtaye hasaya.
Regveda X. 18.3
“Marilah kita maju untuk menai dan bersuka-ria”
2)      Gadis penari
Pranco agama nrtaye hasaya.
Regveda I.124.7
“Dewi Fajar, seperti seorang gadis yang menari, memamerkan kecantikannya”
3)      Tarian bersama
Samrbhya dhirah svasrbhir
anartisur, aghosayantah prthivim
upabdhibhih.
Regveda X. 94.4
“Orang-orang yang berpengetahuan tinggi ini menari bersama saudara-saudara perempuan mereka, bergemerincing bumi dengan derap-derap kaki mereka”
4)      Pesta tari
Suparna vacam akrata-upa dyavi-
akhare krsna isira anartisuh
Regveda X. 94.5
“Burung-burung berkicau dan rusa hitam yang liar menari di sarang-sarang mereka”
5)      Sebuah kombinasi tarian dan gamelan (musik)
Nrttaya sutam, gitaya sailusam
Yajurveda XXX.6
“Para pengendara kereta perempuan dan para seniman pria menyanyi”
6)      Seni tari dan peralatan musik (gamelan)
Nrttaya-anandaya talavam
Yajurveda XXX.20
“Tarian dan keriang-gembiraan itu diiringi dengan tabla atau kendang”
Beberapa tarian seperti Baris Gede dan Rejang Dewa, kemudian dibakukan sebagai pengiring upacara di Pura-pura pada saat “mamendak” maupun ketika “nedunang Ida Bhatara ke Bale Paselang” dalam upacara-upacara besar sebagaimana diatur dalam lontar Dewa tattwa di Bali.
c.       Seni rupa
Seni rupa dalam bentuk lukisan-lukisan kain dinding (parba) pada bangunan di pura, temanya tidak lepas dari nilai-nilai ajaran agama. Apalagi lukisan “rerajahan” yang memang bernilai sakral, dengan lukisan dasakrasa, senjata nawa sanga serta lukisan sakral lainnya dijiwai nilai-nilai agama Hindu dipergunakan dalam upacara-upacara khusus. Kita dapat menjumpai lukisan Dewi Saraswati, sebagai lambang ilmu pengetahuan, lukisan Smara Ratih yang terbakar oleh api kemarahan yang keluar dari dahi Bhatara Siwa, dalam cerita “Kama Ratih” atau lukisan “Tegal Panangsaran” yang menggambarkan bagaimana siksaan yang dialami para atma yang papa. Mengenai lukisan rerajahan yang dipergunakan secara khusus diyakini mampu menangkal gangguan-gangguan dari roh-roh jahat.
d.      Seni pahat atau seni ukir
Seni pahat atau seni ukir memanfaatkan dinding tembok atau dinding bangunan sebagai media pahatan atau ukiran umumnya mengambil tema dari itihasa Ramayana, Mahabharata atau cerita Tantri Kamandaka, sesuai dengan “pesan dharma” yang disampaikan.
Contohnya:
Di kawasan Candi Prambanan, pada Candi Siwa dinding-dindingnya dihias dengan relief Ramayana, demikian pula pada Candi Brahma dihias dengan cerita Ramayana lanjutan dari Candi Siwa. Pada Candi Wisnu relief yang dipahatkan adalah cerita-cerita tentang Kresna.
e.       Seni tok
Seni arsitektur atau seni bangunan khususnya bentuk-bentuk bangunan “Pelinggih” di pura atau bangunan candi, masing-masing mempunyai cirri-ciri tersendiri. Bentuk Padmasana, Gedong atau Meru, misalnya masing-masing mempunyai karakter tersendiri. Bangunan untuk pemujaan dan bangunan rumah tinggal masing-masing mempunyai bentuk yang berbeda.
Bangunan-bangunan atau pelinggih-pelinggih di Pura umumnya dibuat sedemikian rupa mengandung tuntutan dan makna-makna simbolik tertentu, seperti Padmasana yang melukiskan pemutaran Mandalagiri.
f.       Seni pentas
Seni pentas atau seni tari dibedakan dalam tiga katagori dilihat dari keterkaitannya dengan kegiatan agama, yaitu seni wali, merupakan bentuk seni yang harus ada dan menyertai pelaksanaan upacara tertentu, seperti Rejang Dewa, Baris Gede, Pendet, dan sejenisnya. Katagori kedua dikenal dengan “bebali” merupakan jenis kesenian (tari/pentas) yang menyertai dan bersifat melengkapi kegiatan suatu upacara, seperti topeng Sida Karya, Wayang Lemah, Gambuh dan sejenisnya ditampilkan untuk melengkapi upacara-upacara tertentu. Katagori ketiga yang dikenal dengan istilah “balih-balihan” adalah bentuk kesenian tontonan yang bersifat hiburan untuk memeriahkan selama serangkaian kegiatan upacara berlangsung. Walaupun fungsinya lebih banyak sebagai hiburan, dalam menyertai kegiatan upacara keagamaan biasanya juga dipilih yang sesuai, seperti arja, parembon, calong, orang, wayang, drama dan sejenisnya.
Pada umumnya setiap bhakta Hindu pasti ingin memprsembahkan yang terbaik ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Dorongan keinginan seni, masih ada, misalnya seni penataan buah dalam membuat bebanten, seperti gebogan “jerimpen”, demikian juga yang mengandung makna simbolik, seperti tercantum dalam “lontar indik tetandingan”. Tidak ketinggalan pula seni dalam mengolah berjenis-jenis makanan, seperti tercantum dalam “lontar Dharma Caruban”.
Demikianlah unsur seni tidak pernah ketinggalan dalam upacara-upacara keagamaan yang dilaksanakan oleh umat Hindu.
3.      Nilai-nilai Agama Hindu dalam Bahasa
Sebagaimana kita ketahui bahwa pengaruh kebudayaan Hindu terhadap kebudayaan Imdonesia adalah dalam unsur bahasa, dalam hal ini adalah bahasa Sanskerta. Kitab suci Veda ditulis dalam bahasa Sanskerta yang pada muanya disebut Daivivak yang artinya bahasa atau sabda para dewata. Para Maharsi, kemudian mengembangkan kitab Veda yang berupa himpunan Sruti ke dalam kitab-kitab turunannya berupa kitab-kitab Itihasa yang banyak pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat. Hindu mempunyai itihasa (epos) Ramayana dan Mahabharata yang dalam versi aslinya juga berbahasa Sanskerta. Mahabharata terkenal pula dengan nama Astadasa parwa atau delapan belas parwa atau delapan belas bagian cerita. Ramayana mengisahkan peperangan antara Sri Rama melawan Rahwana, sedangkan Mahabharata mengisahkan keluarga bharata yang menceritakan Pandawa dan Kaurawa yang terlihat perang besar di medan Kuruksetra. Rama dan Pandawa adalah tokoh-tokoh dharma, sedangkan Rahwana dan Kaurawa adalah tokoh-tokoh kejahatan yang adharma. Itihasa Ramayana dan Mahabharata mengisahkan peperangan dharma melawan adharma yang berakhir pada kemenangan dharma.
Itihasa Ramayana dan Mahabharata diadopsi oleh budaya Indonesia dan telah digubah menjadi kekawin Ramayana dan kekawin bharata yuda dalam bahasa Jawa Kuno. Ditulis oleh pujangga-pujangga Indonesia, seperti empu Yogiswara dikenal sebagai penulis Ramayana dan Empu Sedah dan Empu Panuluh penulis Bharatayuda, dalam zman kerajaan-kerajaan Hindu di Jawa.
Kedua karya sastra ini besar pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat, seperti bahasa maupun pemberian nama orang.
a.       Dalam masyarakat Bali
I Wayan Gededus, I Made Cedo, dan I Ketut Cekeg, setelah mendapat pengaruh bahasa Sanskerta menjadi I Wayan Suranata, I Made Candra, Ni Ketut Puspawati, dan I Ni Nyoman Wina Aryani.
b.      Dalam masyarakat Jawa
Poniran, Wagiman, Legiman, Ponirah, yang berbau bahasa Sanskerta: Shudarmono, Sukoasmoro, Wardoyo, Parwati, styawati, dan Dewi Puspowati.
c.       Dalam masyarakat Sunda
Dadang, Dudung, Iding, Deden, yang berbau sanskerta Akik Sudarmaji, Dudun Adiningrat, dan Uju Suryadinata.
d.      Dalam berbagai masyarakat ada kegemaran memakai nama tokoh-tokoh  dalam Ramayana, Mahabharata maupun memakai nama-nama yang ada dalam kitab Veda, seperti Gunawan Wibisono, Kresna, dan Laksmi.
4.      Nilai-nilai Agama Hindu dalam Teknologi
Ternyata untuk membuat bangunan-bangunan ada kaidah-kaidah tertentu yang harus dipedomani terutama yang berkaitan dengan arsitektur bangunan itu sendiri. Secara garis besar ada dua jenis bangunan, yaitu bangunan tempat tinggal dan bangunan pemujaan. Bangunan pemujaan juga ada beberapa macam di antara pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dengan segala manifestasinya dan bangunan pemujaan Bhatara atau Bhatari, yakni para leluhur.
Bangunan pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dengan segala manifestasinya umumnya berbentuk Padmasana. Pada bagian puncak bangunan menyerupai singgasana atau kursi dengan bagian belakang (ulon) agak tinggi pada bagian paling bawah terdapat bedawang nala, yaitu wujud kura-kura dibelit oleh seekor atau dua ekor naga. Ada pula bentuk khusus yang disebut meru, bangunan dengan atap bertingkat-tingkat (tumpang: bahasa Bali). Jumlah tingkat atap meru adalah bilangan ganjil dari satu sampai sebelas yang tertinggi. Meru dengan atap tingkat sebelas dapat dipakai tempat pemujaan manifestasi Tuhan, seperti Brahma atau Wisnu, seperti kita jumpai di Pura Kiduling Kreteg dan Pura Batu Madeg di Besakih, demikian pula Meru Brahma dan Meru Wisnu di Pura Penataran Agung Khertabhumi Taman Mini Indonesia Indah di Jakarta. Tata cara pembangunan Padmasana maupun Meru berdasarkan petunjuk lontar Asta Kosala-kosali dan Asta Bhumi.
Bangunan pemujaan terhadap para leluhur umumnya berbentuk gedung, candi atau bangunan yang disebut “bebaturan” bangunan, bangunan ini rata-rata memakai atap. Ada pula bangunan, seperti Padmasana, hanya tidak memakai Bedawangnala pada bagian dasar, disebut Padmasari dan yang lebih rendah lagi disebut Padmacapah. Kedua bangunan ini dapat dibangun berdiri sendiri dan berfungsi sebagai tempat “penyawangan”.
Demikianlah nilai-nilai agama Hindu dalam teknologi terutama dalam arsitektur bangunan dengan tipe-tipe tertentu dengan fungsi yang berbeda-beda.
5.      Nilai-nilai Agama Hindu dalam Organisasi Sosial
System sosial Hindu mengenal konsep warna sebagaimana dalam Pustaka Bhagawadgita IV. 13
Chatur varnyam maya sristam
Guna karma vi bhagasah
Tasya kartaram api mam
Viddhy akartaram avyayam

Artinya:
Catur warna adalah ciptaan-Ku, menurut pembagian kualitas dan kerja, tetapi ketahuilah walau penciptanya Aku, tidak berbuat dan berubah diriku.
Konsep catur warna ini selalu dikaitkan dengan arti kata “memilih lapangan kerja” sesuai dengan arti kata warna yang berasal dari urat kata Vri dalam bahasa Sanskerta. Implikasinya masyarakat membagi masyarakatnya atas pilihan-pilihan kerja yang ditekuni tanpa membedakan tingkatan dari jenis pekerjaan yang ditekuni perbedaan yang timbul semata karena perbedaan fungsi masing-masing. Sesuai dengan makna sloka di depan tadi dalam masyarakat Hindu dikenal adanya empat kelompok masyarakat yang dibedakan atas fungsi masing-masing. Brahmana kelompok masyarakat yang berfungsi di bidang rohani keagamaan, kesatria adalah kelompok masyarakat Hindu yang bertugas pada pemerintahan dengan tanggung jawab ketatanegaraan, Waisya adalah kelompok masyarakat Hindu yang berfungsi dalam penyelenggaraan kesejahteraan material masyarakat melalui bidang perekonomian, dan Sudra yaitu kelompok masyarakat Hindu yang berfungsi pada penyediaan jasa tenaga kerja sebagai pekerja-pekerja dengan etos kerja tinggi.
Dalam Regveda x terdapat mantrayang artinya sebagai berikut. Brahmana dilahirkan dari kepala Brahman, Kesatria dilahirkan dari tangan Brahman, Waisya dilahirkan dari perut Brahman dan Sudra dilahirkan dari kaki Brahman. Dalam penggambaran seperti itu berarti keempat kelompok masyarakat itu dilukiskan sebagai satu kesatuan yang saling mendukung, terspesialisasi namun saling ketergantungan satu dengan lainnya. Perbedaan-perbedaan yang ada ditentukan oleh guna dan karma, guna adalah sifat, bakat dan pembawaan, sedangkan karma adalah perbuatan.
Dalam perkembangan masyarakat tidak tertutup terjadinya pergeseran pemahaman, namun secara konsepsional demikianlah seharusnya pemahaman masyarakat Hindu.
6.      Nilai-nilai Agama Hindu dalam Sistem Pengetahuan
Dalam sistem pengetahuan ini nilai-nilai agama Hindu dikaitkan dengan pengetahuan kedokteran dan pengobatan. Secara garis besar Veda dikelompokkan ke dalam kelompok Veda Sruti, yaitu himpunan wahyu, wahyu (sruti) dan Veda Smerti, yaitu kitab-kitab turunan yang dikembangkan dari Veda.
Dalam kelompok Veda Smerti ini ada kelompok kitab-kitab yang disebut Upaveda, yaitu berikut ini.
1)      Itihasa                :  Yaitu tentang cerita kepahlawanan terdiri dari epos Ramayana 
                              dan Mahabharata
2)      Purana                :  Kitab-kitab yang memuat cerita-cerita tentang kejadian pada
                              zaman dahulu kala.
3)      Artha Sastra       :  Memuat pengetahuan tentang pemerintahan Negara isinya
                              pokok-pokok pemikiran ilmu politik.
4)      Ayurveda           :  Memuat tentang ilmu kedokteran dan pengobatan.
5)      Gandarwaveda   :  Jenis-jenis buku yang menguraikan pengetahuan tentang
                              berbagai aspek ilmu seni.
Ayurveda terdiri atas 8 cabang ilmu yang terdiri atas berikut ini.
1)      Salya adalah ajaran mengenai ilmu bedah.
2)      Salakya adalah ajaran tentang ilmu penyakit.
3)      Kayacikitsa, ajaran tentang ilmu obat-obatan.
4)      Bhutavidya yaitu ajaran tentang psikoterapi.
5)      Kaumarabhrtya adalah ilmu tentang pendidikan anak-anak yang merupakan dasar bagi ilmu jiwa anak-anak.
6)      Agada tantra, ilmu tentang toksikologi.
7)      Rasayama tantra yaitu ilmu tentang mukjizat.
8)      Wajikarana tantra, yaitu ilmu jiwa remaja.

Dari 8 ilmu inilah, kemudian berkembang berbagai sistem pengobatan yang berbasis pada ajaran Veda, yang pada umumnya dikenal dengan nama ayurveda. 
oLEH :

1.      Ni Kadek Candra Wahyuni        
2.      I Wayan Astra Indrawan           
3.      Ni Luh Novita Deviana             
4.      Ni Putu Tanya Aryani         

0 comments:

Posting Komentar