RSS

TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK DAN KOGNITIF


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Teori Belajar Behavioristik
2.1.1 Hakikat Teori Belajar Behavioristik
       Teori belajar behavioristik lahir sebagai upaya untuk menyempurnakan dua perspektif yang telah berlaku di awal abad 20, yaitu perspektif strukturalis dari Wundt dan psikologi fungsionalis dari Dewey.
       Perspektif strukturalis percaya akan perlunya penelitian dasar yang mempelajari tentang otak manusia. Oleh karenanya, kaum strukturalis tidak percaya pada penelitian-penelitian aplikatif yang menggunakan binatang untuk dirampatkan kepada manusia, terutama tentang cara kerja otak manusia. Para strukturalis kemudian menggunakan alat "instrospeksi" laporan diri (self-report) tentang proses berpikir sebagai cara untuk mempelajari kerja otak manusia. Namun alat tersebut dikritik oleh banyak kalangan karena menghasilkan data dan informasi yang sama sekali tidak konsisten sehingga tidak dapat dipercaya.
       Jika perspektif strukturalis cenderung berwawasan sangat sempit (mikro) maka psikologi fungsionalis sebaliknya berwawasan sangat luas (makro). Dalam keluasannya ini, para ahli psikologi fungsionalis menyatakan perlu adanya kajian tentang perilaku, selain kajian tentang fungsi proses mental, dan hubungan antara proses mental dan tubuh manusia. Namun demikian, justru dengan keluasannya ini, psikologi fungsionalis dirasakan menjadi kurang fokus dan tidak terorganisasi dengan baik.
       Berangkat dari keterbatasan perspektif strukturalis dan psikologi fungsionalis, John B. Watson memulai upayanya untuk mengkaji perilaku, terlepas dari proses mental dan lain-lain. Watson percaya bahwa, semua makhluk hidup menyesuaikan diri terhadap lingkungannya melalui respons. Asumsi inilah yang menjadi landasan dasar dari teori belajar behaviorisme selanjutnya.
       Sebenarnya, sebelum Watson, Ivan Pavlov (ahli psikologi dari Rusia) sudah memulai usaha untuk mengkaji perilaku, walaupun tidak secara eksplisit. Teori Pavlov dikenal dengan nama Classical Conditioning. Classical Conditioning kemudian digunakan oleh Watson dalam kajiannya terhadap perilaku bayi manusia. Tokoh lain yang juga memulai kajian perilaku sebelum Watson adalah Thorndike, dengan teorinya yang dikenal sebagai teori Connectionism.
       Pavlov meneliti proses anjing yang menjadi berliur ketika diiming-imingi daging. Dari hasil penelitiannya, Pavlov membuktikan bahwa perilaku atau respons dapat dimanipulasi melalui variasi stimulus atau rangsangan. Sementara itu, Thorndike meneliti perilaku "trial and error" atau coba-coba. Menurut Thorndike, respons akan diberikan berdasarkan asas coba-coba sebagai reaksi terhadap stimulus yang muncul. Oleh karena itu, Thorndike percaya adanya "reward and punishment" (penghargaan dan hukuman) serta "successes and failures" (keberhasilan dan kegagalan). Berdasarkan semua itu, Watson menyimpulkan bahwa teori perilaku memberikan mekanisme yang menjadi landasan dasar terjadinya berbagai dalam kehidupan. Pentingnya teori perilaku ini tidak hanya dinyatakan oleh Watson, tetapi juga dibuktikan oleh Skinner melalui teori Operant Conditioning, dan para ahli teori perilaku lainnya beberapa puluh tahun kemudian.
       Aliran perilaku tentang belajar kemudian menjadi sangat populer di awal abad ke-20, karena dianggap sederhana dan terpercaya (selalu dapat diuji ulang). Melalui serangkaian penelitian, para ahli yang menganut aliran perilaku menghasilkan sejumlah teori belajar behavioristik. Setiap teori belajar behavioristik mempunyai kekhususan masing-masing, yang sesungguhnya saling melengkapi satu sama lain. Namun demikian, secara umum, semua teori-teori tersebut memiliki premis dasar yang sama. Teori belajar behavioristik mendefinisikan bahwa belajar merupakan perubahan perilaku, khususnya perubahan kapasitas siswa untuk berperilaku (yang baru) sebagai hasil belajar, bukan sebagai hasil proses pematangan (atau pendewasaan) semata. Menurut teori belajar behavioristik, perubahan perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh lingkungan yang akan memberikan beragam pengalaman kepada seseorang. Lingkungan merupakan stimulus yang dapat mempengaruhi dan atau mengubah kapasitas untuk merespons.

2.1.2 Premis Dasar Teori Belajar Behavioristik
       Menurut teori belajar behavioristik, belajar merupakan perubahan tingkah laku hasil interaksi antara stimulus dan respons, yaitu proses manusia untuk memberikan respons tertentu berdasarkan stimulus yang datang dari luar.
       Proses S-R ini terdiri dari beberapa unsur, yaitu dorongan atau "drive", stimulus atau rangsangan, respons, dan penguatan atau "reinforcement". Unsur dorongan diperlihatkan jika seseorang merasakan adanya kebutuhan akan sesuatu dan terdorong untuk memenuhi kebutuhan ini. Dalam upaya memenuhi kebutuhannya tersebut seseorang kemudian berinteraksi dengan lingkungannya yang menyediakan beragam stimulus yang menyebabkan timbulnya respons dari orang tersebut. Respons atau reaksi diberikan terhadap stimulus yang diterima seseorang dengan jalan melakukan suatu tindakan yang dapat terlihat. Unsur penguatan akan memberi tanda kepada seseorang tentang kualitas respons yang diberikan, dan mendorong orang tersebut untuk memberikan respons lagi.(respons yang sama ataupun respons yang berbeda).
       Teori belajar behavioristik sangat menekankan pada hasil belajar (outcome), yaitu perubahan tingkah laku yang dapat dilihat, dan tidak begitu memperhatikan apa yang terjadi di dalam otak manusia karena hal tersebut tidak dapat dilihat. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu apabila ia mampu menunjukkan perubahan tingkah laku.
       Namun demikian, tidak kalah penting adalah masukan input yang berupa stimulus. Stimulus dapat dimanipulasi untuk memperoleh hasil belajar yang diinginkan. Stimulus meliputi segala sesuatu yang dapat dilihat, didengar, dicium, dirasakan, dan diraba oleh seseorang.
       Untuk memperoleh hasil belajar yang diinginkan, selain manipulasi stimulus, ada faktor penting lain yang sangat berpengaruh, yaitu faktor penguatan "reinforcement" yang mulai diperkenalkan oleh Pavlov maupun Thorndike. Penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respons. Penguatan dapat ditambahkan dan dikurangi untuk memperoleh respons yang semakin kuat ataupun semakin lemah.

2.1.3 Jenis-jenis Teori Belajar Behavioristik
1)   Teori Belajar Classical Conditioning menurut Pavlov
       Percobaan yang dilakukan oleh Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936) merupakan upaya untuk meneliti "conditioned reflexes" atau reflex terkondisi. Dalam percobaan Pavlov, seekor anjing akan berliur jika mencium bau daging. Bau, daging merupakan stimulus yang tak terkondisi, sementara liur merupakan respons (refleks) yang juga tak terkondisi. Kemudian daging. ditambah dengan cahaya lampu dan digunakan sebagai stimulus. Setelah pengulangan heberapa kali, diperoleh hasil bahwa anjing sudah akan berliur hanya oleh cahaya lampu, tanpa ada daging (proses asosiasi). Dengan demikian cahaya lampu menjadi stimulus yang terkondisi, dan liur menjadi respons yang terkondisi.
       Teori Pavlov didasarkan pada reaksi sistem tak terkondisi dalam diri seseorang, reaksi emosional yang dikontrol oleh sistem urat syaraf otonom, serta gerak refleks setelah menerima stimulus dari luar.
       Ada tiga parameter yang diperkenalkan Pavlov, melalui teori Classical Conditioning, yaitu reinforcement, extinction, and spontaneous recovery (penguatan, penglilangan, pengembalian spontan). Menurut Pavlov, respons terkondisi yang paling sederhana diperoleh melalui serangkaian penguatan - yaitu tindak lanjut atau penguatan yang terus berulang dari suatu stimulus terkondisi yang diikuti stimulus tak terkondisi dan respons tak terkondisi pada interval waktu tertentu. Dengan demikian, pembentukan respons terkondisi pada umumnya bersifat bertahap (gradual). Makin banyak stimulus terkondisi diberikan bersama-sama stimulus tak terkondisi, makin mantaplah respons terkondisi yang terbentuk, sampai pada suatu ketika respons terkondisi akan muncul walaupun tanpa ada stimulus tak terkondisi.
       Jika penguatan dihentikan dan stimulus terkondisi dimunculkan sendirian tanpa stimulus tak terkondisi, ada kemungkinan frekuensi respons terkondisi akan kemudian menurun dan hilang sama sekali. Proses ini disebut penghilangan atau "extinction". Misalnya cahaya dan daging untuk membuat anjing berliur. Jika hanya cahaya yang dimunculkan tanpa daging, lama kelamaan dapat terjadi anjing menjadi tidak berliur lagi. Namun demikian, bukan tidak mungkin pada suatu waktu anjing akan kembali berliur lagi (respons terkondisi muncul kembali "spontaneous recovery" walaupun hanya cahaya yang dimunculkan (tanpa daging).
       Di samping itu, dalam teori Classical Conditioning dikenal juga perampatan stimulus, yaitu kecenderungan untuk memberikan respons terkondisi terhadap stimulus yang serupa dengan stimulus terkondisi, meskipun stimulus tersebut belum pernah diberikan bersama-sama dengan stimulus tak terkondisi. Makin banyak persamaan stimulus baru dengan stimulus terkondisi yang pertama, makin besar pula perampatan yang dapat terjadi.
       Selain perampatan stimulus, teori Cassical Conditioning juga mengenal konsep diskriminasi stimulus, yaitu suatu proses belajar untuk memberikan respons terhadap suatu stimulus tertentu atau tidak memberikan respons sama sekali terhadap stimulus yang lain. Hal ini dapat diperoleh dengan jalan memberikan suatu stimulus tak terkondisi yang lain (Morgan, et.al., 1986) sehingga seseorang akan melakukan "selective association" atau asosiasi terseleksi terhadap stimulus untuk memunculkan respons.

2) Connectionism menurut Thorndike
       Dasar-dasar teori Connectionism dari Edward L. Thorndike (1874-1949) diperoleh juga dari sejumlah penelitian yang dilakukan terhadap perilaku binatang. Penelitian-penelitian Thorndike pada dasarnya dirancang untuk mengetahui apakah binatang mampu memecahkan masalah dengan menggunakan "reasoning" atau akal, dan atau dengan mengkombinasikan beberapa proses berpikir dasar.
       Dalam penelitiannya, Thorndike menggunakan beberapa jenis binatang, yaitu anak ayam, anjing, ikan, kucing, dan kera. Percobaan yang dilakukan mengharuskan binatang-binatang tersebut keluar dari kandang untuk memperoleh makanan. Untuk keluar dari kandang, binatang-binatang tersebut harus membuka pintu, menumpahkan beban, dan mekanisme lolos lainnya yang sengaja dirancang. Pada saat dikurung, binatang-binatang tersebut menunjukkan sikap mencakar, menggigit, menggapai, dan bahkan memegang/mengais dinding kandang. Cepat atau lambat, setiap binatang akan membuka pintu atau menumpahkan beban untuk dapat keluar dari kandang dan memperoleh makanan. Pengurungan yang dilakukan berulang-ulang menunjukkan penurunan frekuensi binatang tersebut untuk melakukan pencakaran, penggigitan, penggapaian, atau pengaisan dinding kandang, dan tentu saja waktu yang dibutuhkan untuk keluar kandang cenderung menjadi lebih singkat.
         Dari hasil penelitiannya, Thorndike menyimpulkan bahwa respons untuk keluar kandang secara bertahap diasosiasikan dengan suatu situasi yang menampilkan stimulus dalam suatu proses coba-coba "trial and error". Respons yang benar secara bertahap diperkuat melalui serangkaian proses coba-coba, sementara respons yang tidak benar melemah atau menghilang. Teori Connectionism Thorndike ini juga dikenal dengan nama "Instrumental Conditioning", karena respons tertentu akan dipilih sebagai instrumen dalam memperoleh "reward' atau hasil yang memuaskan.
Thorndike mengemukakan tiga dalil tentang belajar, yaitu "law of effect" (dalil sebab akibat), "law of exercise" (dalil latihan/pembiasaan), dan "law of readiness" (dalil kesiapan).
a)         Law of readiness (dalil kesiapan)
       Dalil kesiapan menyatakan kondisi¬kondisi yang dianggap mendukung dan tidak mendukung pemunculan respons. Jika siswa sudah siap (sudah belajar sebelumnya) maka ia akan siap untuk memunculkan suatu respons atas dasar stirnulus/kebutuhan yang diberikan. Hal ini merupakan kondisi yang menyenangkan bagi siswa dan akan menyempurnakan pemunculan respons. Sebaliknya, jika siswa tidak siap untuk memunculkan respons atas stimulus yang diberikan atau siswa merasa terpaksa memberi respons maka siswa mengalami kondisi yang tidak menyenangkan yang dapat memperlemah pemunculan respons.
b)         Law of exercise (dalil latihan/pembiasaan)
       Dalil latihan/pembiasaan menyatakan bahwa latihan akan menyernpurnakan respons. Pengulangan situasi atau pengalaman akan meningkatkan kemungkinan munculnya respons yang benar. Walaupun demikian, pengulangan situasi yang tidak menyenangkan tidak akan membantu proses belajar.
c)         Law of effect (dalil sebab akibat)
       Dalil sebab akibat menyatakan bahwa situasi atau hasil yang menyenangkan yang diperoleh dari suatu respons akan memperkuat hubungan antara stimulus dan respons atau perilaku yang dimunculkan. Sementara itu, situasi atau hasil yang tidak menyenangkan akan memperlemah hubungan tersebut.
       Dari sekian banyak penelitian yang dilakukannya, Thorndike lalu menyimpulkan tentang pengaruh proses belajar tertentu terhadap proses belajar berikutnya, yang dikenal dengan proses "transfer of learning" atau perampatan proses belajar. Thorndike mengemukakan bahwa latihan yang dilakukan dan proses belajar yang terjadi dalam mempelajari suatu konsep akan membantu penguasaan atau proses belajar seseorang terhadap konsep lain yang sejenis atau mirip (associative shifting). Teori Connectionism dari Thorndike ini dikenal sebagai teori belajar yang pertama.
3) Behaviorism menurut Watson
       Walaupun John B. Watson (I878-1958) bukanlah ahli pertama yang melakukan kajian terhadap perilaku manusia dalam proses belajar, namun Watson lah yang melakukan penyimpulan atas teori Classical Conditioning dari Pavlov dan teori Connectionism dari Thorndike. Teori Behaviorism atau teori perilaku dari Watson sangat dipengaruhi oleh teori Pavlov maupun Thorndike yang menjadi landasan utamanya.
       Menurut Watson, stimulus dan respons yang menjadi konsep dasar dalam teori perilaku pada umumnya, haruslah berbentuk tingkah laku yang dapat diamati (observable). Dengan demikian, Watson mengabaikan berbagai perubahan mental yang mungkin terjadi dalam belajar, karena dianggap terlalu kompleks untuk diketahui. Watson menyatakan bahwa "semua perubahan mental yang terjadi dalam benak siswa adalah penting, namun hal itu tidak dapat menjelaskan apakah perubahan tersebut terjadi karena proses belajar atau proses pematangan semata". Hanya dengan tingkah laku yang dapat diamati (observable) maka perubahan yang akan terjadi pada seseorang sebagai hasil proses belajar dapat diramalkan.
       Interaksi antara stimulus dan respons terhadap berbagai situasi  (proses pengkondisian) menurut Watson merupakan proses pengembangan kepribadian seseorang. Pernyataan Watson tersebut dilandaskan kepada penelitian yang dilakukannya terhadap sejumlah bayi. Watson mengemukakan bahwa pada dasarnya bayi yang baru dilahirkan hanya memiliki tiga jenis respons emosional, yaitu takut, marah, dan sayang. Kehidupan emosi manusia dewasa yang sangat kompleks, menurut Watson merupakan "hasil pengkondisian dari tiga jenis respons emosional dasar tersebut terhadap situasi yang bervariasi". Walaupun cukup kompleks, namun hasil proses pengkondisian tersebut tetap dapat diukur sehingga, sekali lagi hasil proses belajar dapat diramalkan. Dalam hal interaksi antara stimulus dan respons, Watson menggunakan teori Classical Conditioning Pavlov yang dilengkapi dengan komponen penguatan dari Thorndike. Namun dalam hal perampatan hasil proses pengkondisian tiga emosi dasar bayi terhadap orang dewasa, Watson lebih menggunakan tiga dalil belajar dan konsep perampatan hasil belajar dari Thorndike.

Penerapan Teori Belajar Pavlov, Thorndike, Dan Watson Dalam Proses Pembelajaran
       Teori Belajar Classical Conditioning dari Pavlov, Connectionism dari Thorndike, dan Behaviorism dari Watson merupakan teori-teori dasar dari aliran perilaku dengan premis dasar yang relatif sama. Teori-teori ini di kemudian hari dikembangkan dan atau dimodifikasi oleh berbagai ahli menjadi beragam teori-teori baru dalam aliran perilaku, yang kemudian disebut aliran perilaku baru yakni neo-behaviorism.
       Konsep stimulus (Pavlov, Thorndike, Watson) diterapkan dalam proses pembelajaran dalam bentuk penjelasan tentang tujuan, ruang lingkup. dan relevansi pembelajaran, dan dalam bentuk penyajian materi. Sementara itu, konsep respons (Pavlov, Thorndike, Watson) diterapkan dalam bentuk jawaban siswa terhadap soal-soal tes dan atau ujian setelah materi disajikan, atau hasil karya siswa setelah prosedur pembuatan karya disampaikan. Proses pengkondisian atau interaksi antara stimulus dan respons (Pavlov) diterapkan dalam bentuk pemunculan stimulus yang bervariasi, baik stimulus tunggal, ganda, maupun kombinasi stimulus (perampatan dan atau diskriminasi stimulus - Pavlov). Misalnya, penyajian materi melalui uraian (ceramah) dan contoh, diskusi, penemuan kembali, kerja laboratorium, permainan dengan menggunakan media tunggal maupun beragam media (papan tulis, OHT, video, komputer, dan lain-lain). Hasil penelitian di dunia pembelajaran menyatakan bahwa penggunaan media yang beragam (dua atau lebih) secara variatif menghasilkan dampak positif yang lebih tinggi dalam proses pembelajaran daripada media tunggal secara terus-menerus (Chisholm & Ely, 1976). Selain itu, proses pengkondisian juga melibatkan konsep penguatan (Thorndike) yang diterapkan dalam bentuk pujian dan atau hukuman guru terhadap siswa serta penilaian guru terhadap hasil kerja siswa. Kreativitas guru dalam memanipulasi (Watson) proses pengkondisian ini membantu siswa secara positif dalam proses pembelajaran.
       Dalam proses pengkondisian, berlaku tiga dalil tentang belajar, yaitu dalil sebab akibat, dalil latihan/pembiasaan, dan dalil kesiapan (Thorndike). Jika respons siswa terhadap stimulus yang diberikan guru (materi, contoh, gambar, dan lain-lain) menghasilkan rasa yang menyenangkan (dipuji, diminta membantu teman, nilai bagus, jawaban benar, dan lain-lain) bagi siswa, maka siswa cenderung untuk mengulang melakukan hal yang sama. Namun, jika respons siswa terhadap stimulus yang diberikan menghasilkan rasa tidak senang bagi siswa (nilai jelek, dimarahi, ditertawakan, dan lain-lain). maka siswa cenderung untuk tidak mengulang kelakuan yang sama. Di samping itu, respons yang benar akan semakin banyak dimunculkan jika siswa memperoleh latihan yang berulang-ulang (drill & practice). Dengan demikian, dalam setiap proses pembelajaran, latihan menjadi komponen utama yang harus dirancang dan dilaksanakan.
       Penyajian materi saja (dengan contoh, gambar, media, melalui beragam metode) sama sekali tidak menjamin pemunculan respons yang diharapkan jika tidak ada komponen latihannya dalam suatu proses pembelajaran. Hal ini tentunya mengingatkan kita bahwa latihan bagi siswa menjadi penting nilainya dalam suatu proses pembelajaran. Dengan demikian, guru tidak diharapkan terlalu banyak menggunakan waktu untuk berceramah menyajikan materi, namun lebih baik banyak menggunakan waktunya untuk siswa berlatih. Proses pembelajaran akan dapat berjalan dan respons yang benar akan dapat diharapkan kemunculannya jika terjadi dalam situasi belajar yang menyenangkan bagi siswa. Situasi belajar yang menyenangkan dalam hal ini diterjemahkan sebagai situasi yang tidak menyakitkan siswa secara fisik maupun mental, situasi di mana perhatian siswa terfokus pada pembelajaran yang akan berlangsung dan situasi ketika siswa merasa siap untuk mengikuti pembelajaran. Sebaliknya, proses pembelajaran tidak akan dapat berjalan dan respons yang benar tidak akan dapat dimunculkan dalam situasi belajar yang tidak menyenangkan siswa, misalnya pada saat perhatian siswa terbagi (tidak fokus), dalam kelas yang panas, pada saat siswa baru saja sakit atau dimarahi orang tuanya, atau pada saat siswa tidak merasa siap untuk belajar.
       Proses pembelajaran juga akan berjalan dengan baik jika ada dorongan atau kebutuhan yang jelas dari pihak guru maupun siswa. Hal ini dioperasionalkan dalam bentuk tujuan instruksional atau tujuan pembelajaran (umum maupun khusus), yang harus dapat diukur sehingga perubahan perilaku siswa dapat jelas terlihat sebagai akibat dari proses pembelajaran (Watson). Dalam perencanaan pembelajaran, guru menuliskan tujuan instruksional atau tujuan pembelajaran yang umum maupun yang khusus. Agar dapat diukur dan bersifat operasional, penulisan tujuan pembelajaran selalu menggunakan kata kerja operasional yang dapat diukur. Hal ini merupakan bentuk penerapan konsep "observable behaviour" (Watson). Respons yang diharapkan dimunculkan siswa sebagai hasil belajar haruslah sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Dengan demikian, jelaslah dapat terlihat apa saja yang akan dicapai dari suatu proses pembelajaran, atau dengan kata lain, respons siswa sudah dapat diramalkan hanya dengan membaca atau melihat tujuan pembelajaran yang ditetapkan. Perbedaan antara hasil belajar yang dicapai siswa dengan tujuan yang telah ditetapkan menunjukkan tingkat keberhasilan suatu proses pembelajaran.


Perkembangan Teori Belajar Behavioristik
       Teori Belajar Classical Conditioning dari Pavlov, Connectionism dari Thorndike, dan Behaviorism dari Watson merupakan teori-teori dasar dari aliran, perilaku yang menjadi tonggak sejarah aliran perilaku dalam teori belajar. Teori-teori ini kemudian dikembangkan dan atau dimodifikasi oleh berbagai ahli menjadi beragam teori-teori baru dalam aliran perilaku, yang kemudian disebut aliran perilaku baru Neo-Behaviorism. Tercatat ahli-ahli yang tergabung dalam aliran perilaku baru antara lain, Clark Hull dengan teori Sistem Perilaku, Edwin Guthrie dergan teori "Contiguity", dan B.F. Skinner dengan teori "Operant Conditioning". Pada dasarnya, sebagaimana teori-teori belajar dalam aliran perilaku, teori-teori dari Hull, Guthrie, dan Skinner memiliki premis dasar yang sama dengan teori-teori pendahulunya, yaitu sama-sana berlandaskan pada interaksi antara stimulus dan respons. Namun demikian, teori-teori Hull, Guthrie dan Skinner berbeda dengan teori-teori pendahulunya dalam hal identifikasi terhadap faktor-faktor khusus yang dianggap berpengaruh terhadap belajar. Teori-teori Hull, Guthrie, dan Skinner relatif banyak mempengaruhi proses pembelajaran dalam dunia pendidikan sekarang ini karena kemutakhirannya.

4) Teori Systematic Behavior - Clark Hull
       Clark L. Hull (1884-1952) sangat mengagumi Teori Refleks Terkondisi dari Pavlov. Berangkat dari teori Pavlov, Hull kemudian menerbitkan makalah-makalah teoretis yang memodifikasi teori Pavlov. Teori Hull dikenal sangat "behavioristic" dan mekanistik. Konsep utama dari teori Hull adalah kebiasaan, yang disimpulkan dari berbagai penelitian tentang kebiasaan dan respons terkondisi yang dilakukan Hull melalui percobaan terhadap binatang. Perilaku yang kompleks menurut Hull, diasumsikan berasal dari hasil belajar terhadap bentuk-bentuk perilaku yang sederhana. Dalam upaya mematangkan teorinya, Hull juga menggunakan dalil sebab-akibat dari Thorndike lalu menggabungkannya dengan hasil temuannya.
         Pada dasarnya dalam teorinya, Hull menyatakan bahwa interaksi antara stimulus dan respons tidaklah sederhana sebagaimana adanya. Menurut Hull, ada proses lain dalam diri seseorang (atau organisme) yang mempengaruhi interaksi antara stimulus dan respons. Proses tersebut disebut oleh Hull sebagai variabel "intervening" (yang berpengaruh).
         Hull memberi contoh rasa haus sebagai salah satu "intervening variable". Menurut Hull, situasinya adalah binatang diberi makanan yang asin, atau tidak diberi minum untuk sekian lama. Situasi ini merupakan "input variable". Rasa haus timbul akibat dari situasi tersebut. Kemudian untuk mengatasi rasa haus, binatang akan melakukan bermacam-macum aksi, seperti mengais, mencari-cari air, dan lain-lain, bahkan binatang akan melakukan hal-hal lain apa saja untuk memperoleh air (sebagai imbalan atas air yang diperolehnya).
         Hull percaya bahwa dalam asosiasi antara stimulus terhadap respons, ada faktor kebiasaan sebagai "intervening variable". Intensitas kebiasaan tersebut menentukan intensitas asosiasi yang terjadi. Proses belajar menurut Hull merupakan upaya menumbuhkan kebiasaan melalui serangkaian percobaan. Untuk dapat memperoleh kebiasaan, diperlukan adanya penguatan dalam proses percobaan. Namun, Hull juga menyatakah bahwa penguatan bukan satu-satunya faktor yang menentukan dalam pengembangan kebiasaan, karena pengembangan kebiasaan lebih utama dipengaruhi oleh banyaknya percobaan yang dilakukan. Di samping itu, proses belajar juga dipengaruhi oleh berbagai faktor lain (non-learning factors) yang berinteraksi langsung terhadap reaksi potensial yang timbul.
       Pada akhirnya, Hull mengembangkan teorinya menjadi suatu teori yang sangat kuantitatif. Hull mencoba mengukur intensitas respons dalam bentuk nilai kuantitatif, dan mencoba menentukan nilai numerik yang tepat untuk membuat persamaan tentang hubungan antara "intervening variable" terhadap variabel bebas maupun variabel terikat. Upaya kuantifikasi ini dilakukan Hull dalam rangka memprediksi secara kuantitatif hasil-hasil dari percobaan-percobaan terhadap perilaku. Dengan kata lain, respons dan atau kebiasaan dapat diprediksi secara kuantitatif dan tepat melalui rumus-rumus tentang interaksi berbagai faktor yang mempengaruhinya.
       Walaupun banyak kritik terhadap teori Systematic Behavior dari Hull, namun tak dapat disangkal bahwa teori Hull merupakan karya dan pencapaian terbesar pada masanya. Teori Hull sangat lengkap, menyeluruh, dan detil sehingga dengan mudah terlihat kelebihan dan kekurangannya. Teori Hull juga mempunyai banyak pengikut - yang antara lain adalah murid-muridnya, yang telah mengembangkan teori Hull sedemikian rupa sehingga menjadi karya yang paling berpengaruh dalam dunia psikologi belajar sejak tahun 1940-an.
5) Teori Contiguity - Edwin R. Guthrie
       Teori Contiguity dari Edwin R. Guthrie (1886-1959) dikenal juga dengan nama teori Contiguous Conditioning. Teori ini berangkat dari dua teori dasar dalam aliran perilaku, yaitu teori Thorndike dan teori Pavlov, namun juga sangat dipengaruhi oleh teori Watson.
       Menurut Thorndike ada dua jenis proses belajar, yaitu: 1) proses pemilihan respons (respons selection) dan mengaitkannya dengan stimulus, sesuai dengan dalil sebab akibat, dan 2) perampatan stimulus (associative shifting) di mana respons terhadap stimulus yang satu akan dimunculkan terhadap stimulus lain yang dipasangkan bersama. Bagi Thorndike prinsip utama adalah proses pemilihan respons dan pengaitan dengan stimulus yang terjadi dalam proses coba-coba, sedangkan proses perampatan merupakan prinsip tambahan saja. Namun bagi Guthrie, proses perampatan stimulus justru menjadi titik fokus utama dalam teorinya. Guthrie relatif tidak menerima dalil sebab akibat sebagaimana pandangan Thorndike. Hal-hal tersebut yang menjadi perbedaan utama antara teori Thorndike dan teori Guthrie.
       Watson menggunakan percobaan-percobaan Pavlov sebagai paradigma dalam proses belajar, dan mengadopsi refleks terkondisi sebagai bagian dari pembiasaan. Guthrie, di sisi lain, memulai asumsinya dengan prinsip pengkondisian (conditioning) atau perampatan stimulus (associative learning), namun semata-mata bukan hanya dilandaskan pada prinsip percobaan pengkondisian dari Pavlov.
       Dalil Guthrie yang pertama tentang proses belajar adalah kombinasi stimulus yang diikuti dengan suatu gerakan, pada saat pengulangan berikutnya cenderung diikuti lagi oleh gerakan tersebut Dalil yang kedua menyatakan bahwa pola stimulus mempunyai korelasi dan atau keterkaitan yang tinggi dengan respons yang ditimbulkannya pertama kali. Dalil-dalil tersebut menjadi landasan bagi prinsip kemutakhiran (recency principle), yang menyatakan bahwa jika belajar terjadi dalam suatu proses coba-coba maka proses yang terakhir terjadi yang akan muncul (terulang) lagi seandainya kombinasi stimulus yang sama dihadirkan kembali.
       Berdasarkan teori Contiguity dari Guthrie, setiap individu mempunyai kapasitas belajar yang berbeda. Dari hasil penelitiannya terhadap sejumlah binatang, Guthrie menyatakan bahwa tidak semua binatang mempunyai tingkat sensitivitas yang sama terhadap satu stimulus, dan tidak semua binatang memiliki indra yang sama untuk menerima informasi. Di samping itu, menurut Guthrie, latihan akan mengakomodasikan ataupun menghilangkan respons-respons tertentu sehingga atas kombinasi stimulus yang muncul dapat dihasilkan suatu respons yang menyeluruh sebagaimana yang diharapkan, yang dapat disebut sebagai suatu kinerja yang berhasil. Guthrie percaya bahwa keterampilan mewakili sejumlah kebiasaan. Oleh karena itu belajar dapat dicapai sebagai akumulasi dari pengulangan-pengulangan. Guthrie juga menyatakan bahwa motivasi mempengaruhi belajar secara tidak langsung, yang terlihat melalui penyebab atau alasan individu melakukan sesuatu (merespons). Reward atau penghargaan/pujian menurut Guthrie merupakan prinsip yang sekunder. Penghargaan dapat berhasil dengan baik jika binatang memang tidak dihadapkan pada sifuasi lain selain yang akan menghasilkan respons yang benar. Penghargaan juga tidak memberi penguatan terhadap respons yang benar, tetapi diakui bahwa penghargaan menghindari terjadinya pengurangan respons yang benar. Sama dengan penguatan, hukuman juga berpengaruh terhadap belajar, dan sangat ditentukan oleh alasan individu melakukan sesuatu. Secara umum, Guthrie percaya bahwa alat prediksi yang paling baik terhadap belajar adalah respons yang muncul terhadap stimulus dalam suatu proses yang terakhir terjadi. Oeh karena itu proses belajar dapat dijelaskan melalui reaksi terkondisi yang akan muncul berdasarkan pengalaman masa lalu, dan sesuai dengan prinsip asosiasi.
       Perampatan belajar dapat terjadi dalam situasi yang baru karena adanya kesamaan elemen atau komponen antara situasi/stimulus yang lama dengan situasi/stimulus yang baru. Penekanan Guthrie terhadap konsep yang dikenal dengan nama "movement-produced stimuli" atau stimulus yang menghasilkan gerakan terkondisi merupakan modifikasi dari teori Thorndike. Namun demikian, menurut Guthrie, hasil belajar yang diperoleh dipercaya bersifat permanen, sampai terjadi proses belajar yang baru. Oleh karena itu, lupa dapat terjadi karena respons yang muncul dalam proses beJajar yang baru menggantikan hasil belajar yang sebelumnya.Proses lupa ini terjadi secara bertahap, sama seperti hasil belajar juga diperoleh secara bertahap melalui serangkaian proses belajar yang berulang.
       Satu hal yang menjadi kritik terhadap teori Guthrie adalah bahwa Guthrie mencoba memberikan jawaban yang relatif bersifat pasti terhadap segala permasalahan dalam belajar, tanpa ada perubahan selama hampir lima puluh tahun. Dengan kata lain, teori Guthrie lebih merupakan teori klasik yang tidak berkembang. Walaupun demikian, harus diakui bahwa teori Guthrie memiliki kemampuan untuk menjelaskan beragam fenomena belajar secara luas.
6) Teori Operant Conditioning menurut Skiner
Asas operant conditioning B.F Skinner dimulai dalam tahun 1930-an, yakni pada waktu keluarnya teori-teori Stimulus-Respons (S-R). Skinner tidak sependapat dengan teori reflek terkondisi dalam hubungan antara Stimulus-Respons dari Pavlov. Skinner menyatakan bahwa teori Pavlov hanya berlaku bagi interaksi antara stimulus dan respons yang sederhana saja. Padahal manusia dalam menjalankan fungsinya memerlukan perilaku yang kompleks yang mempersyaratkan terjadinya interaksi stimulus dan respons yang kompleks juga.
Pada dasarnya setiap stimulus yang dimunculkan akan berinteraksi satu dengan yang lainnya, dan interaksi ini yang akhirnya memengaruhi respons yang dihasilkan. Respons yang dihasilkan juga memiliki berbagai konsekuensi (akibat) yang akhirnya akan memengaruhi lagi perilaku individu. Oleh sebab itu, menurut Skinner kunci untuk memahami perilaku individu terletak pada pemahaman terhadap hubungan antara stimulus satu dengan stimulus lainnya, respons yang dimunculkan dan juga berbagai konsekuensi yang diakibatkan oleh respons tersebut.
Sebagai penganut aliran perilaku, Skinner setuju dengan pendapat Watson yang mengatakan bahwa belajar merupakan proses perubahan tingkah laku. Ada enam asumsi dasar dari teori Operant Conditioning, yaitu :
a.       hasil belajar merupakan perilaku yang dapat diamati;
b.perubahan perilaku sebagai hasil belajar secara fungsional berhubungan dengan perubahan situasi dalam lingkungan atau suatu kondisi;
c. hubungan antar perilaku dan lingkungan dapat ditentukan hanya jika elemen-elemen perilaku dan kondisi percobaan diukur secara fisik dan diamati perubahannya dalam situasi yang terkontrol ketat;
d.                        data yang dihasilkan oleh percobaan-percobaan terhadap perilaku merupakan satu-satunya data yang dapat digunakan untuk mengkaji alasan munculnya suatu perilaku;
e. sumber data yang paling tepat adalah perilaku dari masing-masing individu;
f. dinamika interaksi antara individu dengan lingkungannya bersifat relatif sama untuk semua makhluk hidup.
Keenam asumsi dasar tersebut menjadi kesimpulan yang diambil Skinner atas hasil percobaan yang dilakukannya.
Skinner melakukan eksperimen terhadap tikus dan selanjutnya terhadap burung merpati menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
a.       Law of operant conditioning yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
b.      Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku akan menurun bahkan musnah.
Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang disebut operant adalah sejumah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan. Jika dalam teori Thorndike dikenal konsep reward maka dalam teori Skinner digunakan istilah penguatan (reinforcement) yang berarti segala konsekuensi yang mengikuti pemunculan suatu perilaku. Jadi, respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri pada dasarnya merupakan stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning (Ahmad Sudrajat, 2009).
Skinner menganggap penghargaan (reward) dan (reinforcement) merupakan faktor penting dalam belajar. Untuk dapat menjadi efektif, penguatan menurut Skinner harus diberikan langsung setelah pemunculan respons yang diharapkan. Penguatan ini ada yang disebut penguatan positif dan juga penguatan negatif. Penguatan positif merupakan stimulus yang  memperkuat pemunculan respons yang benar sedangkan penguatan negatif ialah setiap stimulus yang perlu dihilangkan untuk memantapkan respons yang terjadi.
 Disamping penguatan, ada hukuman yang menurut Skinner melibatkan proses pengurangan atau penghilangan penguatan positif dan atau menambah penguatan  negatif.  Skinner menekankan bahwa hukuman dapat menghasilkan tiga dampak yang tidak diharapkan yaitu, hukuman yang bersifat sementara dapat menghilangkan respons yang tak diinginkan, hukuman dapat menimbulkan perasaan yang tidak mengenakan  seperti malu, rasa bersalah dan lain-lainnya, yang terakhir hukuman dapat meningkatkan pemunculan perilaku yang dianggap mengurangi hadirnya stimulus yang tidak menyenangkan. Misalnya, seorang anak yang berpura-pura sakit karena tidak mau mengikuti tes mendadak. Jadi, secara umum hukuman tidak menghasilkan perilaku yang positif. Oleh sebab itu, Skinner lebih menganjurkan penggunaan penguatan daripada hukuman jika ingin memperoleh respons yang benar.
Teori Skinner tidak hanya mencangkup penjelasan tentang proses belajar yang sederhana, namun juga proses belajar kompleks yang dikenal dengan nama “shaping” (pembentukkan). Proses “shaping” yang dilakukan secara bertahap akan menghasilkan penguasaan terhadap perilaku yang kompleks melalui perancangan atau manipulasi stimulus yang diskriminatif dan penguatan.
Teori Operant Conditioning dari Skinner percaya bahwa setiap individu harus diidentifikasi karakteristik maupun perilaku awalnya untuk proses shaping.  Skinner menyatakan bahwa perilaku dapat dibentuk (dan juga dihilangkan) sehingga (hampir) semua orang yang memperoleh latihan yang layak akan dapat memiliki perilaku tertentu yang diinginkan. Disamping itu, teori Skinner percaya bahwa pengkondisian suatu respons sangat tergantung pada penguatan yang dilakukan berulang-ulang secara berkesinambungan. Dengan demikian, latihan termasuk komponen penguatan didalamnya menjadi sangat penting dalam proses pengkondisian. Dalam hal motivasi, Skinner sangat percaya akan peran penguatan yang memantapkan pemunculan suatu respons yang diharapkan dan juga peran hukuman yang secara umum dapat menghilangkan pemunculan respons yang tidak diharapkan. Terakhir, teori Operant Conditioning dari Skinner sangat percaya akan proses perampatan hasil belajar. Dengan menggunakan istilah induksi, Skinner menjelaskan bahwa perampatan terjadi berlandaskan pada proses induksi terhadap stimulus yang derajat kompleksitasnya dan karakteristiknya mempunyai kesamaan dengan stimulus deskriminatif yang sudah dipelajari.
Berdasarkan hal tersebut, diperoleh prinsip Belajar Skinner adalah :
a.    Hasil belajar harus segera diberitahukan kepada siswa jika salah dibetulkan dan jika benar diberi penguat.
b.   Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar. Materi pelajaran digunakan sebagai sistem modul.
c.    Dalam proses pembelajaran lebih dipentingkan aktivitas sendiri, tidak digunakan hukuman. Untuk itu lingkungan perlu dirubah untuk menghindari hukuman.
d.   Tingkah laku yang diinginkan pendidik diberi hadiah dan sebaiknya hadiah diberikan dengan digunakannya jadwal variable ratio reinforce.
e.    Dalam pembelajaran digunakan shapping.
Jadi, teori Operant Conditioning merupakan suatu proses penguatan perilaku operant yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat diulang kembali atau menghilang sesuai keinginan sehingga dalam hal ini kondisi akan diberikan sesudah terjadinya respons.
7) Penerapan Teori Belajar Behavioristik dalam Pembelajaran
       Aliran psikologi belajar yang memiliki  pengaruh sangat besar terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, menempatkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
       Istilah-istilah seperti hubungan stimulus respon, individu atau siswa pasif, perilaku sebagai hasil yang tampak, pembentukan perilaku (shaping) dengan penataan kondisi secara ketat, reinforcement dan hukuman, ini semua merupakan unsur-unsur yang sangat penting dalam teori behavioristik. Teori ini hingga sekarang masih dominan dalam praktek pembelajaran di Indonesia. Hal ini tampak dengan jelas pada penyelenggaraan pembelajaran dari tingkat yang paling dini, seperti kelompok bermain, Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, bahkan sampai Perguruan Tinggi, pembentukan perilaku dengan cara drill (pembiasaan) disertai dengan reinforcement atau hukuman masih sering dilakukan.
       Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, dan tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau siswa. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yang sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Siswa diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid (Degeng, 2006).
       Demikian halnya dalam proses belajar mengajar, siswa dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para siswa. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar siswa diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat unobservable kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
       Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi siswa untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya siswa kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
       Karena teori behavioristik memandang bahwa sebagai pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka siswa atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Siswa atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri siswa (Degeng, 2006).
       Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks dan buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks atau buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
       Evaluasi menekankan pada respon pasif, keterampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila siswa menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan siswa secara individual.

2.2 Teori Belajar Kognitif
2.2.1 Tujuan Teori Belajar Kognitif
       Tujuan teori psikologi untuk membentuk hubungan yang teruji, yang teramalkan dari tingkah laku orang-orang pada ruang kehidupan mereka secara spesifik sesuai dengan situasi psikologisnya. Untuk dapat memahami atau memprediksi suatu perilaku, kita harus memperhatikan orang tersebut dengan lingkungan psikologisnya sebagai pola dari fakta dan fungsi-sungsi yang saling membutuhkan.
       Teori kognitif dikembangkan terutama untuk membantu guru memahami muridnya. Ternyata, hal ini juga dapat membantu guru memahami dirinya sendiri dengan lebih baik. Menurut teori kognitif, belajar diartikan sebagai proses interaksional seseorang memperoleh pemahaman baru atau struktur kognitif dan mengubah hal-hal yang lama. Agar belajar menjadi efektif, guru harus memperhatikan dirinya sendiri dan orang lain. Jadi, psikologi kognitif dikembangkan dengan maksud guru-guru mampu memahami muridnya secara lebih baik. Psikologi kognitif mengembangkan sistem psikologi yang bermanfaat untuk berhubungan dengan anak-anak dan pemuda pada saat belajar.
       Teori belajar kognitif dibentuk dengan tujuan mengkonstruksi prinsip-prinsip belajar secara alamiah. Hasilnya berupa prosedur-prosedur yang dapat diterapkan pada situasi kelas untuk mendapatkan hasil yang produktif. Teori belajar kognitif menjelaskan bagaimana seseorang mencapai pemahaman atas dirinya dan lingkungannya lalu menafsirkan bahwa diri dan lingkungan psikologinya merupakan faktor-faktor yang kait mengait. Teori ini dikembangkan berdasarkan tujuan yang melatarbelakangi perilaku, cita-cita, cara-cara, dan bagaimana seseorag memahami diri dan lingkungannya dalam usaha untuk mencapai tujuan dirinya. Setiap pengertian yang diperoleh dari memahami diri sendiri dan lingkungannya disebut insight.

2.2.2 Apa yang dimaksud dengan Insight (pemahaman dasar)
       Menurut teori ini insight adalah pemahaman dasar yang dapat diaplikasikan pada beberapa situasi yang sama atau hampir sama. Insight adalah pemahaman seseorang terhadap suatu situasi secara mendalam. pemahaman seseorang tidak sama dengan kesadaran atau kemampuannya untuk menjelaskan pemahaman tersebut secara verbal. Jadi, insight merupakan inti pemahaman. Seseorang dapat memperoleh insight walau hanya dari mengalami satu kasus. Bagaimana pun yang paling bernilai adalah insight yang berasal dari sejumlah kasus yang hampir bersamaan yang digeneralisasikan menjadi sebuah pemahaman. Dengan kata lain, pada mulanya pemahaman terhadap sesuatu terjadi dengan melihat hubungan antara bagian-bagian yang terpisah, kemudian pada akhirnya timbul pemahaman tentang hubungan antarkomponen yang dilihat.
       Pemahaman seseorang secara kolektif merupakan struktur kognitif dari aspek ruang kehidupannya. Struktur kognitif itu sendiri adalah persepsi dari aspek psikologis, fisik, dan kehidupan sosial seseorang. Bila dikaitkan dengan siswa yang belajar maka struktur kognitif merupakan segala pengetahuan yang diperoleh dari kegiatan belajar di masa lalu dan proses belajar pada dasarnya suatu upaya untuk mengaitkan pengetahuan baru ke dalam struktur kognitif yang sudah dimiliki siswa. Dari proses belajar ini diharapkan akan terbentuk struktur kognitif yang baru yang lebih lengkap. Sehubungan dengan pandangan tersebut, supaya belajar dapat lebih efektif, guru harus memperhatikannya secara lebih baik. Pada saat guru merancang program pembelajaran, kondisi siswa harus diperhatikan, begitu pula pada saat mengimplementasikan rancangan tersebut di dalam kelas, kondisi nyata kelas perlu diperhatikan dan dipertimbangkan.

2.2.3 Perbedaan Teori Kognitif dengan Teori Conditioning Stimulus-Respons
       Teori belajar kognitif menentang aliran behaviorisme karena pandangan aliran behaviorisme ini bersifat molekuler, memandang tingkah laku sebagai hasil dari ikatan stimulus-respons saja sehingga tidak dapat menggambarkan proses mental yang terjadi. Semua pendekatan dari teori belajar perilaku tampaknya kurang mengindahkan proses-proses mental yang terjadi selama belajar seperti persepsi siswa, pemahaman, dan kognisi dari hubungan esensial antara unsur-unsur yang terjadi dalam belajar. Di lain pihak, teori kognitif menekankan pada apa yang terjadi dalam diri individu itu sendiri dalam menganalisis stimulus sampai dengan munculnya respons. Teori kognitif menggambarkan bagaimana seseorang mencapai pemahaman atas dirinya sendiri serta lingkungan sekitarnya dalam satu situasi dan bagaimana struktur kognitif terbentuk.
Perbedaan pandangan kedua teori ini dapat dijelaskan sebagai berikut.
1)      Teori Kognitif Menekankan pada Fungsi-fungsi Psikologis
       Pada umumnya teori behaviorisme cenderung menjelaskan karakter suatu aktivitas dari segi fisiknya saja dan mengabaikan pengaruh psikologisnya. Segi psikologis artinya adanya kecocokan atau sejiwa dengan logika/pengetahuannya, sedangkan ahli teori kognitif memperhatikan dunia sekeliling dari sudut siswa. la memperhatikan fungsi-fungsi psikologis (proses mental), hubungan dan kejadian yang saling mempengaruhi yang berbeda dengan objek tisiknya. Selain itu psikologi kognitif memperhatikari pula sistem saraf.
2)      Teori Kognitif Berfokus pada Situasi Saat Ini
       Teori perilaku dan apersepsi menggunakan pendekatan sejarah, yaitu masa lalu orang lain untuk mempelajari perilaku manusia dan motivasinya, kemudian memprediksi masa depannya, sedangkan pendekatan yang digunakan psikologi kognitif adalah situasi atau sejarah masa kini manusia untuk mempelajari keadaan individu pada saat ini untuk kemudian memprediksi masa depannya. Ciri penting teori belajar kognitif adalah selalu diawali dari suatu deskripsi mengenai situasi saat itu secara keseluruhan dan berlanjut ke analisis rinci dari segala aspek situasi. Ide yang harus dipertahankan adalah bahwa tidak ada dua konsep atau lebih yang terpisah secara tersendiri tetapi segala hal selalu bergantung kepada sesuatu hal yang lain. Kekinian bisa berarti saat ini. Ruang kehidupan adalah suatu konsep yang berisi segala hal yang berkaitan dengan jiwa yang melingkupi jiwa seseorang pada suatu waktu tertentu.
3)      Berinteraksinya Orang dengan Lingkungan
       Dalam teori kognitif terjadi interaksi antara manusia dan lingkungannya secara simultan dan saling membutuhkan. Masing – masing tidak terpisahkan, tetapi saling berkaitan. Interaksi adalah proses kognitif dimana didalamnya seseorang secara psikologi, dan simultan memahami lingkungannya dan menemukan beberapa hal yang bermakna. Selanjutnya, orang tersebut akan menghubungkan pemahaman yang diperolehnya dengan dirinya, berbuat sesuatu atas pemahamannya itu sesuai dengan dirinya dan menyadari konsekuensi dari proses tersebut secara keseluruhan.
            Berdasarkan berbagai pandangan di atas maka prinsip – prinsip dasar teori belajar kognitif dapat dirumuskan sebagai berikut.
a)      Belajar merupakan peristiwa mental yang berhubungan dengan berpikir, perhatian, persepsi, pemecahan masalah, dan kesadaran.
b)      Sehubungan dengan pembelajaran, teori belajar perilaku dan kognitif pada akhirnya sepakat bahwa guru harus memperhatikan perilaku siswa yang tampak seperti penyelesaian tugas rumah, hasil tes, di samping itu juga harus memperhatikan faktor manusia dan lingkungan psikologisnya.
c)      Ahli kognitif percaya bahwa kemampuan berpikir orang tidak sama dan tidak tetap dari waktu ke waktu.
Pendekatan kognitif sudah sejak lama diterapkan dalam sistem pendidikan di Indonesia. Selama perkembangannya ada empat model teori belajar kognitif yang paling berpengaruh dalam dunia pendidikan dewasa ini, yaitu (1) model belajar penemuan (Bruner), (2) model belajar bermakna (Ausubel), (3) model pemrosesan informasi (Gagne), (4) model perkembangan intelektual (Jean Piaget). Tiap – tiap model mempunyai dasar pemikiran dan pandangan yang berbeda mengenai hakikat belajar dan bagaimana seharusnya pembelajaran dilaksanakan.

2.2.4 Model – Model Teori Belajar Kognitif
1) Model Teori Belajar Bruner dan Ausubel
a) Prinsip – Prinsip Belajar Bruner
       Jerome S. Bruner adalah seorang ahli psikologi kognitif (1915-) yang memberi dorongan agar pendidikan memberi perhatian pada pentingnya pengembangan berpikir.
       Bruner tidak mengembangkan teori belajar yang sistematis. Dasar pemikiran teorinya memandang bahwa manusia adalah sebagai pemroses, pemikir, dan pencipta informasi. Oleh karenanya, yang terpenting dalam belajar adalah cara – cara bagaimana seseorang memilih, mempertahankan, dan metransformasikan informasi yang diterimanya secara aktif. Sehubungan dengan itu Bruner sangat memberi perhatian pada masalah apa yang dilakukan manusia dengan informasi yang diterima itu untuk mencapai pemahaman dan membentuk kemampuan berpikir pada siswa.
       Menurut Bruner pada dasarnya belajar merupakan proses kognitif yang terjadi dalam diri seseorang. Ada tiga proses kognitif yang terjadi dalam belajar, yaitu (1) proses perolehan informasi baru , (2) proses mentransformasikan informasi yang diterima, (3) menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan. Perolehan  informasi baru dapat terjadi melalui kegiatan membaca, mendengarkan penjelasan guru mengenai materi yang diajarkan atau mendengar/melihat audiovisual, dan lain – lain. Informasi ini mungkin bersifat penghalusan dari informasi sebelumnya yang telah dimiliki atau informasi itu bersifat berlawanan (berbeda) dengan informasi yang sudah dimiliki. Sedangkan proses transformasi pengetahuan merupakan suatu proses bagaimana kita memperlakukan pengetahuan yang sudah diterima agar sesuai dengan kebutuhan. Informasi yang diterima dianalisis, diproses, atau diubah menjadi konsep yang lebih abstrak agar suatu saat dapat dimanfaatkan. Transformasi pengetahuan ini dapat terjadi dengan cara ekstrapolasi, yaitu mengubah dalam bentuk lain yang diperlukan. Proses ini akan lebih baik bila mendapat bimbingan dari guru. Tahap selanjutnya adalah menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan atau informasi yang telah diterima, agar dapat bermanfaat untuk memecahkan masalah yang dihadapi siswa dalam kehidupan sehari – hari.
       Selanjutnya, agar proses belajar berjalan lancar menurut Bruner di dalam bukunya Process of Education ada tiga faktor yang sangat ditekankan dan harus menjadi perhatian para guru di dalam menyelenggarakan pembelajaran, yaitu (a) pentingnya memahami struktur mata pelajaran, (b) pentingnya belajar aktif supaya seseorang dapat menemukan sendiri konsep – konsep sebagai dasar untuk memahami dengan benar, dan (c) pentingnya nilai dari berpikir induktif. Berdasarkan pandangan Bruner ini maka ada empat aspek utama yang harus menjadi perhatian dalam pembelajaran, yaitu pentingnya struktur mata pelajaran, kesiapan, intuisi, dan motivasi.
a)      Struktur Mata Pelajaran
Stuktur mata pelajaran berisi ide – ide, konsep – konsep dasar, hubungan antarkonsep, atau contoh – contoh dari bidang tersebut yang dianggap penting. Struktur penting dari suatu ide dapat disajikan secara sederhana dalam bentuk diagram, serangkaian prinsip atau formula. Bila siswa telah menguasai konsep – konsep dasar maka ia akan dengan mudah menguasai mata pelajaran yang sejenis atau hampir sama. Dengan struktur pengetahuan kita dapat menolong para siswa melihat bagaimana fakta – fakta yang kelihatannya tidak ada hubungan, dapat dihubungkan satu dengan yang lain, demikian pula informasi yang telah dimiliki sebelumnya dapat dihubungkan dengan informasi yang baru. Karenanya, Bruner sangat menekankan pentingnya memperhatikan struktur mata pelajaran dalam pembuatan kurikulum dan menyajikan materi pelajaran. Menurut Bruner proses belajar akan lebih bermakna, berguna dan mudah diingat oleh siswa bila difokuskan pada memahami struktur mata pelajaran yang akan dipelajari.
b)      Kesiapan untuk Belajar
Dalam belajar guru harus memperhatikan kesiapan siswa untuk mempelajari materi baru atau yang bersifat lanjutan. Kesiapan belajar dapat terdiri atas penguasaan keterampilan – keterampilan yang lebih sederhana yang telah dikuasai terlebih dahulu dan yang memungkinkan seseorang untuk memahami dan mencapai keterampilan yang lebih tinggi. Kesiapan belajar ini dipengaruhi oleh kematangan psikologi dan pengalaman anak. Untuk mengetahui apakah siswa telah memiliki kesiapan dalam mempelajari materi pelajaran tertentu maka perlu diberi tes mengenai materi awal yang berhubungan dengan topik yang akan diajarkan. Bila siswa dapat mengerjakan tes dengan baik, berarti ia telah siap. Bila tidak mampu mengerjakan sekalipun ia telah bekerja keras ia dinyatakan belum siap. Untuk menumbuhkan kesiapan anak, seorang guru harus memberikan pengalaman – pengalaman tertentu yang berhubungan dengan pengetahuan atau keterampilan yang harus dikuasai.
c)      Intuisi
Menurut Bruner yang dimaksud dengan intuisi adalah teknik – teknik intelektual analitis untuk mengetahui apakah formulasi – formulasi itu merupakan kesimpulan yang sahih atau tidak.
d)     Motivasi
Motivasi merupakan kondisi khusus yang dapat mempengaruhi individu untuk belajar. Motivasi merupakan variabel penting, khususnya selama proses pembelajaran yang dapat membantu mendorong kemauan belajar siswa. Karenanya, Bruner percaya bahwa hampir semua anak mempunyai masa – masa pertumbuhan akan “keinginan untuk belajar”. Reinforcement dan reward dari dalam mungkin penting untuk meningkatkan perbuatan tertentu atau untuk membuat mereka yakin hingga mau mengulangi apa yang sudah dipelajari. Bruner menekankan pentingnya motivasi intrinsik dibandingkan dengan motivasi eksternal. Contoh motivasi intrinsik adalah rasa ingin tahu anak. Bahwa dunia ini akan dapat dikenal dan dikuasai anak dengan menggunakan kesadaran “ingin tahu”. Motivasi lain yang dapat membawa kita pada dunia ini adalah dengan memiliki berbagai kompetensi. Anak – anak menjadi tertarik untuk mempelajari hal – hal yang mereka anggap biasa dan telah dikuasai.  Satu hal yang tidak mungkin adalah memotivasi anak agar menguasai sesuatu yang mereka tidak biasa dan tidak dikuasai.

2)      Model Pengembangan Kurikulum
       Pandangan Bruner tentang pentingnya pengembangan berpikir dalam proses pendidikan telah menghasilkan rekomendasi perlunya rancangan kembali kurikulum untuk mengembangkan keterampilan berpikir (Bell Gedler; 1986 hal, 65). Bruner mengemukakan perlu adanya teori pembelajaran yang akan menjelaskan asas – asas untuk merancang pembelajaran yang efektif di kelas dalam rangka mengembangkan keterampilan berpikir. Seperti halnya John Dewey, Bruner menggambarkan orang yang berpengetahuan sebagai orang yang terampil dalam memecahkan masalah. Artinya, ia dapat berinteraksi dengan lingkungan dalam mengkaji hipotesis dan menarik generalisasi. Model penyajian pelajaran atau kurikulum yang baik harus dirancang ke arah penguasaan keterampilan yang lebih kuat (Bruner 1964, dalam Margaret B. Gedler; 1986, hal 63 – 73). Konsep – konsep yang ada dalam mata pelajaran harus didefinisikan terlebih dahulu dan digunakan sebagai dasar pengembangan kurikulum. Dengan cara ini, menurut Bruner memungkinkan orang untuk mengajarkan mata pelajaran apa pun secara efektif kepada siapa pun pada tahap perkembangan apa pun. Perancangan kurikulum yang seperti ini disebut kurikulum spiral.
       Kurikulum yang dikembangkan dengan model ini diarahkan pada upaya mendidik siswa untuk memiliki kemampuan menyelidiki (inkuiri) dan menemukan (diskoveri). Agar pembelajaran dapat mengembangkan keterampilan intelektual anak maka materi pelajaran perlu disajikan dengan memperhatikan tahap perkembangan kognitif anak yang meliputi tahap enaktif, ikonik, dan simbolik. Selanjutnya, ketiga tahap perkembangan kognitif ini oleh Bruner disebut sebagai model dalam menyajikan pelajaran. Ketiga model penyajian ini digambarkan sebagai berikut.
a)      Penyajian Enaktif
       Penyajian enaktif adalah penyajian yang dilakukan melalui tindakan, memiliki karakter manipulasi yang tinggi. Penyajian seperti ini sangat diperlukan oleh anak – anak yang mulai dapat memahami beberapa aspek realita/kejadian tanpa menggunakan imajinasinya atau kata – kata. Ia kan dapat memahami sesuatu dari berbuat atau melakukan sesuatu. Contohnya, seorang anak yang mengatur keseimbangan timbangan dengan jalan menyesuaikan kedudukan badannya walaupun anak itu mungkin tidak dapat menjelaskan prosedurnya.
b)     Penyajian Ikonik
       Penyajian ikonik dilakukan melalui serangkaian gambar – gambar atau grafik yang menggambarkan suatu konsep tetapi tidak mendefinisikannya. Penyajian ini bergantung kepada visual organisasi sensorik anak. Bila mendekati masa remaja, bahasa menjadi lebih penting sebagai suatu media berpikir. Kemudian, pada masa transisi penyajian ikonik yang didasarkan pada pengindraan dilanjutkan dengan penyajian simbolik  yang didasarkan pada sistem berpikir abstrak.
c)      Penyajian Simbolik
       Bahasa adalah dasar penyajian simbolik. Penyajian simbolik ini dibuktikan oleh kemampuan seseorang untuk memikirkan proposisi dibandingkan objek, memberikan struktur hierarkis pada konsep – konsep dan untuk memikirkan alternatif yang mungkin dalam suatu cara kombinatunal. Pada tahap ini anak mungkin dapat menerangkan cara bekerjanya neraca atau timbangan.
Salah satu penyebab kegagalan guru dalam menyajikan materi pelajaran adalah karena guru tidak berusaha untuk memahami siswa dengan baik, atau model penyajian guru tidak sesuai dengan tingkat pengalaman dan pengetahuan anak. Akibatnya, anak tidak dapat menangkap pesan pembelajaran yang ingin disampaikan guru.

3)       Pendekatan Model Belajar Bruner
Pendekatan model belajar Bruner ini didasarkan pada dua asumsi.
     Asumsi pertama adalah bahwa perolehan pengetahuan merupakan suatu proses interaktif. Artinya pengetahuan akan diperoleh orang yang belajar (pebelajar) bila di dalam pembelajaran yang bersangkutan berinteraksi secara aktif dengan lingkungannya. Orang yang belajar berinteraksi dengan lingkungannya secara aktif, perubahan tidak hanya terjadi di lingkungan tetapi juga dalam diri orang itu sendiri.
Asumsi kedua adalah bahwa orang mengkontruksi pengetahuannya dengan menghubungkan informasi yang masuk dengan informasi yang disimpan yang diperoleh sebelumnya. Dalam belajar hal-hal yang mempunyai kemiripan dihubungkan menjadi suatu struktur yang memiliki arti. Setiap model seseorang khas bagi dirinya. Dengan menghadapi berbagai aspek dari lingkungan kita, kita akan membentuk suatu struktur atau model yang mengizinkan kita untuk mengelompokkan hal-hal tertentu atau membangun suatu hubungan antara hal-hal yang diketahui.   

4)      Belajar Penemuan dari Bruner, Manfaat dan Contoh Penerapannya dalam Pembelajaran
             Salah satu model kognitif yang sangat berpengaruh adalah model dari Jerome Bruner (1966) yang dikenal dengan nama belajar penemuan (discovery learning). Bruner menganggap bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia dan dengan sendirinya memberikan hasil yang paling baik. Bruner menyarankan agar siswa hendaknya belajar melalui berpartisipasi aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip agar mereka dianjurkan untuk memperoleh pengalaman dan melakukan eksperimen-eksperimen yang mengizinkan mereka untuk menemukan konsep dan prinsip itu sendiri.
            Bruner yakin bahwa belajar penemuan adalah proses belajar dimana guru harus menciptakan situasi belajar yang problematis, menstimulus siswa dengan pertanyaan-pertanyaan, mendorong siswa mencari jawaban sendiri dan melakukan eksperimen. Bentuk lain dari belajar penenmuan adalah guru menyajikan contoh-contoh dan siswa bekerja dengan contoh tersebut sampai dapat menemukan sendiri hubungan antar konsep.
            Saat ini model belajar penemuan menduduki peringkat atas dalam dunia pendidikan modern. Salah satu yang banyak diterapkan dalam pembelajaran di Indonesia adalah konsep belajar siswa aktif atau cara belajar siswa aktif (CBSA). Dalam menerapkan model belajar penemuan ini, guru dianjurkan untuk tidak memberikan materi secara utuh. Siswa cukup diberikan konsep utama, untuk selanjutnya siswa dibimbing agar dapat menemukan sendiri sampai akhirnya dapat mengorganisasikan konsep tersebut secara utuh.
Manfaat Belajar Penemuan
a.    Belajar penemuan dapat digunakan untuk menguji apakah belajar sudah bermakna.
b.   Pengetahuan yang diperoleh siswa akan tersimpan lama dan mudah diingat.
c.    Belajar penemuan sangat diperlukan dalam pemecahan masalah sebab yang diinginkan adalah agar siswa dapat mendemontrasikan pengetahuan yang diterimanya.
d.   Transfer dapat ditingkatkan setelah generalisasi ditemukan sendiri oleh siswa.
e.    Penggunaan belajar penemuan mungkin mempunyai pengaruh dalam menciptakan motivasi belajar.
f.    Belajar penemuan meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan untuk berpikir secara bebas.
Tahap-tahap Penerapan Belajar Penemuan
a.    Stimulus (pemberian perangsang/stimuli); kegiatan belajar dimulai dengan memberikan pertanyaan yang merangsang berpikir siswa, menganjurkan dan mendorongnya untuk membaca buku dan aktivitas belajar lain yang mengarah pada persiapan pemecahan masalah.
b.   Problem statement (mengidentifikasi masalah); memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin masalah yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian memilih dan merumuskannya dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara dari masalah tersebut).
c.    Data collection (pengumpulan data); memberikan kesempatan kepada siswa mengumpulkan informasi yang relevan sebanyak-banyaknya untuk membuktikan benar tidaknya hipotesis tersebut.
d.   Data processing (pengolahan data); mengolah data yang telah diperoleh siswa melalui kegiatan wawancara , observasi dan lain-lain. Data tersebut kemudian ditafsirkan.
e.    Verifikasi; mengadakan pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan benar tidaknya hipotesis yang ditetapkan dan dihubungkan dengan hasil pengolahan data.
f.    Generalisasi; mengadakan penarikan kesimpulan untuk dijadikan prinsip umum yang berlaku untuk semua kejadian atau masalah yang sama dengan memperhatikan hasil verifikasi (Muhibbin Syah 1995, hal 245).
Penerapan Teori Belajar Bruner dalam Pembelajaran
a.    Sajikan contoh dan noncontoh konsep-konsep yang akan diajarkan , misalnya pembelajaran mamalia.
Contoh :
1)      Contohnya: manusia, ikan paus, kucing atau lumba-lumba
2)      Noncontohnya: ayam, ikan, katak atau buaya
b.   Bantu siswa untuk melihat adanya hubungan antar konsep-konsep.
Contoh :
Beri pertanyaan kepada siswa seperti berikut ini “apakah ada sebutan lain dari kata “rumah”? (tempat tinggal), “dimanfaatkan untuk apa rumah”? (untuk istirahat, berkumpulnya keluarga, dan lain-lain).
c.    Beri satu pertanyaan dan biarkan siswa untuk mencari jawabannya.
Contoh:
1)      Bagaimana terjadinya embun?
2)      Apakah ada hubungan antara kabupaten dan kotamadya?
d.   Ajak dan beri semangat siswa untuk memberikan pendapat berdasarkan intuisinya.
Contoh :
1)      Beri siswa peta Yunani kuno dan tanyakan dimana letak kota-kota utama di Yunani.
2)      Jangan berkomentar dulu atas jawabna siswa, gunakan pertanyaan yang memandu siswa untuk mengarahkan meraka kepada jawaban yang sebenarnya dan lain-lain (Anita W 1995)
5)   Belajar Bermakna dari Ausubel
     David Ausubel banyak mencurahkan perhatiannya pada pentingnya mengembangkan potensi kognitif siswa melalui proses belajar bermakna (meaningful learning) dan belajar verbal yang dikenal dengan expository learning. Pandangan Ausubel tentang belajar ini sangat bertentangan dengan ahli psikologi kognitif lainnya, yaitu Bruner dan Piaget. Menurut Ausubel, pada dasarnya orang memperoleh pengetahuan melalui penerimaan, bukan melalui penemuan. Konsep-konsep, prinsip, dan ide-ide yang disajikan pada siswa akan diterima oleh siswa. Dapat juga konsep ini ditemukan sendiri oleh siswa. (Gagne/Berliner, 322). Suatu konsep mempunyai arti bila sama dengan ide yang telah dimiliki, yang ada dalam struktur kognitifnya. Agar konsep¬konsep yang diajarkan berarti, harus ada sesuatu di dalam kesadaran siswa yang bisa disamakan. Sesuatu itu adalah "struktur kognitif'. Belajar bermakna adalah belajar yang disertai dengan pengertian. Belajar bermakna akan terjadi apabila informasi yang baru diterima siswa mempunyai kaitan erat dengan konsep yang sudah ada/diterima sebelumnya dan tersimpan wan, struktur kognitifnya. Informasi baru ini juga dapat diterima atau pelajari siswa tanpa menghubungkannya dengan konsep atau pengetahuan yang sudah ada. Cara belajar seperti ini disebut belajar menghapal.

6)      Klasifikasi Belajar Ausubel dan Cara Pengajarannya
     Ausubel mengklasifikasikan makna belajar ke dalam dua dimensi seperti tampak pada gambar berikut. Dimensi pertama berhubungan dengan cara bagaimana informasi atau materi pelajaran disajikan kepada siswa, apakah `melalui penerimaan atau melalui penemuan. Belajar menurut dimensi ini `diperoleh melalui pemberian informasi dengan cara dikomunikasikan kepada siswa. dalam bentuk belajar penerimaan dan menyajikan informasi itu dalam bentuk final, ataupun dalam bentuk belajar penemuan yang mengharuskan siswa untuk menemukan sendiri keseluruhan informasi yang harus diterimanya. Cara kedua berhubungan dengan bagaimana siswa dapat mengaitkan informasi yang diterima dengan struktur kognitif yang sudah dimilikinya. Dalam hal ini siswa menghubungkan atau mengaitkan informasi yang diterima dengan pengetahuan yang telah dimilikinya, itulah yang dikatakan belajar bermakna. Siswa dapat juga mencoba-coba menghapal informasi baru tanpa menghubungkan dengan konsep yang telah ada dalam struktur kognitifnya. Itu disebut belajar menghapal.
     Kedua dimensi itu tidak menunjukkan dikotomi yang sederhana, tetapi lebih merupakan suatu kontinum, sebagai tampak dalam gambar berikut. Menurutnya, belajar penerimaan tidak sama dengan belajar hapalan. Belajar penerimaan dapat dibuat bermakna, yaitu dengan cara menjelaskan hubungan antara konsep-konsep.
7)       Struktur Kognitif
Struktur kognitif didefinisikan sebagai struktur organisasional yang ada dalam ingatan seseorang yang mengintegrasikan unsur-unsur pengetahuan yang terpisah ke dalam suatu unit konseptual. Struktur kognitif berisi konsep-konsep yang telah tersusun secara hierarki dan tetap berada dalam kesadaran siswa. Konsep yang paling inklusif terletak di atas lalu berangsur-angsur pada konsep yang spesifik sampai pada yang terakhir. Sehubungan dengan itu agar bahan pelajaran mudah dipelajari, Ausubel (1963) berpendapat bahwa pengetahuan diorganisasikan dalam ingatan seseorang secara hierarki. Oleh karena itu, ia menyarankan supaya materi pelajaran disusun secara berurutan dari atas ke bawah, dari yang paling inklusif/umum/abstrak hingga yang paling spesifik (terinci); pembelajaran harus berjalan dari yang paling umum dan inklusif hingga rinci, disertai contoh yang khas. Dengan pandangannya itu, Ausubel menolak pendapat yang mengatakan bahwa belajar verbal akan mendorong siswa untuk cenderung menghapal (bersifat verbalisme) atau mengulang-ulang hapalan secara rutin. Untuk itu ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar belajar menjadibermakna. geberapa syarat/strategi tersebut di antaranya adalah dengan melakukan advance organizer; progressive differentiation, integrative reconciliation, dan consolidation.
Pengaturan awal (advance organizer). Pengaturan awal ini berisi konsep-konsep atau ide-ide yang diberikan kepada siswa jauh sebelum materi pelajaran yang sesungguhnya diberikan. Berdasarkan suatu penelitian, pengaturan awal dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap berbagai macam materi pelajaran. Pengaturan awal sangat berguna dalam mengajarkan materi pelajaran yang sudah mempunyai struktur yang teratur. Ada tiga hal yang dapat dicapai dengan ' menggunakan pengaturan awal, yaitu (1) pengaturan awal memberikan kerangka konseptual untuk belajar yang bakal terjadi berikutnya; (2) dapat menjadi penghubung antara informasi yang sudah dimiliki siswa saat ini dengan informasi baru yang akan diterima/dipelajari; (3) berfungsi sebagai jembatan penghubung sehingga memperlancar proses pengkodean pada siswa.
Pengaturan awal itu bermacam-macam bentuknya tetapi fungsinya dalam sama, yaitu meningkatkan kemampuan siswa untuk mengorganisasikan materi, belajar, dan mengingat. Kebanyakan advance organizer berisi materi lama yang sudah dikenal, baik oleh siswa namun masih mempunyai hubungan dengan materi yang baru.
Ada dua bentuk organizer, yaitu expository organizer menyajikan gambar konsep yang relevan dan comparative organizer menyajikan persamaan dan perbedaan antara dua materi dari struktur kognitif yang sudah dimiliki.
Progressive differentiation. Menurut Ausubel pengembangan konsep berlangsung paling baik bila dimulai dengan cara menjelaskan terlebih dahulu hal-hal yang umum terus sampai kepada hal-hal yang khusus dan rinci disertai dengan pemberian contoh-contoh. Untuk menerapkan strategi mengajar atau menyajikan materi seperti ini perlu dilakukan analisis konsep. Analisis konsep dilakukan untuk menemukan kemudian menghubungkan konsep-konsep utama dari suatu mata pelajaran sehingga dapat diketahui mana konsep yang paling utama dan superordinat dan mana konsep yang lebih khusus dan subordinat. Konsep yang diajarkan kepada siswa akan diterima dan diasosiasikan dengan konsep yang ada dalam struktur kognitifnya, kemudian konsep ini akan mengalami diferensiasi.
Rekonsiliasi integratif (integrative reconciliation). Guru menjelaskan dan menunjukkan secara jelas perbedaan dan persamaan materi yang baru dengan materi yang telah dijelaskan terlebih dahulu yang telah dikuasai siswa. Dengan demikian siswa akan mengetahui alasan dan manfhat mated yang akan dijelaskan tersebut.
Konsolidasi (consolidation). Guru memberikan pemantapan atas materi pelajaran yang telah diberikan untuk memudahkan siswa memahami dan mempelajari materi selanjutnya (Barlow;1985; dalam Muhibbin. Syah, 1995,245-246)

8)    Penerapan Belajar Bermakna
     Inti teori Ausubel tentang belajar adalah belajar bermakna (meaningfiil learning). Belajar bermakna merupakan suatu proses untuk mengaitkan informasi baru dengan konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang.
     Dalam menerapkan teori Ausubel dalam pembelajaran, guru dianjurkan untuk mengetahui terlebih dahulu kondisi awal siswa. Hal ini sesuai dengan pandangan bahwa ada satu faktor yang sangat mempengaruhi belajar, yaitu pengetahuan yang telah diterima siswa.
     Pandangan Ausubel ini diharapkan menjadi kerangka berpikir dalam menerapkan teori tersebut dalam belajar di samping memahami konsep dan prinsip-prinsip lain yang harus diperhatikan, yaitu adanya pengaturan awal, adanya proses diferensiasi progresif, rekonsiliasi integratif, dan belajar subordinat.
Dalam perkembangannya, belajar bermakna dapat diterapkan melalui berbagai cara pengajaran, misalnya pengajaran dengan menggunakan peta konsep.
Penerapan peta konsep dalam pembelajaran dapat dilakukan untuk menguji dan mengetahui penguasaan siswa terhadap pokok materi yang akan diberikan, serta untuk mengetahui konsep esensial apa saja yang perlu diajarkan.
Adapun cara pembelajarannya adalah sebagai berikut.
1.      Pilih suatu bacaan atau salah satu bab dari sebuah buku pelajaran. 
2.      Tentukan konsep-konsep yang relevan dari topik yang akan atau sudah diajarkan.
3.      Urutkan konsep-konsep tersebut dari yang paling inklusif ke yang paling tidak inklusif berikut contoh-contohnya.
4.      Susun konsep-konsep tersebut di atas kertas dari konsep yang paling inklusif ke konsep yang tidak inklusif secara berurutan dari atas ke bawah.
5.      

0 comments:

Posting Komentar