BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Teori
Belajar Behavioristik
2.1.1 Hakikat
Teori Belajar Behavioristik
Teori belajar
behavioristik lahir sebagai upaya untuk menyempurnakan dua perspektif yang
telah berlaku di awal abad 20, yaitu perspektif strukturalis dari Wundt dan
psikologi fungsionalis dari Dewey.
Perspektif
strukturalis percaya akan perlunya penelitian dasar yang mempelajari tentang
otak manusia. Oleh karenanya, kaum strukturalis tidak percaya pada
penelitian-penelitian aplikatif yang menggunakan binatang untuk dirampatkan
kepada manusia, terutama tentang cara kerja otak manusia. Para strukturalis
kemudian menggunakan alat "instrospeksi" laporan diri (self-report)
tentang proses berpikir sebagai cara untuk mempelajari kerja otak manusia.
Namun alat tersebut dikritik oleh banyak kalangan karena menghasilkan data dan
informasi yang sama sekali tidak konsisten sehingga tidak dapat dipercaya.
Jika perspektif
strukturalis cenderung berwawasan sangat sempit (mikro) maka psikologi
fungsionalis sebaliknya berwawasan sangat luas (makro). Dalam keluasannya ini,
para ahli psikologi fungsionalis menyatakan perlu adanya kajian tentang
perilaku, selain kajian tentang fungsi proses mental, dan hubungan antara
proses mental dan tubuh manusia. Namun demikian, justru dengan keluasannya ini,
psikologi fungsionalis dirasakan menjadi kurang fokus dan tidak terorganisasi
dengan baik.
Berangkat dari keterbatasan perspektif
strukturalis dan psikologi fungsionalis, John B. Watson memulai upayanya untuk
mengkaji perilaku, terlepas dari proses mental dan lain-lain. Watson percaya
bahwa, semua makhluk hidup menyesuaikan diri terhadap lingkungannya melalui
respons. Asumsi inilah yang menjadi landasan dasar dari teori belajar
behaviorisme selanjutnya.
Sebenarnya, sebelum Watson, Ivan Pavlov
(ahli psikologi dari Rusia) sudah memulai usaha untuk mengkaji perilaku,
walaupun tidak secara eksplisit. Teori Pavlov dikenal dengan nama Classical Conditioning. Classical Conditioning kemudian
digunakan oleh Watson dalam kajiannya terhadap perilaku bayi manusia. Tokoh
lain yang juga memulai kajian perilaku sebelum Watson adalah Thorndike, dengan
teorinya yang dikenal sebagai
teori Connectionism.
Pavlov meneliti proses anjing yang
menjadi berliur ketika diiming-imingi daging. Dari hasil penelitiannya, Pavlov
membuktikan bahwa perilaku atau respons dapat dimanipulasi melalui variasi
stimulus atau rangsangan. Sementara itu, Thorndike meneliti perilaku "trial and error" atau
coba-coba. Menurut Thorndike, respons akan diberikan berdasarkan asas coba-coba
sebagai reaksi terhadap stimulus yang muncul. Oleh karena itu, Thorndike
percaya adanya "reward and
punishment" (penghargaan dan hukuman) serta "successes and failures" (keberhasilan dan kegagalan).
Berdasarkan semua itu, Watson menyimpulkan bahwa teori perilaku memberikan
mekanisme yang menjadi landasan dasar terjadinya berbagai dalam kehidupan.
Pentingnya teori perilaku ini tidak hanya dinyatakan oleh Watson, tetapi juga
dibuktikan oleh Skinner melalui teori Operant
Conditioning, dan para ahli teori perilaku lainnya beberapa puluh tahun
kemudian.
Aliran perilaku tentang belajar kemudian
menjadi sangat populer di awal abad ke-20, karena dianggap sederhana dan
terpercaya (selalu dapat diuji ulang). Melalui serangkaian penelitian, para
ahli yang menganut aliran perilaku menghasilkan sejumlah teori belajar
behavioristik. Setiap teori belajar behavioristik mempunyai kekhususan
masing-masing, yang sesungguhnya saling melengkapi satu sama lain. Namun
demikian, secara umum, semua teori-teori tersebut memiliki premis dasar yang
sama. Teori belajar behavioristik mendefinisikan bahwa belajar merupakan
perubahan perilaku, khususnya perubahan kapasitas siswa untuk berperilaku (yang
baru) sebagai hasil belajar, bukan sebagai hasil proses pematangan (atau
pendewasaan) semata. Menurut teori belajar behavioristik, perubahan perilaku
manusia sangat dipengaruhi oleh lingkungan yang akan memberikan beragam
pengalaman kepada seseorang. Lingkungan merupakan stimulus yang dapat
mempengaruhi dan atau mengubah kapasitas untuk merespons.
2.1.2 Premis
Dasar Teori Belajar Behavioristik
Menurut teori
belajar behavioristik, belajar merupakan perubahan tingkah laku hasil interaksi
antara stimulus dan respons, yaitu proses manusia untuk memberikan respons
tertentu berdasarkan stimulus yang datang dari luar.
Proses S-R ini terdiri dari beberapa
unsur, yaitu dorongan atau "drive",
stimulus atau rangsangan, respons, dan penguatan atau "reinforcement". Unsur dorongan diperlihatkan jika
seseorang merasakan adanya kebutuhan akan sesuatu dan terdorong untuk memenuhi
kebutuhan ini. Dalam upaya memenuhi kebutuhannya tersebut seseorang kemudian
berinteraksi dengan lingkungannya yang menyediakan beragam stimulus yang
menyebabkan timbulnya respons dari orang tersebut. Respons atau reaksi
diberikan terhadap stimulus yang diterima seseorang dengan jalan melakukan
suatu tindakan yang dapat terlihat. Unsur penguatan akan memberi tanda kepada
seseorang tentang kualitas respons yang diberikan, dan mendorong orang tersebut
untuk memberikan respons lagi.(respons yang sama ataupun respons yang berbeda).
Teori belajar behavioristik sangat
menekankan pada hasil belajar (outcome),
yaitu perubahan tingkah laku yang dapat dilihat, dan tidak begitu memperhatikan
apa yang terjadi di dalam otak manusia karena hal tersebut tidak dapat dilihat.
Seseorang dianggap telah belajar sesuatu apabila ia mampu menunjukkan perubahan
tingkah laku.
Namun demikian, tidak kalah penting
adalah masukan input yang berupa stimulus. Stimulus dapat dimanipulasi untuk
memperoleh hasil belajar yang diinginkan. Stimulus meliputi segala sesuatu yang
dapat dilihat, didengar, dicium, dirasakan, dan diraba oleh seseorang.
Untuk memperoleh hasil belajar yang
diinginkan, selain manipulasi stimulus, ada faktor penting lain yang sangat
berpengaruh, yaitu faktor penguatan "reinforcement"
yang mulai diperkenalkan oleh Pavlov maupun Thorndike. Penguatan adalah apa
saja yang dapat memperkuat timbulnya respons. Penguatan dapat ditambahkan dan
dikurangi untuk memperoleh respons yang semakin kuat ataupun semakin lemah.
2.1.3 Jenis-jenis Teori Belajar Behavioristik
1) Teori
Belajar Classical
Conditioning menurut Pavlov
Percobaan yang
dilakukan oleh Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936) merupakan upaya untuk meneliti
"conditioned reflexes" atau
reflex terkondisi. Dalam percobaan Pavlov, seekor anjing akan berliur jika
mencium bau daging. Bau, daging merupakan stimulus yang tak terkondisi,
sementara liur merupakan respons (refleks) yang juga tak terkondisi. Kemudian
daging. ditambah dengan cahaya lampu dan digunakan sebagai stimulus. Setelah
pengulangan heberapa kali, diperoleh hasil bahwa anjing sudah akan berliur
hanya oleh cahaya lampu, tanpa ada daging (proses asosiasi). Dengan demikian
cahaya lampu menjadi stimulus yang terkondisi, dan liur menjadi respons yang
terkondisi.
Teori Pavlov
didasarkan pada reaksi sistem tak terkondisi dalam diri seseorang, reaksi
emosional yang dikontrol oleh sistem urat syaraf otonom, serta gerak refleks setelah
menerima stimulus dari luar.
Ada tiga parameter yang diperkenalkan
Pavlov, melalui teori Classical
Conditioning, yaitu reinforcement,
extinction, and spontaneous recovery (penguatan, penglilangan, pengembalian
spontan). Menurut Pavlov, respons terkondisi yang paling sederhana diperoleh
melalui serangkaian penguatan - yaitu tindak lanjut atau penguatan yang terus
berulang dari suatu stimulus terkondisi yang diikuti stimulus tak terkondisi
dan respons tak terkondisi pada interval waktu tertentu. Dengan demikian,
pembentukan respons terkondisi pada umumnya bersifat bertahap (gradual). Makin
banyak stimulus terkondisi diberikan bersama-sama stimulus tak terkondisi,
makin mantaplah respons terkondisi yang terbentuk, sampai pada suatu ketika
respons terkondisi akan muncul walaupun tanpa ada stimulus tak terkondisi.
Jika penguatan dihentikan dan stimulus
terkondisi dimunculkan sendirian tanpa stimulus tak terkondisi, ada kemungkinan
frekuensi respons terkondisi akan kemudian menurun dan hilang sama sekali.
Proses ini disebut penghilangan atau "extinction".
Misalnya cahaya dan daging untuk membuat anjing berliur. Jika hanya cahaya yang
dimunculkan tanpa daging, lama kelamaan dapat terjadi anjing menjadi tidak
berliur lagi. Namun demikian, bukan tidak mungkin pada suatu waktu anjing akan
kembali berliur lagi (respons terkondisi muncul kembali "spontaneous recovery" walaupun hanya cahaya yang
dimunculkan (tanpa daging).
Di samping itu, dalam teori Classical Conditioning dikenal juga
perampatan stimulus, yaitu kecenderungan untuk memberikan respons terkondisi
terhadap stimulus yang serupa dengan stimulus terkondisi, meskipun stimulus
tersebut belum pernah diberikan bersama-sama dengan stimulus tak terkondisi.
Makin banyak persamaan stimulus baru dengan stimulus terkondisi yang pertama,
makin besar pula perampatan yang dapat terjadi.
Selain perampatan stimulus, teori Cassical Conditioning juga mengenal
konsep diskriminasi stimulus, yaitu suatu proses belajar untuk memberikan
respons terhadap suatu stimulus tertentu atau tidak memberikan respons sama
sekali terhadap stimulus yang lain. Hal ini dapat diperoleh dengan jalan
memberikan suatu stimulus tak terkondisi yang lain (Morgan, et.al., 1986)
sehingga seseorang akan melakukan "selective
association" atau asosiasi terseleksi terhadap stimulus untuk
memunculkan respons.
2) Connectionism
menurut
Thorndike
Dasar-dasar
teori Connectionism dari Edward L. Thorndike (1874-1949) diperoleh juga dari
sejumlah penelitian yang dilakukan terhadap perilaku binatang.
Penelitian-penelitian Thorndike pada dasarnya dirancang untuk mengetahui apakah
binatang mampu memecahkan masalah dengan menggunakan "reasoning" atau akal, dan atau dengan mengkombinasikan
beberapa proses berpikir dasar.
Dalam penelitiannya,
Thorndike menggunakan beberapa jenis binatang, yaitu anak ayam, anjing, ikan,
kucing, dan kera. Percobaan yang dilakukan mengharuskan binatang-binatang
tersebut keluar dari kandang untuk memperoleh makanan. Untuk keluar dari
kandang, binatang-binatang tersebut harus membuka pintu, menumpahkan beban, dan
mekanisme lolos lainnya yang sengaja dirancang. Pada saat dikurung,
binatang-binatang tersebut menunjukkan sikap mencakar, menggigit, menggapai,
dan bahkan memegang/mengais dinding kandang. Cepat atau lambat, setiap binatang
akan membuka pintu atau menumpahkan beban untuk dapat keluar dari kandang dan
memperoleh makanan. Pengurungan yang dilakukan berulang-ulang menunjukkan
penurunan frekuensi binatang tersebut untuk melakukan pencakaran, penggigitan,
penggapaian, atau pengaisan dinding kandang, dan tentu saja waktu yang
dibutuhkan untuk keluar kandang cenderung menjadi lebih singkat.
Dari hasil
penelitiannya, Thorndike menyimpulkan bahwa respons untuk keluar kandang secara
bertahap diasosiasikan dengan suatu situasi yang menampilkan stimulus dalam
suatu proses coba-coba "trial and
error". Respons yang benar secara bertahap diperkuat melalui
serangkaian proses coba-coba, sementara respons yang tidak benar melemah atau
menghilang. Teori Connectionism
Thorndike ini juga dikenal dengan nama "Instrumental
Conditioning", karena respons tertentu akan dipilih sebagai instrumen
dalam memperoleh "reward' atau
hasil yang memuaskan.
Thorndike mengemukakan tiga dalil tentang belajar, yaitu "law of effect" (dalil sebab akibat), "law of exercise" (dalil latihan/pembiasaan), dan "law of readiness" (dalil kesiapan).
Thorndike mengemukakan tiga dalil tentang belajar, yaitu "law of effect" (dalil sebab akibat), "law of exercise" (dalil latihan/pembiasaan), dan "law of readiness" (dalil kesiapan).
a)
Law of readiness (dalil kesiapan)
Dalil kesiapan menyatakan
kondisi¬kondisi yang dianggap mendukung dan tidak mendukung pemunculan respons.
Jika siswa sudah siap (sudah belajar sebelumnya) maka ia akan siap untuk
memunculkan suatu respons atas dasar stirnulus/kebutuhan yang diberikan. Hal ini merupakan kondisi
yang menyenangkan bagi siswa dan akan menyempurnakan pemunculan respons.
Sebaliknya, jika siswa tidak siap untuk memunculkan respons atas stimulus yang
diberikan atau siswa merasa terpaksa memberi respons maka siswa mengalami
kondisi yang tidak menyenangkan yang dapat memperlemah pemunculan respons.
b)
Law of exercise (dalil latihan/pembiasaan)
Dalil latihan/pembiasaan menyatakan
bahwa latihan
akan menyernpurnakan respons. Pengulangan situasi atau pengalaman akan
meningkatkan kemungkinan munculnya respons yang benar. Walaupun demikian,
pengulangan situasi yang tidak menyenangkan tidak akan membantu proses belajar.
c)
Law of effect (dalil sebab akibat)
Dalil sebab akibat menyatakan bahwa
situasi atau hasil yang menyenangkan yang diperoleh dari suatu respons akan
memperkuat hubungan antara stimulus dan respons atau perilaku yang dimunculkan.
Sementara itu, situasi atau hasil yang tidak menyenangkan akan memperlemah
hubungan tersebut.
Dari sekian banyak penelitian yang
dilakukannya, Thorndike lalu menyimpulkan tentang pengaruh proses belajar
tertentu terhadap proses belajar berikutnya, yang dikenal dengan proses "transfer of learning" atau
perampatan proses belajar. Thorndike mengemukakan bahwa latihan yang dilakukan
dan proses belajar yang terjadi dalam mempelajari suatu konsep akan membantu
penguasaan atau proses belajar seseorang terhadap konsep lain yang sejenis atau
mirip (associative shifting). Teori Connectionism dari Thorndike ini dikenal
sebagai teori belajar yang pertama.
3) Behaviorism
menurut
Watson
Walaupun
John B. Watson (I878-1958) bukanlah ahli pertama yang melakukan kajian terhadap
perilaku manusia dalam proses belajar, namun Watson lah yang melakukan
penyimpulan atas teori Classical
Conditioning dari Pavlov dan teori Connectionism
dari Thorndike. Teori Behaviorism atau teori perilaku dari Watson sangat dipengaruhi
oleh teori Pavlov maupun Thorndike yang menjadi landasan utamanya.
Menurut Watson,
stimulus dan respons yang menjadi konsep dasar dalam teori perilaku pada
umumnya, haruslah berbentuk tingkah laku yang dapat diamati (observable). Dengan demikian, Watson
mengabaikan berbagai perubahan mental yang mungkin terjadi dalam belajar,
karena dianggap terlalu kompleks untuk diketahui. Watson menyatakan bahwa
"semua perubahan mental yang terjadi dalam benak siswa adalah penting,
namun hal itu tidak dapat menjelaskan apakah perubahan tersebut terjadi karena
proses belajar atau proses pematangan semata". Hanya dengan tingkah laku
yang dapat diamati (observable) maka
perubahan yang akan terjadi pada seseorang sebagai hasil proses belajar dapat
diramalkan.
Interaksi antara
stimulus dan respons terhadap berbagai situasi
(proses pengkondisian) menurut Watson merupakan proses pengembangan
kepribadian seseorang. Pernyataan Watson tersebut dilandaskan kepada penelitian
yang dilakukannya terhadap sejumlah bayi. Watson mengemukakan bahwa pada
dasarnya bayi yang baru dilahirkan hanya memiliki tiga jenis respons emosional,
yaitu takut, marah, dan sayang. Kehidupan emosi manusia dewasa yang sangat
kompleks, menurut Watson merupakan "hasil pengkondisian dari tiga jenis
respons emosional dasar tersebut terhadap situasi yang bervariasi".
Walaupun cukup kompleks, namun hasil proses pengkondisian tersebut tetap dapat
diukur sehingga, sekali lagi hasil proses belajar dapat diramalkan. Dalam hal
interaksi antara stimulus dan respons, Watson menggunakan teori Classical Conditioning Pavlov yang
dilengkapi dengan komponen penguatan dari Thorndike. Namun dalam hal perampatan
hasil proses pengkondisian tiga emosi dasar bayi terhadap orang dewasa, Watson
lebih menggunakan tiga dalil belajar dan konsep perampatan hasil belajar dari
Thorndike.
Penerapan
Teori Belajar Pavlov, Thorndike, Dan Watson Dalam Proses Pembelajaran
Teori Belajar Classical Conditioning dari Pavlov, Connectionism dari Thorndike, dan Behaviorism dari Watson merupakan teori-teori dasar dari aliran perilaku dengan premis dasar yang relatif sama. Teori-teori ini di kemudian hari dikembangkan dan atau dimodifikasi oleh berbagai ahli menjadi beragam teori-teori baru dalam aliran perilaku, yang kemudian disebut aliran perilaku baru yakni neo-behaviorism.
Teori Belajar Classical Conditioning dari Pavlov, Connectionism dari Thorndike, dan Behaviorism dari Watson merupakan teori-teori dasar dari aliran perilaku dengan premis dasar yang relatif sama. Teori-teori ini di kemudian hari dikembangkan dan atau dimodifikasi oleh berbagai ahli menjadi beragam teori-teori baru dalam aliran perilaku, yang kemudian disebut aliran perilaku baru yakni neo-behaviorism.
Konsep stimulus (Pavlov, Thorndike,
Watson) diterapkan dalam proses pembelajaran dalam bentuk penjelasan tentang
tujuan, ruang lingkup. dan relevansi pembelajaran, dan dalam bentuk penyajian
materi. Sementara itu, konsep respons (Pavlov, Thorndike, Watson) diterapkan
dalam bentuk jawaban siswa terhadap soal-soal tes dan atau ujian setelah materi
disajikan, atau hasil karya siswa setelah prosedur pembuatan karya disampaikan.
Proses pengkondisian atau interaksi antara stimulus dan respons (Pavlov)
diterapkan dalam bentuk pemunculan stimulus yang bervariasi, baik stimulus
tunggal, ganda, maupun kombinasi stimulus (perampatan dan atau diskriminasi
stimulus - Pavlov). Misalnya, penyajian materi melalui uraian (ceramah) dan
contoh, diskusi, penemuan kembali, kerja laboratorium, permainan dengan
menggunakan media tunggal maupun beragam media (papan tulis, OHT, video,
komputer, dan lain-lain). Hasil penelitian di dunia pembelajaran menyatakan
bahwa penggunaan media yang beragam (dua atau lebih) secara variatif
menghasilkan dampak positif yang lebih tinggi dalam proses pembelajaran
daripada media tunggal secara terus-menerus (Chisholm & Ely, 1976). Selain
itu, proses pengkondisian juga melibatkan konsep penguatan (Thorndike) yang
diterapkan dalam bentuk pujian dan atau hukuman guru terhadap siswa serta
penilaian guru terhadap hasil kerja siswa. Kreativitas guru dalam memanipulasi
(Watson) proses pengkondisian ini membantu siswa secara positif dalam proses
pembelajaran.
Dalam proses pengkondisian, berlaku tiga
dalil tentang belajar, yaitu dalil sebab akibat, dalil latihan/pembiasaan, dan
dalil kesiapan (Thorndike). Jika respons siswa terhadap stimulus yang diberikan
guru (materi, contoh, gambar, dan lain-lain) menghasilkan rasa yang
menyenangkan (dipuji, diminta membantu teman, nilai bagus, jawaban benar, dan
lain-lain) bagi siswa, maka siswa cenderung untuk mengulang melakukan hal yang
sama. Namun, jika respons siswa terhadap stimulus yang diberikan menghasilkan
rasa tidak senang bagi siswa (nilai jelek, dimarahi, ditertawakan, dan
lain-lain). maka siswa cenderung untuk tidak mengulang kelakuan yang sama. Di
samping itu, respons yang benar akan semakin banyak dimunculkan jika siswa
memperoleh latihan yang berulang-ulang (drill
& practice). Dengan demikian, dalam setiap proses pembelajaran, latihan
menjadi komponen utama yang harus dirancang dan dilaksanakan.
Penyajian materi saja (dengan contoh,
gambar, media, melalui beragam metode) sama sekali tidak menjamin pemunculan
respons yang diharapkan jika tidak ada komponen latihannya dalam suatu proses
pembelajaran. Hal ini tentunya mengingatkan kita bahwa latihan bagi siswa
menjadi penting nilainya dalam suatu proses pembelajaran. Dengan demikian, guru
tidak diharapkan terlalu banyak menggunakan waktu untuk berceramah menyajikan
materi, namun lebih baik banyak menggunakan waktunya untuk siswa berlatih.
Proses pembelajaran akan dapat berjalan dan respons yang benar akan dapat
diharapkan kemunculannya jika terjadi dalam situasi belajar yang menyenangkan
bagi siswa. Situasi belajar yang menyenangkan dalam hal ini diterjemahkan
sebagai situasi yang tidak menyakitkan siswa secara fisik maupun mental,
situasi di mana perhatian siswa terfokus pada pembelajaran yang akan
berlangsung dan situasi ketika siswa merasa siap untuk mengikuti pembelajaran.
Sebaliknya, proses pembelajaran tidak akan dapat berjalan dan respons yang
benar tidak akan dapat dimunculkan dalam situasi belajar yang tidak
menyenangkan siswa, misalnya pada saat perhatian siswa terbagi (tidak fokus),
dalam kelas yang panas, pada saat siswa baru saja sakit atau dimarahi orang
tuanya, atau pada saat siswa tidak merasa siap untuk belajar.
Proses pembelajaran juga akan berjalan
dengan baik jika ada dorongan atau kebutuhan yang jelas dari pihak guru maupun
siswa. Hal ini dioperasionalkan dalam bentuk tujuan instruksional atau tujuan
pembelajaran (umum maupun khusus), yang harus dapat diukur sehingga perubahan
perilaku siswa dapat jelas terlihat sebagai akibat dari proses pembelajaran
(Watson). Dalam perencanaan pembelajaran, guru menuliskan tujuan instruksional
atau tujuan pembelajaran yang umum maupun yang khusus. Agar dapat diukur dan
bersifat operasional, penulisan tujuan pembelajaran selalu menggunakan kata
kerja operasional yang dapat diukur. Hal ini merupakan bentuk penerapan konsep "observable behaviour"
(Watson). Respons yang diharapkan dimunculkan siswa sebagai hasil belajar
haruslah sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Dengan
demikian, jelaslah dapat terlihat apa saja yang akan dicapai dari suatu proses
pembelajaran, atau dengan kata lain, respons siswa sudah dapat diramalkan hanya
dengan membaca atau melihat tujuan pembelajaran yang ditetapkan. Perbedaan
antara hasil belajar yang dicapai siswa dengan tujuan yang telah ditetapkan
menunjukkan tingkat keberhasilan suatu proses pembelajaran.
Perkembangan
Teori Belajar Behavioristik
Teori Belajar Classical Conditioning dari Pavlov, Connectionism dari Thorndike, dan Behaviorism dari Watson merupakan
teori-teori dasar dari aliran, perilaku yang menjadi tonggak sejarah aliran
perilaku dalam teori belajar. Teori-teori ini kemudian dikembangkan dan atau
dimodifikasi oleh berbagai ahli menjadi beragam teori-teori baru dalam aliran
perilaku, yang kemudian disebut aliran perilaku baru Neo-Behaviorism. Tercatat ahli-ahli yang tergabung dalam aliran
perilaku baru antara lain, Clark Hull dengan teori Sistem Perilaku, Edwin
Guthrie dergan teori "Contiguity",
dan B.F. Skinner dengan teori "Operant
Conditioning". Pada dasarnya, sebagaimana teori-teori belajar dalam
aliran perilaku, teori-teori dari Hull, Guthrie, dan Skinner memiliki premis
dasar yang sama dengan teori-teori pendahulunya, yaitu sama-sana berlandaskan
pada interaksi antara stimulus dan respons. Namun demikian, teori-teori Hull,
Guthrie dan Skinner berbeda dengan teori-teori pendahulunya dalam hal
identifikasi terhadap faktor-faktor khusus yang dianggap berpengaruh terhadap
belajar. Teori-teori Hull, Guthrie, dan Skinner relatif banyak mempengaruhi
proses pembelajaran dalam dunia pendidikan sekarang ini karena kemutakhirannya.
4) Teori Systematic Behavior - Clark Hull
4) Teori Systematic Behavior - Clark Hull
Clark L. Hull
(1884-1952) sangat mengagumi Teori Refleks Terkondisi dari Pavlov. Berangkat
dari teori Pavlov, Hull kemudian menerbitkan makalah-makalah teoretis yang
memodifikasi teori Pavlov. Teori Hull dikenal sangat "behavioristic" dan mekanistik. Konsep utama dari teori
Hull adalah kebiasaan, yang disimpulkan dari berbagai penelitian tentang
kebiasaan dan respons terkondisi yang dilakukan Hull melalui percobaan terhadap
binatang. Perilaku yang kompleks menurut Hull, diasumsikan berasal dari hasil
belajar terhadap bentuk-bentuk perilaku yang sederhana. Dalam upaya mematangkan
teorinya, Hull juga menggunakan dalil sebab-akibat dari Thorndike lalu
menggabungkannya dengan hasil temuannya.
Pada dasarnya dalam
teorinya, Hull menyatakan bahwa interaksi antara stimulus dan respons tidaklah
sederhana sebagaimana adanya. Menurut Hull, ada proses lain dalam diri
seseorang (atau organisme) yang mempengaruhi interaksi antara stimulus dan
respons. Proses tersebut disebut oleh Hull sebagai variabel "intervening" (yang
berpengaruh).
Hull memberi contoh
rasa haus sebagai salah satu "intervening
variable". Menurut Hull, situasinya adalah binatang diberi makanan
yang asin, atau tidak diberi minum untuk sekian lama. Situasi ini merupakan "input variable". Rasa haus
timbul akibat dari situasi tersebut. Kemudian untuk mengatasi rasa haus,
binatang akan melakukan bermacam-macum aksi, seperti mengais, mencari-cari air,
dan lain-lain, bahkan binatang akan melakukan hal-hal lain apa saja untuk
memperoleh air (sebagai imbalan atas air yang diperolehnya).
Hull percaya bahwa
dalam asosiasi antara stimulus terhadap respons, ada faktor kebiasaan sebagai "intervening variable".
Intensitas kebiasaan tersebut menentukan intensitas asosiasi yang terjadi.
Proses belajar menurut Hull merupakan upaya menumbuhkan kebiasaan melalui
serangkaian percobaan. Untuk dapat memperoleh kebiasaan, diperlukan adanya
penguatan dalam proses percobaan. Namun, Hull juga menyatakah bahwa penguatan
bukan satu-satunya faktor yang menentukan dalam pengembangan kebiasaan, karena
pengembangan kebiasaan lebih utama dipengaruhi oleh banyaknya percobaan yang
dilakukan. Di samping itu, proses belajar juga dipengaruhi oleh berbagai faktor
lain (non-learning factors) yang
berinteraksi langsung terhadap reaksi potensial yang timbul.
Pada akhirnya, Hull mengembangkan
teorinya menjadi suatu teori yang sangat kuantitatif. Hull mencoba mengukur
intensitas respons dalam bentuk nilai kuantitatif, dan mencoba menentukan nilai
numerik yang tepat untuk membuat persamaan tentang hubungan antara "intervening variable"
terhadap variabel bebas maupun variabel terikat. Upaya kuantifikasi ini
dilakukan Hull dalam rangka memprediksi secara kuantitatif hasil-hasil dari
percobaan-percobaan terhadap perilaku. Dengan kata lain, respons dan atau
kebiasaan dapat diprediksi secara kuantitatif dan tepat melalui rumus-rumus
tentang interaksi berbagai faktor yang mempengaruhinya.
Walaupun banyak kritik terhadap teori Systematic Behavior dari Hull, namun tak
dapat disangkal bahwa teori Hull merupakan karya dan pencapaian terbesar pada
masanya. Teori Hull sangat lengkap, menyeluruh, dan detil sehingga dengan mudah
terlihat kelebihan dan kekurangannya. Teori Hull juga mempunyai banyak pengikut
- yang antara lain adalah murid-muridnya, yang telah mengembangkan teori Hull
sedemikian rupa sehingga menjadi karya yang paling berpengaruh dalam dunia
psikologi belajar sejak tahun 1940-an.
5) Teori
Contiguity - Edwin R. Guthrie
Teori Contiguity dari Edwin R. Guthrie (1886-1959) dikenal juga dengan
nama teori Contiguous Conditioning.
Teori ini berangkat dari dua teori dasar dalam aliran perilaku, yaitu teori
Thorndike dan teori Pavlov, namun juga sangat dipengaruhi oleh teori Watson.
Menurut Thorndike ada dua jenis proses
belajar, yaitu: 1) proses pemilihan respons (respons
selection) dan mengaitkannya dengan stimulus, sesuai dengan dalil sebab
akibat, dan 2) perampatan stimulus (associative
shifting) di mana respons terhadap stimulus yang satu akan dimunculkan
terhadap stimulus lain yang dipasangkan bersama. Bagi Thorndike prinsip utama
adalah proses pemilihan respons dan pengaitan dengan stimulus yang terjadi
dalam proses coba-coba, sedangkan proses perampatan merupakan prinsip tambahan
saja. Namun bagi Guthrie, proses perampatan stimulus justru menjadi titik fokus
utama dalam teorinya. Guthrie relatif tidak menerima dalil sebab akibat
sebagaimana pandangan Thorndike. Hal-hal tersebut yang menjadi perbedaan utama
antara teori Thorndike dan teori Guthrie.
Watson menggunakan percobaan-percobaan
Pavlov sebagai paradigma dalam proses belajar, dan mengadopsi refleks
terkondisi sebagai bagian dari pembiasaan. Guthrie, di sisi lain, memulai
asumsinya dengan prinsip pengkondisian (conditioning) atau perampatan stimulus (associative learning), namun
semata-mata bukan hanya dilandaskan pada prinsip percobaan pengkondisian dari
Pavlov.
Dalil Guthrie yang pertama tentang
proses belajar adalah kombinasi stimulus yang diikuti dengan suatu gerakan,
pada saat pengulangan berikutnya cenderung diikuti lagi oleh gerakan tersebut
Dalil yang kedua menyatakan bahwa pola stimulus mempunyai korelasi dan atau
keterkaitan yang tinggi dengan respons yang ditimbulkannya pertama kali.
Dalil-dalil tersebut menjadi landasan bagi prinsip kemutakhiran (recency principle), yang menyatakan
bahwa jika belajar terjadi dalam suatu proses coba-coba maka proses yang
terakhir terjadi yang akan muncul (terulang) lagi seandainya kombinasi stimulus
yang sama dihadirkan kembali.
Berdasarkan teori Contiguity dari
Guthrie, setiap individu mempunyai kapasitas belajar yang berbeda. Dari hasil
penelitiannya terhadap sejumlah binatang, Guthrie menyatakan bahwa tidak semua
binatang mempunyai tingkat sensitivitas yang sama terhadap satu stimulus, dan
tidak semua binatang memiliki indra yang sama untuk menerima informasi. Di
samping itu, menurut Guthrie, latihan akan mengakomodasikan ataupun
menghilangkan respons-respons tertentu sehingga atas kombinasi stimulus yang
muncul dapat dihasilkan suatu respons yang menyeluruh sebagaimana yang
diharapkan, yang dapat disebut sebagai suatu kinerja yang berhasil. Guthrie
percaya bahwa keterampilan mewakili sejumlah kebiasaan. Oleh karena itu belajar
dapat dicapai sebagai akumulasi dari pengulangan-pengulangan. Guthrie juga
menyatakan bahwa motivasi mempengaruhi belajar secara tidak langsung, yang
terlihat melalui penyebab atau alasan individu melakukan sesuatu (merespons). Reward atau penghargaan/pujian menurut
Guthrie merupakan prinsip yang sekunder. Penghargaan dapat berhasil dengan baik
jika binatang memang tidak dihadapkan pada sifuasi lain selain yang akan menghasilkan
respons yang benar. Penghargaan juga tidak memberi penguatan terhadap respons
yang benar, tetapi diakui bahwa penghargaan menghindari terjadinya pengurangan
respons yang benar. Sama dengan penguatan, hukuman juga berpengaruh terhadap
belajar, dan sangat ditentukan oleh alasan individu melakukan sesuatu. Secara
umum, Guthrie percaya bahwa alat prediksi yang paling baik terhadap belajar
adalah respons yang muncul terhadap stimulus dalam suatu proses yang terakhir
terjadi. Oeh karena itu proses belajar dapat dijelaskan melalui reaksi
terkondisi yang akan muncul berdasarkan pengalaman masa lalu, dan sesuai dengan
prinsip asosiasi.
Perampatan belajar dapat terjadi dalam
situasi yang baru karena adanya kesamaan elemen atau komponen antara situasi/stimulus
yang lama dengan situasi/stimulus yang baru. Penekanan Guthrie terhadap konsep
yang dikenal dengan nama "movement-produced
stimuli" atau stimulus yang menghasilkan gerakan terkondisi merupakan
modifikasi dari teori Thorndike. Namun demikian, menurut Guthrie, hasil belajar
yang diperoleh dipercaya bersifat permanen, sampai terjadi proses belajar yang
baru. Oleh karena itu, lupa dapat terjadi karena respons yang muncul dalam
proses beJajar yang baru menggantikan hasil belajar yang sebelumnya.Proses lupa
ini terjadi secara bertahap, sama seperti hasil belajar juga diperoleh secara
bertahap melalui serangkaian proses belajar yang berulang.
Satu hal yang
menjadi kritik terhadap teori Guthrie adalah bahwa Guthrie mencoba memberikan
jawaban yang relatif bersifat pasti terhadap segala permasalahan dalam belajar,
tanpa ada perubahan selama hampir lima puluh tahun. Dengan kata lain, teori
Guthrie lebih merupakan teori klasik yang tidak berkembang. Walaupun demikian,
harus diakui bahwa teori Guthrie memiliki kemampuan untuk menjelaskan beragam
fenomena belajar secara luas.
6) Teori
Operant Conditioning menurut Skiner
Asas operant
conditioning B.F Skinner dimulai dalam tahun 1930-an, yakni pada waktu
keluarnya teori-teori Stimulus-Respons (S-R). Skinner tidak sependapat dengan
teori reflek terkondisi dalam hubungan antara Stimulus-Respons dari Pavlov.
Skinner menyatakan bahwa teori Pavlov hanya berlaku bagi interaksi antara
stimulus dan respons yang sederhana saja. Padahal manusia dalam menjalankan
fungsinya memerlukan perilaku yang kompleks yang mempersyaratkan terjadinya
interaksi stimulus dan respons yang kompleks juga.
Pada dasarnya
setiap stimulus yang dimunculkan akan berinteraksi satu dengan yang lainnya,
dan interaksi ini yang akhirnya memengaruhi respons yang dihasilkan. Respons
yang dihasilkan juga memiliki berbagai konsekuensi (akibat) yang akhirnya akan
memengaruhi lagi perilaku individu. Oleh sebab itu, menurut Skinner kunci untuk
memahami perilaku individu terletak pada pemahaman terhadap hubungan antara
stimulus satu dengan stimulus lainnya, respons yang dimunculkan dan juga
berbagai konsekuensi yang diakibatkan oleh respons tersebut.
Sebagai penganut
aliran perilaku, Skinner setuju dengan pendapat Watson yang mengatakan bahwa
belajar merupakan proses perubahan tingkah laku. Ada enam asumsi dasar dari
teori Operant Conditioning, yaitu :
a.
hasil belajar merupakan
perilaku yang dapat diamati;
b.perubahan perilaku
sebagai hasil belajar secara fungsional berhubungan dengan perubahan situasi
dalam lingkungan atau suatu kondisi;
c. hubungan
antar perilaku dan lingkungan dapat ditentukan hanya jika elemen-elemen
perilaku dan kondisi percobaan diukur secara fisik dan diamati perubahannya
dalam situasi yang terkontrol ketat;
d.
data yang dihasilkan
oleh percobaan-percobaan terhadap perilaku merupakan satu-satunya data yang
dapat digunakan untuk mengkaji alasan munculnya suatu perilaku;
e. sumber
data yang paling tepat adalah perilaku dari masing-masing individu;
f. dinamika
interaksi antara individu dengan lingkungannya bersifat relatif sama untuk
semua makhluk hidup.
Keenam asumsi
dasar tersebut menjadi kesimpulan yang diambil Skinner atas hasil percobaan
yang dilakukannya.
Skinner
melakukan eksperimen terhadap tikus dan selanjutnya terhadap burung merpati
menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
a.
Law
of operant conditioning yaitu jika timbulnya
perilaku diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan
meningkat.
b.
Law
of operant extinction yaitu jika timbulnya
perilaku operant telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi
stimulus penguat, maka kekuatan perilaku akan menurun bahkan musnah.
Reber (Muhibin
Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang disebut operant adalah sejumah perilaku yang
membawa efek yang sama terhadap lingkungan. Jika dalam teori Thorndike dikenal
konsep reward maka dalam teori
Skinner digunakan istilah penguatan (reinforcement)
yang berarti segala konsekuensi yang mengikuti pemunculan suatu perilaku. Jadi,
respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus,
melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer.
Reinforcer itu sendiri pada dasarnya
merupakan stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons
tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti
dalam classical conditioning (Ahmad
Sudrajat, 2009).
Skinner
menganggap penghargaan (reward) dan (reinforcement) merupakan faktor penting
dalam belajar. Untuk dapat menjadi efektif, penguatan menurut Skinner harus
diberikan langsung setelah pemunculan respons yang diharapkan. Penguatan ini
ada yang disebut penguatan positif dan juga penguatan negatif. Penguatan
positif merupakan stimulus yang
memperkuat pemunculan respons yang benar sedangkan penguatan negatif
ialah setiap stimulus yang perlu dihilangkan untuk memantapkan respons yang
terjadi.
Disamping penguatan, ada hukuman yang menurut
Skinner melibatkan proses pengurangan atau penghilangan penguatan positif dan
atau menambah penguatan negatif. Skinner menekankan bahwa hukuman dapat
menghasilkan tiga dampak yang tidak diharapkan yaitu, hukuman yang bersifat
sementara dapat menghilangkan respons yang tak diinginkan, hukuman dapat
menimbulkan perasaan yang tidak mengenakan
seperti malu, rasa bersalah dan lain-lainnya, yang terakhir hukuman
dapat meningkatkan pemunculan perilaku yang dianggap mengurangi hadirnya
stimulus yang tidak menyenangkan. Misalnya, seorang anak yang berpura-pura
sakit karena tidak mau mengikuti tes mendadak. Jadi, secara umum hukuman tidak
menghasilkan perilaku yang positif. Oleh sebab itu, Skinner lebih menganjurkan
penggunaan penguatan daripada hukuman jika ingin memperoleh respons yang benar.
Teori Skinner
tidak hanya mencangkup penjelasan tentang proses belajar yang sederhana, namun
juga proses belajar kompleks yang dikenal dengan nama “shaping” (pembentukkan).
Proses “shaping” yang dilakukan secara bertahap akan menghasilkan penguasaan
terhadap perilaku yang kompleks melalui perancangan atau manipulasi stimulus
yang diskriminatif dan penguatan.
Teori Operant Conditioning dari Skinner
percaya bahwa setiap individu harus diidentifikasi karakteristik maupun
perilaku awalnya untuk proses shaping.
Skinner menyatakan bahwa perilaku dapat dibentuk (dan juga dihilangkan)
sehingga (hampir) semua orang yang memperoleh latihan yang layak akan dapat
memiliki perilaku tertentu yang diinginkan. Disamping itu, teori Skinner
percaya bahwa pengkondisian suatu respons sangat tergantung pada penguatan yang
dilakukan berulang-ulang secara berkesinambungan. Dengan demikian, latihan
termasuk komponen penguatan didalamnya menjadi sangat penting dalam proses
pengkondisian. Dalam hal motivasi, Skinner sangat percaya akan peran penguatan
yang memantapkan pemunculan suatu respons yang diharapkan dan juga peran
hukuman yang secara umum dapat menghilangkan pemunculan respons yang tidak
diharapkan. Terakhir, teori Operant
Conditioning dari Skinner sangat percaya akan proses perampatan hasil
belajar. Dengan menggunakan istilah induksi, Skinner menjelaskan bahwa
perampatan terjadi berlandaskan pada proses induksi terhadap stimulus yang
derajat kompleksitasnya dan karakteristiknya mempunyai kesamaan dengan stimulus
deskriminatif yang sudah dipelajari.
Berdasarkan hal tersebut, diperoleh
prinsip Belajar Skinner
adalah :
a.
Hasil belajar harus
segera diberitahukan kepada siswa jika salah dibetulkan dan jika benar diberi
penguat.
b.
Proses belajar harus
mengikuti irama dari yang belajar. Materi pelajaran digunakan sebagai sistem
modul.
c.
Dalam proses
pembelajaran lebih dipentingkan aktivitas sendiri, tidak digunakan hukuman.
Untuk itu lingkungan perlu dirubah untuk menghindari hukuman.
d.
Tingkah laku yang
diinginkan pendidik diberi hadiah dan sebaiknya hadiah diberikan dengan
digunakannya jadwal variable ratio
reinforce.
e.
Dalam pembelajaran
digunakan shapping.
Jadi, teori Operant Conditioning merupakan suatu
proses penguatan perilaku operant yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut
dapat diulang kembali atau menghilang sesuai keinginan sehingga dalam hal ini
kondisi akan diberikan sesudah terjadinya respons.
7) Penerapan
Teori Belajar Behavioristik dalam Pembelajaran
Aliran psikologi belajar yang memiliki pengaruh sangat besar terhadap arah
pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah
aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang
tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan
stimulus responnya, menempatkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif.
Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan
semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila
dikenai hukuman.
Istilah-istilah seperti hubungan stimulus respon, individu atau
siswa pasif, perilaku sebagai hasil yang tampak, pembentukan perilaku (shaping)
dengan penataan kondisi secara ketat, reinforcement
dan hukuman, ini semua merupakan unsur-unsur yang sangat penting dalam teori
behavioristik. Teori ini hingga sekarang masih dominan dalam praktek
pembelajaran di Indonesia. Hal ini tampak dengan jelas pada penyelenggaraan
pembelajaran dari tingkat yang paling dini, seperti kelompok bermain, Taman
Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, bahkan sampai Perguruan Tinggi,
pembentukan perilaku dengan cara drill (pembiasaan) disertai dengan reinforcement atau hukuman masih sering
dilakukan.
Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik
memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, dan tidak berubah.
Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan
pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang
belajar atau siswa. Fungsi mind atau
pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yang sudah ada melalui
proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang
dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik
struktur pengetahuan tersebut. Siswa diharapkan akan memiliki pemahaman yang
sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh
pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid (Degeng, 2006).
Demikian halnya dalam proses belajar mengajar, siswa dianggap
sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari
pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang
terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses
pembelajaran yang harus dicapai oleh para siswa. Begitu juga dalam proses
evaluasi belajar siswa diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati
sehingga hal-hal yang bersifat unobservable
kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran
dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi siswa untuk berkreasi,
bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem
pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus
dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya siswa
kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
Karena teori behavioristik memandang bahwa sebagai pengetahuan
telah terstruktur rapi dan teratur, maka siswa atau orang yang belajar harus
dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara
ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga
pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau
ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan
yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan
sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada
aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Siswa atau peserta didik
adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar
harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri siswa (Degeng, 2006).
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada
penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang
menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari
dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran
menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti
urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum
secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks
dan buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku
teks atau buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil
belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, keterampilan secara
terpisah, dan biasanya menggunakan paper
and pencil test. Evaluasi hasil
belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila siswa menjawab secara “benar”
sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa siswa telah
menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang
terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai
kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan siswa
secara individual.
2.2
Teori Belajar Kognitif
2.2.1
Tujuan Teori Belajar Kognitif
Tujuan teori
psikologi untuk membentuk hubungan yang teruji, yang teramalkan dari tingkah
laku orang-orang pada ruang kehidupan mereka secara spesifik sesuai dengan
situasi psikologisnya. Untuk dapat memahami atau memprediksi suatu perilaku,
kita harus memperhatikan orang tersebut dengan lingkungan psikologisnya sebagai
pola dari fakta dan fungsi-sungsi yang saling membutuhkan.
Teori
kognitif dikembangkan terutama untuk membantu guru memahami muridnya. Ternyata,
hal ini juga dapat membantu guru memahami dirinya sendiri dengan lebih baik.
Menurut teori kognitif, belajar diartikan sebagai proses interaksional
seseorang memperoleh pemahaman baru atau struktur kognitif dan mengubah hal-hal
yang lama. Agar belajar menjadi efektif, guru harus memperhatikan dirinya
sendiri dan orang lain. Jadi, psikologi kognitif dikembangkan dengan maksud
guru-guru mampu memahami muridnya secara lebih baik. Psikologi kognitif
mengembangkan sistem psikologi yang bermanfaat untuk berhubungan dengan
anak-anak dan pemuda pada saat belajar.
Teori
belajar kognitif dibentuk dengan tujuan mengkonstruksi prinsip-prinsip belajar
secara alamiah. Hasilnya berupa prosedur-prosedur yang dapat diterapkan pada
situasi kelas untuk mendapatkan hasil yang produktif. Teori belajar kognitif
menjelaskan bagaimana seseorang mencapai pemahaman atas dirinya dan
lingkungannya lalu menafsirkan bahwa diri dan lingkungan psikologinya merupakan
faktor-faktor yang kait mengait. Teori ini dikembangkan berdasarkan tujuan yang
melatarbelakangi perilaku, cita-cita, cara-cara, dan bagaimana seseorag
memahami diri dan lingkungannya dalam usaha untuk mencapai tujuan dirinya. Setiap
pengertian yang diperoleh dari memahami diri sendiri dan lingkungannya disebut
insight.
2.2.2
Apa yang dimaksud dengan Insight
(pemahaman dasar)
Menurut
teori ini insight adalah pemahaman dasar yang dapat diaplikasikan pada beberapa
situasi yang sama atau hampir sama. Insight adalah pemahaman seseorang terhadap
suatu situasi secara mendalam. pemahaman seseorang tidak sama dengan kesadaran
atau kemampuannya untuk menjelaskan pemahaman tersebut secara verbal. Jadi,
insight merupakan inti pemahaman. Seseorang dapat memperoleh insight walau
hanya dari mengalami satu kasus. Bagaimana pun yang paling bernilai adalah
insight yang berasal dari sejumlah kasus yang hampir bersamaan yang
digeneralisasikan menjadi sebuah pemahaman. Dengan kata lain, pada mulanya
pemahaman terhadap sesuatu terjadi dengan melihat hubungan antara bagian-bagian
yang terpisah, kemudian pada akhirnya timbul pemahaman tentang hubungan
antarkomponen yang dilihat.
Pemahaman
seseorang secara kolektif merupakan struktur kognitif dari aspek ruang
kehidupannya. Struktur kognitif itu sendiri adalah persepsi dari aspek
psikologis, fisik, dan kehidupan sosial seseorang. Bila dikaitkan dengan siswa
yang belajar maka struktur kognitif merupakan segala pengetahuan yang diperoleh
dari kegiatan belajar di masa lalu dan proses belajar pada dasarnya suatu upaya
untuk mengaitkan pengetahuan baru ke dalam struktur kognitif yang sudah
dimiliki siswa. Dari proses belajar ini diharapkan akan terbentuk struktur
kognitif yang baru yang lebih lengkap. Sehubungan dengan pandangan tersebut,
supaya belajar dapat lebih efektif, guru harus memperhatikannya secara lebih
baik. Pada saat guru merancang program pembelajaran, kondisi siswa harus
diperhatikan, begitu pula pada saat mengimplementasikan rancangan tersebut di
dalam kelas, kondisi nyata kelas perlu diperhatikan dan dipertimbangkan.
2.2.3
Perbedaan Teori Kognitif dengan Teori Conditioning Stimulus-Respons
Teori
belajar kognitif menentang aliran behaviorisme karena pandangan aliran
behaviorisme ini bersifat molekuler, memandang tingkah laku sebagai hasil dari
ikatan stimulus-respons saja sehingga tidak dapat menggambarkan proses mental
yang terjadi. Semua pendekatan dari teori belajar perilaku tampaknya kurang
mengindahkan proses-proses mental yang terjadi selama belajar seperti persepsi
siswa, pemahaman, dan kognisi dari hubungan esensial antara unsur-unsur yang
terjadi dalam belajar. Di lain pihak, teori kognitif menekankan pada apa yang
terjadi dalam diri individu itu sendiri dalam menganalisis stimulus sampai
dengan munculnya respons. Teori kognitif menggambarkan bagaimana seseorang
mencapai pemahaman atas dirinya sendiri serta lingkungan sekitarnya dalam satu
situasi dan bagaimana struktur kognitif terbentuk.
Perbedaan pandangan kedua teori ini
dapat dijelaskan sebagai berikut.
1)
Teori
Kognitif Menekankan pada Fungsi-fungsi Psikologis
Pada umumnya
teori behaviorisme cenderung menjelaskan karakter suatu aktivitas dari segi
fisiknya saja dan mengabaikan pengaruh psikologisnya. Segi psikologis artinya
adanya kecocokan atau sejiwa dengan logika/pengetahuannya, sedangkan ahli teori
kognitif memperhatikan dunia sekeliling dari sudut siswa. la memperhatikan
fungsi-fungsi psikologis (proses mental), hubungan dan kejadian yang saling
mempengaruhi yang berbeda dengan objek tisiknya. Selain itu psikologi kognitif
memperhatikari pula sistem saraf.
2)
Teori
Kognitif Berfokus pada Situasi Saat Ini
Teori
perilaku dan apersepsi menggunakan pendekatan sejarah, yaitu masa lalu orang
lain untuk mempelajari perilaku manusia dan motivasinya, kemudian memprediksi
masa depannya, sedangkan pendekatan yang digunakan psikologi kognitif adalah
situasi atau sejarah masa kini manusia untuk mempelajari keadaan individu pada
saat ini untuk kemudian memprediksi masa depannya. Ciri penting teori belajar
kognitif adalah selalu diawali dari suatu deskripsi mengenai situasi saat itu
secara keseluruhan dan berlanjut ke analisis rinci dari segala aspek situasi.
Ide yang harus dipertahankan adalah bahwa tidak ada dua konsep atau lebih yang
terpisah secara tersendiri tetapi segala hal selalu bergantung kepada sesuatu
hal yang lain. Kekinian bisa berarti saat ini. Ruang kehidupan adalah suatu
konsep yang berisi segala hal yang berkaitan dengan jiwa yang melingkupi jiwa
seseorang pada suatu waktu tertentu.
3)
Berinteraksinya
Orang dengan Lingkungan
Dalam
teori kognitif terjadi interaksi antara manusia dan lingkungannya secara
simultan dan saling membutuhkan. Masing – masing tidak terpisahkan, tetapi
saling berkaitan. Interaksi adalah proses kognitif dimana didalamnya seseorang
secara psikologi, dan simultan memahami lingkungannya dan menemukan beberapa
hal yang bermakna. Selanjutnya, orang tersebut akan menghubungkan pemahaman
yang diperolehnya dengan dirinya, berbuat sesuatu atas pemahamannya itu sesuai
dengan dirinya dan menyadari konsekuensi dari proses tersebut secara
keseluruhan.
Berdasarkan
berbagai pandangan di atas maka prinsip – prinsip dasar teori belajar kognitif
dapat dirumuskan sebagai berikut.
a)
Belajar merupakan peristiwa
mental yang berhubungan dengan berpikir, perhatian, persepsi, pemecahan
masalah, dan kesadaran.
b)
Sehubungan dengan
pembelajaran, teori belajar perilaku dan kognitif pada akhirnya sepakat bahwa
guru harus memperhatikan perilaku siswa yang tampak seperti penyelesaian tugas
rumah, hasil tes, di samping itu juga harus memperhatikan faktor manusia dan
lingkungan psikologisnya.
c)
Ahli kognitif percaya
bahwa kemampuan berpikir orang tidak sama dan tidak tetap dari waktu ke waktu.
Pendekatan
kognitif sudah sejak lama diterapkan dalam sistem pendidikan di Indonesia.
Selama perkembangannya ada empat model teori belajar kognitif yang paling
berpengaruh dalam dunia pendidikan dewasa ini, yaitu (1) model belajar penemuan
(Bruner), (2) model belajar bermakna (Ausubel), (3) model pemrosesan informasi
(Gagne), (4) model perkembangan intelektual (Jean Piaget). Tiap – tiap model
mempunyai dasar pemikiran dan pandangan yang berbeda mengenai hakikat belajar
dan bagaimana seharusnya pembelajaran dilaksanakan.
2.2.4 Model – Model Teori
Belajar Kognitif
1) Model Teori Belajar
Bruner dan Ausubel
a) Prinsip – Prinsip
Belajar Bruner
Jerome S. Bruner
adalah seorang ahli psikologi kognitif (1915-) yang memberi dorongan agar
pendidikan memberi perhatian pada pentingnya pengembangan berpikir.
Bruner
tidak mengembangkan teori belajar yang sistematis. Dasar pemikiran teorinya
memandang bahwa manusia adalah sebagai pemroses, pemikir, dan pencipta
informasi. Oleh karenanya, yang terpenting dalam belajar adalah cara – cara bagaimana
seseorang memilih, mempertahankan, dan metransformasikan informasi yang
diterimanya secara aktif. Sehubungan dengan itu Bruner sangat memberi perhatian
pada masalah apa yang dilakukan manusia dengan informasi yang diterima itu
untuk mencapai pemahaman dan membentuk kemampuan berpikir pada siswa.
Menurut
Bruner pada dasarnya belajar merupakan proses kognitif yang terjadi dalam diri
seseorang. Ada tiga proses kognitif yang terjadi dalam belajar, yaitu (1) proses perolehan informasi baru , (2) proses mentransformasikan informasi yang
diterima, (3) menguji relevansi dan
ketepatan pengetahuan. Perolehan
informasi baru dapat terjadi melalui kegiatan membaca, mendengarkan
penjelasan guru mengenai materi yang diajarkan atau mendengar/melihat audiovisual,
dan lain – lain. Informasi ini mungkin bersifat penghalusan dari informasi
sebelumnya yang telah dimiliki atau informasi itu bersifat berlawanan (berbeda)
dengan informasi yang sudah dimiliki. Sedangkan proses transformasi pengetahuan
merupakan suatu proses bagaimana kita memperlakukan pengetahuan yang sudah
diterima agar sesuai dengan kebutuhan. Informasi yang diterima dianalisis,
diproses, atau diubah menjadi konsep yang lebih abstrak agar suatu saat dapat
dimanfaatkan. Transformasi pengetahuan ini dapat terjadi dengan cara
ekstrapolasi, yaitu mengubah dalam bentuk lain yang diperlukan. Proses ini akan
lebih baik bila mendapat bimbingan dari guru. Tahap selanjutnya adalah menguji
relevansi dan ketepatan pengetahuan atau informasi yang telah diterima, agar
dapat bermanfaat untuk memecahkan masalah yang dihadapi siswa dalam kehidupan
sehari – hari.
Selanjutnya,
agar proses belajar berjalan lancar menurut Bruner di dalam bukunya Process of Education ada tiga faktor
yang sangat ditekankan dan harus menjadi perhatian para guru di dalam
menyelenggarakan pembelajaran, yaitu (a) pentingnya
memahami struktur mata pelajaran, (b) pentingnya
belajar aktif supaya seseorang dapat menemukan sendiri konsep – konsep sebagai
dasar untuk memahami dengan benar, dan (c) pentingnya nilai dari berpikir induktif. Berdasarkan pandangan
Bruner ini maka ada empat aspek utama yang harus menjadi perhatian dalam
pembelajaran, yaitu pentingnya struktur mata pelajaran, kesiapan, intuisi, dan
motivasi.
a)
Struktur Mata Pelajaran
Stuktur
mata pelajaran berisi ide – ide, konsep – konsep dasar, hubungan antarkonsep,
atau contoh – contoh dari bidang tersebut yang dianggap penting. Struktur
penting dari suatu ide dapat disajikan secara sederhana dalam bentuk diagram,
serangkaian prinsip atau formula. Bila siswa telah menguasai konsep – konsep
dasar maka ia akan dengan mudah menguasai mata pelajaran yang sejenis atau
hampir sama. Dengan struktur pengetahuan kita dapat menolong para siswa melihat
bagaimana fakta – fakta yang kelihatannya tidak ada hubungan, dapat dihubungkan
satu dengan yang lain, demikian pula informasi yang telah dimiliki sebelumnya
dapat dihubungkan dengan informasi yang baru. Karenanya, Bruner sangat
menekankan pentingnya memperhatikan struktur mata pelajaran dalam pembuatan
kurikulum dan menyajikan materi pelajaran. Menurut Bruner proses belajar akan
lebih bermakna, berguna dan mudah diingat oleh siswa bila difokuskan pada
memahami struktur mata pelajaran yang akan dipelajari.
b)
Kesiapan untuk Belajar
Dalam
belajar guru harus memperhatikan kesiapan siswa untuk mempelajari materi baru
atau yang bersifat lanjutan. Kesiapan belajar dapat terdiri atas penguasaan
keterampilan – keterampilan yang lebih sederhana yang telah dikuasai terlebih
dahulu dan yang memungkinkan seseorang untuk memahami dan mencapai keterampilan
yang lebih tinggi. Kesiapan belajar ini dipengaruhi oleh kematangan psikologi
dan pengalaman anak. Untuk mengetahui apakah siswa telah memiliki kesiapan
dalam mempelajari materi pelajaran tertentu maka perlu diberi tes mengenai
materi awal yang berhubungan dengan topik yang akan diajarkan. Bila siswa dapat
mengerjakan tes dengan baik, berarti ia telah siap. Bila tidak mampu
mengerjakan sekalipun ia telah bekerja keras ia dinyatakan belum siap. Untuk
menumbuhkan kesiapan anak, seorang guru harus memberikan pengalaman –
pengalaman tertentu yang berhubungan dengan pengetahuan atau keterampilan yang
harus dikuasai.
c)
Intuisi
Menurut
Bruner yang dimaksud dengan intuisi adalah teknik – teknik intelektual analitis
untuk mengetahui apakah formulasi – formulasi itu merupakan kesimpulan yang
sahih atau tidak.
d)
Motivasi
Motivasi
merupakan kondisi khusus yang dapat mempengaruhi individu untuk belajar.
Motivasi merupakan variabel penting, khususnya selama proses pembelajaran yang
dapat membantu mendorong kemauan belajar siswa. Karenanya, Bruner percaya bahwa
hampir semua anak mempunyai masa – masa pertumbuhan akan “keinginan untuk
belajar”. Reinforcement dan reward dari dalam mungkin penting untuk
meningkatkan perbuatan tertentu atau untuk membuat mereka yakin hingga mau
mengulangi apa yang sudah dipelajari. Bruner menekankan pentingnya motivasi
intrinsik dibandingkan dengan motivasi eksternal. Contoh motivasi intrinsik
adalah rasa ingin tahu anak. Bahwa dunia ini akan dapat dikenal dan dikuasai
anak dengan menggunakan kesadaran “ingin tahu”. Motivasi lain yang dapat
membawa kita pada dunia ini adalah dengan memiliki berbagai kompetensi. Anak –
anak menjadi tertarik untuk mempelajari hal – hal yang mereka anggap biasa dan
telah dikuasai. Satu hal yang tidak
mungkin adalah memotivasi anak agar menguasai sesuatu yang mereka tidak biasa
dan tidak dikuasai.
2)
Model
Pengembangan Kurikulum
Pandangan
Bruner tentang pentingnya pengembangan berpikir dalam proses pendidikan telah
menghasilkan rekomendasi perlunya rancangan kembali kurikulum untuk
mengembangkan keterampilan berpikir (Bell Gedler; 1986 hal, 65). Bruner
mengemukakan perlu adanya teori pembelajaran yang akan menjelaskan asas – asas
untuk merancang pembelajaran yang efektif di kelas dalam rangka mengembangkan
keterampilan berpikir. Seperti halnya John Dewey, Bruner menggambarkan orang
yang berpengetahuan sebagai orang yang terampil dalam memecahkan masalah.
Artinya, ia dapat berinteraksi dengan lingkungan dalam mengkaji hipotesis dan
menarik generalisasi. Model penyajian pelajaran atau kurikulum yang baik harus
dirancang ke arah penguasaan keterampilan yang lebih kuat (Bruner 1964, dalam
Margaret B. Gedler; 1986, hal 63 – 73). Konsep – konsep yang ada dalam mata
pelajaran harus didefinisikan terlebih dahulu dan digunakan sebagai dasar
pengembangan kurikulum. Dengan cara ini, menurut Bruner memungkinkan orang
untuk mengajarkan mata pelajaran apa pun secara efektif kepada siapa pun pada
tahap perkembangan apa pun. Perancangan kurikulum yang seperti ini disebut
kurikulum spiral.
Kurikulum yang
dikembangkan dengan model ini diarahkan pada upaya mendidik siswa untuk
memiliki kemampuan menyelidiki (inkuiri) dan menemukan (diskoveri). Agar
pembelajaran dapat mengembangkan keterampilan intelektual anak maka materi
pelajaran perlu disajikan dengan memperhatikan tahap perkembangan kognitif anak
yang meliputi tahap enaktif, ikonik, dan simbolik. Selanjutnya, ketiga tahap
perkembangan kognitif ini oleh Bruner disebut sebagai model dalam menyajikan
pelajaran. Ketiga model penyajian ini digambarkan sebagai berikut.
a)
Penyajian
Enaktif
Penyajian
enaktif adalah penyajian yang dilakukan melalui tindakan, memiliki karakter
manipulasi yang tinggi. Penyajian seperti ini sangat diperlukan oleh anak –
anak yang mulai dapat memahami beberapa aspek realita/kejadian tanpa
menggunakan imajinasinya atau kata – kata. Ia kan dapat memahami sesuatu dari
berbuat atau melakukan sesuatu. Contohnya, seorang anak yang mengatur
keseimbangan timbangan dengan jalan menyesuaikan kedudukan badannya walaupun
anak itu mungkin tidak dapat menjelaskan prosedurnya.
b) Penyajian Ikonik
Penyajian ikonik
dilakukan melalui serangkaian gambar – gambar atau grafik yang menggambarkan
suatu konsep tetapi tidak mendefinisikannya. Penyajian ini bergantung kepada
visual organisasi sensorik anak. Bila mendekati masa remaja, bahasa menjadi
lebih penting sebagai suatu media berpikir. Kemudian, pada masa transisi
penyajian ikonik yang didasarkan pada pengindraan dilanjutkan dengan penyajian
simbolik yang didasarkan pada sistem
berpikir abstrak.
c)
Penyajian
Simbolik
Bahasa adalah dasar
penyajian simbolik. Penyajian simbolik ini dibuktikan oleh kemampuan seseorang
untuk memikirkan proposisi dibandingkan objek, memberikan struktur hierarkis
pada konsep – konsep dan untuk memikirkan alternatif yang mungkin dalam suatu
cara kombinatunal. Pada tahap ini anak mungkin dapat menerangkan cara
bekerjanya neraca atau timbangan.
Salah satu penyebab
kegagalan guru dalam menyajikan materi pelajaran adalah karena guru tidak
berusaha untuk memahami siswa dengan baik, atau model penyajian guru tidak
sesuai dengan tingkat pengalaman dan pengetahuan anak. Akibatnya, anak tidak
dapat menangkap pesan pembelajaran yang ingin disampaikan guru.
3)
Pendekatan Model
Belajar Bruner
Pendekatan model belajar Bruner ini didasarkan pada dua
asumsi.
Asumsi pertama
adalah bahwa perolehan pengetahuan merupakan suatu proses interaktif. Artinya
pengetahuan akan diperoleh orang yang belajar (pebelajar) bila di dalam
pembelajaran yang bersangkutan berinteraksi secara aktif dengan lingkungannya.
Orang yang belajar berinteraksi dengan lingkungannya secara aktif, perubahan
tidak hanya terjadi di lingkungan tetapi juga dalam diri orang itu sendiri.
Asumsi kedua adalah bahwa orang mengkontruksi
pengetahuannya dengan menghubungkan informasi yang masuk dengan informasi yang
disimpan yang diperoleh sebelumnya. Dalam belajar hal-hal yang mempunyai
kemiripan dihubungkan menjadi suatu struktur yang memiliki arti. Setiap model seseorang
khas bagi dirinya. Dengan menghadapi berbagai aspek dari lingkungan kita, kita
akan membentuk suatu struktur atau model yang mengizinkan kita untuk
mengelompokkan hal-hal tertentu atau membangun suatu hubungan antara hal-hal
yang diketahui.
4)
Belajar Penemuan dari Bruner, Manfaat dan Contoh
Penerapannya dalam Pembelajaran
Salah
satu model kognitif yang sangat berpengaruh adalah model dari Jerome
Bruner (1966) yang dikenal dengan nama belajar penemuan (discovery learning).
Bruner menganggap bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan
secara aktif oleh manusia dan dengan sendirinya memberikan hasil yang paling
baik. Bruner menyarankan agar siswa hendaknya belajar melalui berpartisipasi
aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip agar mereka dianjurkan untuk
memperoleh pengalaman dan melakukan eksperimen-eksperimen yang mengizinkan
mereka untuk menemukan konsep dan prinsip itu sendiri.
Bruner yakin bahwa belajar penemuan
adalah proses belajar dimana guru harus menciptakan situasi belajar yang
problematis, menstimulus siswa dengan pertanyaan-pertanyaan, mendorong siswa
mencari jawaban sendiri dan melakukan eksperimen. Bentuk lain dari belajar
penenmuan adalah guru menyajikan contoh-contoh dan siswa bekerja dengan contoh
tersebut sampai dapat menemukan sendiri hubungan antar konsep.
Saat ini model belajar penemuan
menduduki peringkat atas dalam dunia pendidikan modern. Salah satu yang banyak
diterapkan dalam pembelajaran di Indonesia adalah konsep belajar siswa aktif
atau cara belajar siswa aktif (CBSA). Dalam menerapkan model belajar penemuan
ini, guru dianjurkan untuk tidak memberikan materi secara utuh. Siswa cukup
diberikan konsep utama, untuk selanjutnya siswa dibimbing agar dapat menemukan
sendiri sampai akhirnya dapat mengorganisasikan konsep tersebut secara utuh.
Manfaat Belajar Penemuan
a. Belajar
penemuan dapat digunakan untuk menguji apakah belajar sudah bermakna.
b. Pengetahuan
yang diperoleh siswa akan tersimpan lama dan mudah diingat.
c. Belajar
penemuan sangat diperlukan dalam pemecahan masalah sebab yang diinginkan adalah
agar siswa dapat mendemontrasikan pengetahuan yang diterimanya.
d. Transfer
dapat ditingkatkan setelah generalisasi ditemukan sendiri oleh siswa.
e. Penggunaan
belajar penemuan mungkin mempunyai pengaruh dalam menciptakan motivasi belajar.
f. Belajar
penemuan meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan untuk berpikir secara
bebas.
Tahap-tahap Penerapan Belajar Penemuan
a. Stimulus
(pemberian perangsang/stimuli); kegiatan belajar dimulai dengan memberikan
pertanyaan yang merangsang berpikir siswa, menganjurkan dan mendorongnya untuk
membaca buku dan aktivitas belajar lain yang mengarah pada persiapan pemecahan
masalah.
b. Problem
statement (mengidentifikasi masalah); memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengidentifikasi sebanyak mungkin masalah yang relevan dengan bahan pelajaran,
kemudian memilih dan merumuskannya dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara
dari masalah tersebut).
c. Data
collection (pengumpulan data); memberikan kesempatan kepada siswa mengumpulkan
informasi yang relevan sebanyak-banyaknya untuk membuktikan benar tidaknya
hipotesis tersebut.
d. Data
processing (pengolahan data); mengolah data yang telah diperoleh siswa melalui
kegiatan wawancara , observasi dan lain-lain. Data tersebut kemudian
ditafsirkan.
e. Verifikasi;
mengadakan pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan benar tidaknya hipotesis
yang ditetapkan dan dihubungkan dengan hasil pengolahan data.
f. Generalisasi;
mengadakan penarikan kesimpulan untuk dijadikan prinsip umum yang berlaku untuk
semua kejadian atau masalah yang sama dengan memperhatikan hasil verifikasi
(Muhibbin Syah 1995, hal 245).
Penerapan Teori Belajar Bruner dalam Pembelajaran
a. Sajikan
contoh dan noncontoh konsep-konsep yang akan diajarkan , misalnya pembelajaran
mamalia.
Contoh
:
1) Contohnya:
manusia, ikan paus, kucing atau lumba-lumba
2) Noncontohnya:
ayam, ikan, katak atau buaya
b. Bantu
siswa untuk melihat adanya hubungan antar konsep-konsep.
Contoh
:
Beri
pertanyaan kepada siswa seperti berikut ini “apakah ada sebutan lain dari kata
“rumah”? (tempat tinggal), “dimanfaatkan untuk apa rumah”? (untuk istirahat,
berkumpulnya keluarga, dan lain-lain).
c. Beri
satu pertanyaan dan biarkan siswa untuk mencari jawabannya.
Contoh:
1) Bagaimana
terjadinya embun?
2) Apakah
ada hubungan antara kabupaten dan kotamadya?
d. Ajak
dan beri semangat siswa untuk memberikan pendapat berdasarkan intuisinya.
Contoh
:
1) Beri
siswa peta Yunani kuno dan tanyakan dimana letak kota-kota utama di Yunani.
2) Jangan
berkomentar dulu atas jawabna siswa, gunakan pertanyaan yang memandu siswa
untuk mengarahkan meraka kepada jawaban yang sebenarnya dan lain-lain (Anita W
1995)
5) Belajar Bermakna dari Ausubel
David Ausubel banyak mencurahkan perhatiannya pada pentingnya
mengembangkan potensi kognitif siswa melalui proses belajar bermakna
(meaningful learning) dan belajar verbal yang dikenal dengan expository
learning. Pandangan Ausubel tentang belajar ini sangat bertentangan dengan ahli
psikologi kognitif lainnya, yaitu Bruner dan Piaget. Menurut Ausubel, pada
dasarnya orang memperoleh pengetahuan melalui penerimaan, bukan melalui
penemuan. Konsep-konsep, prinsip, dan ide-ide yang disajikan pada siswa akan
diterima oleh siswa. Dapat juga konsep ini ditemukan sendiri oleh siswa.
(Gagne/Berliner, 322). Suatu konsep mempunyai arti bila sama dengan ide yang
telah dimiliki, yang ada dalam struktur kognitifnya. Agar konsep¬konsep yang
diajarkan berarti, harus ada sesuatu di dalam kesadaran siswa yang bisa
disamakan. Sesuatu itu adalah "struktur kognitif'. Belajar bermakna adalah
belajar yang disertai dengan pengertian. Belajar bermakna akan terjadi apabila
informasi yang baru diterima siswa mempunyai kaitan erat dengan konsep yang
sudah ada/diterima sebelumnya dan tersimpan wan, struktur kognitifnya.
Informasi baru ini juga dapat diterima atau pelajari siswa tanpa
menghubungkannya dengan konsep atau pengetahuan yang sudah ada. Cara belajar
seperti ini disebut belajar menghapal.
6) Klasifikasi Belajar Ausubel dan
Cara Pengajarannya
Ausubel mengklasifikasikan makna belajar ke dalam dua dimensi seperti
tampak pada gambar berikut. Dimensi pertama berhubungan dengan cara bagaimana
informasi atau materi pelajaran disajikan kepada siswa, apakah `melalui
penerimaan atau melalui penemuan. Belajar menurut dimensi ini `diperoleh
melalui pemberian informasi dengan cara dikomunikasikan kepada siswa. dalam
bentuk belajar penerimaan dan menyajikan informasi itu dalam bentuk final,
ataupun dalam bentuk belajar penemuan yang mengharuskan siswa untuk menemukan
sendiri keseluruhan informasi yang harus diterimanya. Cara kedua berhubungan
dengan bagaimana siswa dapat mengaitkan informasi yang diterima dengan struktur
kognitif yang sudah dimilikinya. Dalam hal ini siswa menghubungkan atau
mengaitkan informasi yang diterima dengan pengetahuan yang telah dimilikinya,
itulah yang dikatakan belajar bermakna. Siswa dapat juga mencoba-coba menghapal
informasi baru tanpa menghubungkan dengan konsep yang telah ada dalam struktur
kognitifnya. Itu disebut belajar menghapal.
Kedua dimensi itu tidak menunjukkan dikotomi yang sederhana,
tetapi lebih merupakan suatu kontinum, sebagai tampak dalam gambar berikut.
Menurutnya, belajar penerimaan tidak sama dengan belajar hapalan. Belajar
penerimaan dapat dibuat bermakna, yaitu dengan cara menjelaskan hubungan antara
konsep-konsep.
7)
Struktur Kognitif
Struktur kognitif didefinisikan sebagai struktur organisasional
yang ada dalam ingatan seseorang yang mengintegrasikan unsur-unsur pengetahuan
yang terpisah ke dalam suatu unit konseptual. Struktur kognitif berisi
konsep-konsep yang telah tersusun secara hierarki dan tetap berada dalam
kesadaran siswa. Konsep yang paling inklusif terletak di atas lalu
berangsur-angsur pada konsep yang spesifik sampai pada yang terakhir.
Sehubungan dengan itu agar bahan pelajaran mudah dipelajari, Ausubel (1963)
berpendapat bahwa pengetahuan diorganisasikan dalam ingatan seseorang secara
hierarki. Oleh karena itu, ia menyarankan supaya materi pelajaran disusun
secara berurutan dari atas ke bawah, dari yang paling inklusif/umum/abstrak
hingga yang paling spesifik (terinci); pembelajaran harus berjalan dari yang
paling umum dan inklusif hingga rinci, disertai contoh yang khas. Dengan
pandangannya itu, Ausubel menolak pendapat yang mengatakan bahwa belajar verbal
akan mendorong siswa untuk cenderung menghapal (bersifat verbalisme) atau
mengulang-ulang hapalan secara rutin. Untuk itu ada beberapa syarat yang harus
dipenuhi agar belajar menjadibermakna. geberapa syarat/strategi tersebut di
antaranya adalah dengan melakukan advance organizer; progressive
differentiation, integrative reconciliation, dan consolidation.
Pengaturan awal (advance organizer). Pengaturan awal ini berisi
konsep-konsep atau ide-ide yang diberikan kepada siswa jauh sebelum materi
pelajaran yang sesungguhnya diberikan. Berdasarkan suatu penelitian, pengaturan
awal dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap berbagai macam materi
pelajaran. Pengaturan awal sangat berguna dalam mengajarkan materi pelajaran
yang sudah mempunyai struktur yang teratur. Ada tiga hal yang dapat dicapai
dengan ' menggunakan pengaturan awal, yaitu (1) pengaturan awal memberikan
kerangka konseptual untuk belajar yang bakal terjadi berikutnya; (2) dapat
menjadi penghubung antara informasi yang sudah dimiliki siswa saat ini dengan
informasi baru yang akan diterima/dipelajari; (3) berfungsi sebagai jembatan
penghubung sehingga memperlancar proses pengkodean pada siswa.
Pengaturan awal itu bermacam-macam bentuknya tetapi fungsinya dalam sama, yaitu meningkatkan kemampuan siswa untuk mengorganisasikan materi, belajar, dan mengingat. Kebanyakan advance organizer berisi materi lama yang sudah dikenal, baik oleh siswa namun masih mempunyai hubungan dengan materi yang baru.
Pengaturan awal itu bermacam-macam bentuknya tetapi fungsinya dalam sama, yaitu meningkatkan kemampuan siswa untuk mengorganisasikan materi, belajar, dan mengingat. Kebanyakan advance organizer berisi materi lama yang sudah dikenal, baik oleh siswa namun masih mempunyai hubungan dengan materi yang baru.
Ada dua bentuk organizer, yaitu expository organizer menyajikan
gambar konsep yang relevan dan comparative organizer menyajikan persamaan dan
perbedaan antara dua materi dari struktur kognitif yang sudah dimiliki.
Progressive differentiation. Menurut Ausubel pengembangan konsep berlangsung paling baik bila dimulai dengan cara menjelaskan terlebih dahulu hal-hal yang umum terus sampai kepada hal-hal yang khusus dan rinci disertai dengan pemberian contoh-contoh. Untuk menerapkan strategi mengajar atau menyajikan materi seperti ini perlu dilakukan analisis konsep. Analisis konsep dilakukan untuk menemukan kemudian menghubungkan konsep-konsep utama dari suatu mata pelajaran sehingga dapat diketahui mana konsep yang paling utama dan superordinat dan mana konsep yang lebih khusus dan subordinat. Konsep yang diajarkan kepada siswa akan diterima dan diasosiasikan dengan konsep yang ada dalam struktur kognitifnya, kemudian konsep ini akan mengalami diferensiasi.
Progressive differentiation. Menurut Ausubel pengembangan konsep berlangsung paling baik bila dimulai dengan cara menjelaskan terlebih dahulu hal-hal yang umum terus sampai kepada hal-hal yang khusus dan rinci disertai dengan pemberian contoh-contoh. Untuk menerapkan strategi mengajar atau menyajikan materi seperti ini perlu dilakukan analisis konsep. Analisis konsep dilakukan untuk menemukan kemudian menghubungkan konsep-konsep utama dari suatu mata pelajaran sehingga dapat diketahui mana konsep yang paling utama dan superordinat dan mana konsep yang lebih khusus dan subordinat. Konsep yang diajarkan kepada siswa akan diterima dan diasosiasikan dengan konsep yang ada dalam struktur kognitifnya, kemudian konsep ini akan mengalami diferensiasi.
Rekonsiliasi integratif (integrative reconciliation). Guru menjelaskan
dan menunjukkan secara jelas perbedaan dan persamaan materi yang baru dengan
materi yang telah dijelaskan terlebih dahulu yang telah dikuasai siswa. Dengan
demikian siswa akan mengetahui alasan dan manfhat mated yang akan dijelaskan
tersebut.
Konsolidasi (consolidation). Guru memberikan pemantapan atas materi pelajaran yang telah diberikan untuk memudahkan siswa memahami dan mempelajari materi selanjutnya (Barlow;1985; dalam Muhibbin. Syah, 1995,245-246)
Konsolidasi (consolidation). Guru memberikan pemantapan atas materi pelajaran yang telah diberikan untuk memudahkan siswa memahami dan mempelajari materi selanjutnya (Barlow;1985; dalam Muhibbin. Syah, 1995,245-246)
8)
Penerapan Belajar Bermakna
Inti teori Ausubel tentang belajar adalah belajar bermakna
(meaningfiil learning). Belajar bermakna merupakan suatu proses untuk
mengaitkan informasi baru dengan konsep-konsep relevan yang terdapat dalam
struktur kognitif seseorang.
Dalam menerapkan teori Ausubel dalam pembelajaran, guru dianjurkan untuk mengetahui terlebih dahulu kondisi awal siswa. Hal ini sesuai dengan pandangan bahwa ada satu faktor yang sangat mempengaruhi belajar, yaitu pengetahuan yang telah diterima siswa.
Dalam menerapkan teori Ausubel dalam pembelajaran, guru dianjurkan untuk mengetahui terlebih dahulu kondisi awal siswa. Hal ini sesuai dengan pandangan bahwa ada satu faktor yang sangat mempengaruhi belajar, yaitu pengetahuan yang telah diterima siswa.
Pandangan Ausubel ini diharapkan menjadi kerangka berpikir dalam
menerapkan teori tersebut dalam belajar di samping memahami konsep dan
prinsip-prinsip lain yang harus diperhatikan, yaitu adanya pengaturan awal,
adanya proses diferensiasi progresif, rekonsiliasi integratif, dan belajar
subordinat.
Dalam perkembangannya, belajar bermakna dapat diterapkan melalui berbagai cara pengajaran, misalnya pengajaran dengan menggunakan peta konsep.
Penerapan peta konsep dalam pembelajaran dapat dilakukan untuk menguji dan mengetahui penguasaan siswa terhadap pokok materi yang akan diberikan, serta untuk mengetahui konsep esensial apa saja yang perlu diajarkan.
Dalam perkembangannya, belajar bermakna dapat diterapkan melalui berbagai cara pengajaran, misalnya pengajaran dengan menggunakan peta konsep.
Penerapan peta konsep dalam pembelajaran dapat dilakukan untuk menguji dan mengetahui penguasaan siswa terhadap pokok materi yang akan diberikan, serta untuk mengetahui konsep esensial apa saja yang perlu diajarkan.
Adapun cara pembelajarannya adalah sebagai berikut.
1.
Pilih suatu
bacaan atau salah satu bab dari sebuah buku pelajaran.
2.
Tentukan
konsep-konsep yang relevan dari topik yang akan atau sudah diajarkan.
3.
Urutkan
konsep-konsep tersebut dari yang paling inklusif ke yang paling tidak inklusif
berikut contoh-contohnya.
4.
Susun
konsep-konsep tersebut di atas kertas dari konsep yang paling inklusif ke konsep
yang tidak inklusif secara berurutan dari atas ke bawah.
5.
0 comments:
Posting Komentar