I Gede Mecaling sangat senang melakukan
tapa brata yoga semadhi di Ped, pengastawaanya ditujukan kepada Ida Bhatara
Ciwa dan karena ketekunannya Ida Bhatara Ciwa berkenan turun ke bumi untuk
memberikan panugrahan berupa Kanda Sanga. Kemudian, setelah mendapat panugrahan
kanda sanga fisik I Gede Mecaling menjadi berubah. Badannya menjadi besar,
mukanya menjadi menyeramkan, taringnya menjadi panjang, suaranya menggetarkan
seisi jagat raya. Sedemikian hebat dan sangat menyeramkan, maka seketika itu
juga jagat raya menjadi guncang. Kegaduhan, ketakutan, kengerian yang
disebabkan oleh rupa, bentuk dan suara yang meraung-raung siang dan malam dari
I Gede Mecaling membuat gempar di mercapada.
Melihat dan mendengar yang demikian, para dewa pun ikut menjadi bingung karena tidak ada satu orang pun yang bisa menandingi kesaktian I Gede Mecaling. Bahkan sesungguhnya para dewa tidak ada yang bisa menandingi, tidak ada yang bisa mengalahkan kesaktian I Gede Mecaling yang bersumber pada kedua taringnya yang telah dianugrahkan oleh Ida Bhatara Ciwa. Akhirnya turunlah Ida Bhatara Indra untuk berusaha memotong taring I Gede Mecaling. Setelah taring I Gede Mecaling berhasil dipotong barulah I Gede Mecaling berhenti menggemparkan jagat raya. Setelah itu I Gede Mecaling kembali melakukan tapa brata yoga semadhi, pengastawanya di tujukan kepada Ida Bhatara Rudra dan Ida Bhatara Rudra pun berkenan turun ke bumi untuk memberikan panugrahan kepada I Gede Mecaling berupa panca taksu, yaitu:
Melihat dan mendengar yang demikian, para dewa pun ikut menjadi bingung karena tidak ada satu orang pun yang bisa menandingi kesaktian I Gede Mecaling. Bahkan sesungguhnya para dewa tidak ada yang bisa menandingi, tidak ada yang bisa mengalahkan kesaktian I Gede Mecaling yang bersumber pada kedua taringnya yang telah dianugrahkan oleh Ida Bhatara Ciwa. Akhirnya turunlah Ida Bhatara Indra untuk berusaha memotong taring I Gede Mecaling. Setelah taring I Gede Mecaling berhasil dipotong barulah I Gede Mecaling berhenti menggemparkan jagat raya. Setelah itu I Gede Mecaling kembali melakukan tapa brata yoga semadhi, pengastawanya di tujukan kepada Ida Bhatara Rudra dan Ida Bhatara Rudra pun berkenan turun ke bumi untuk memberikan panugrahan kepada I Gede Mecaling berupa panca taksu, yaitu:
1.
Taksu balian
2. Taksu penolak grubug
3. Taksu kemeranan
4. Taksu kesaktian
5. Taksu penggeger
2. Taksu penolak grubug
3. Taksu kemeranan
4. Taksu kesaktian
5. Taksu penggeger
I Gede Mecaling menjadi raja setelah Dalem Sawang wafat karena berperang dengan Dalem Dukut. Dengan demikian I Gede Mecaling memimpin semua wong samar dan bebutan-bebutan yang ada di bumi. Juga pada akhirnya I Gede Mecaling diberi wewenang oleh Ida Bhatari Durga untuk mencabut nyawa manusia yang ada di bumi.
Beberapa waktu sebelumnya, sebelum I
Gede Mecaling tinggal di Nusa Penida telah terjadi peperangan antara I Gede
Mecaling dengan Dewa Babi (patih) di Batuan. I Gede Mecaling yang tinggal di Banjar
Jungut sering membuat keonaran dan mengajak berperang. Kemudian Gusti Agung
Blambangan Mengwi datang ke Semarapura untuk memohon putra raja yang akan
ditempatkan di Desa Timbul, dengan gelar Ida Sri Aji Wijaya Taur Gahana
Pangkaja. Lebih kurang 6,5 tahun di Batuan ada patihnya bernama Dewa Babi, Dewa
Meranggi, dan Gusti Ngurah Batu Lepang.
Dari keempat orang tersebut membuat suatu
kesepakatan dengan tujuan mengusir Ida Gede Mecaling melalui sarana babi guling
yang diikat dengan benang tridatu melawan tali kupas yang mana lebih cepat
terbakar. Menurut I Gede Mecaling yang
lebih cepat terbakar adalah tali kupas dan Patih Dewa Babi mengatakan benang
tridatu yang paling cepat terbakar. Akhirnya benang tridatu yang paling cepat terbakar. Kekalahan
ada pada Gede Mecaling. Kesepakatan yang pernah mereka buat berbunyi, “Siapa
yang kalah agar meninggalkan Desa Batuan”. Ternyata I Gede Mecaling kalah dan
meninggalkan Desa Batuan menuju ke Nusa Penida.Akhirnya Gede Mecaling diusir
dari Desa Batuan dengan mengadakan perjanjian. Setiap sasih keenam akan datang
untuk mengambil salah satu anggota masyarakat Desa Batuan sebagai balasannya.
Untuk memperlambat permintaan atau gerakan rerencang atau utusan Ida Gede
Mecaling maka setiap menjelang sasih kelima dibuat tari rejang untuk menyambut
kedatangan rerencang dari I Gede Mecaling (Nusa Penida). Tari Rejang Sutri
muncul setelah meninggalnya Balian Batur di desa Rangkan. Tarian ini disamping
untuk menangkal kedatangan rerencang I Gede Mecaling juga bertujuan untuk
mengabdikan diri terhadap Bhatara Bhatari atau leluhur. Tari ini dinamakan Tari
Rejang Sutri karena gerak tarinya sangat lemah lembut, polos dan lemah gemulai
yang dilakukan oleh kaum wanita dari golongan remaja sampai golongan wanita tua
dengan iringan gambelan gong lengkap dengan tabuh lelambatan.Tarian ini sampai sekarang
masih tetap dilestarikan.
Selain itu, konon kata para leluhur yang
ada di Desa Batuan, jika ada orang-orang Batuan yang berkunjung ke Nusa Penida
maka disana orang-orang Batuan tersebut tidak boleh mengaku dari Batuan
melainkan mengaku dari Sukawati, Gianyar ataupun daerah lain. Karena jika
mengaku dari Batuan, maka pada malam harinya isi perut orang-orang Batuan akan
diganti dengan sabut kelapa dan mengakibatkan orang-orang Batuan tersebut
meninggal.
Sumber: dari berbagai sumber
Sumber: dari berbagai sumber
0 comments:
Posting Komentar