BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hakikat Teori Belajar
Konstruktivisme
Pada
dasarnya teori konstruktivisme mempunyai asumsi bahwa pengetahuan lebih
bersifat kontekstual daripada absolut, yang memungkinkan adanya penafsiran
jamak (multiple perspectives) bukan
hanya satu penafsiran saja. Hal ini berarti, bahwa pengetahuan dibentuk menjadi
pemahaman individual melalui interaksi dengan lingkungan dan orang lain. Dengan
demikian, peranan kontribusi siswa terhadap makna, pemahaman, dan proses
belajar melalui kegiatan individual dan sosial menjadi sangat penting (Bruning,
Schraw, dan Ronning, 1999).
Perspektif
konstruktivisme juga mempunyai pemahaman tentang belajar yang lebih menekankan
proses daripada hasil. Hasil belajar sebagai tujuan dinilai penting, tetapi
proses yang melibatkan cara dan strategi dalam belajar juga dinilai penting.
Dalam proses belajar, hasil belajar, cara belajar, dan strategi belajar akan
mempengaruhi perkembangan tata pikir dan skema berpikir seseorang. Sebagai
upaya memperoleh pemahaman atau pengetahuan siswa (mengkonstruksi) atau
membangun pemahamannya terhadap fenomena yang ditemui dengan menggunakan
pengalaman, struktur kognitif, dan keyakinan yang dimiliki (Jonassen, 1991).
Dengan demikian pemahaman atau pengetahuan dapat dikatakan bersifat subjektif oleh karena sesuai dengan proses yang
digunakan seseorang untuk mengonstruksi pemahaman tersebut. Sebagai contoh
adalah konsep “jauh dan dekat”. Misalnya seorang penduduk berjalan bersama
seorang yang terbiasa hidup di kota. Penduduk desa mengatakan “Oh, tempatnya
dekat, hanya dibalik bukit itu”. Bagi orang yang hidup di kota dan tidak
terbiasa berjalan jauh, berjalan kaki satu meter saja sudah terasa jauh sekali
dan melelahkan. Tetapi bagi penduduk desa, jarak tersebut bukan apa-apa, karena
ia terbiasa tiap hari berjalan ke hutan yang jauh untuk mencari kayu bakar. Begitu
pula dengan konsep “besar-kecil”. Sepasang suami istri muda yang baru menikah
mengganggap bahwa tinggal di rumah berukuran 80 m2 dengan dua kamar
cukup besar dan longgar. Tetapi beberapa tahun kemudian setelah dua anaknya
tumbuh besar, dan dipengaruhi pula oleh konsep pendidikan bahwa untuk
mengembangkan kejiwaan yang sehat anak-anak yang menjelang remaja sebaiknya
mempunyai kamar sendiri, mereka menganggap rumah menjadi terasa kecil dan
sempit.
Contoh
tersebut menunjukkan bahwa pemahaman seseorang terhadap suatu konsep dapat
berkembang dan berubah. Perkembangan dan perubahan terhadap pemahaman konsep
terjadi sesuai pengalaman dan interaksi dengan pandangan lain yang ditemukan
kemudian.
Dalam
teori belajar konstruktivisme, pembelajaran di kelas dilihat sebagai proses
konstruksi pengetahuan oleh siswa. Jadi, pada teori belajar ini mengharuskan
siswa bersikap aktif untuk mengembangkan pengetahuannya bukan pembelajar atau
orang lain. Siswalah yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya.
Dalam proses ini siswa mengembangkan gagasan atau konsep baru berdasarkan
analisis dan pemikiran ulang terhadap pengetahuan yang diperoleh pada masa lalu
dan masa kini. Selain itu, kreativitas dan keaktifan siswa akan sangat membantu
mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa.
Dengan
demikian, pembelajaran dengan menggunakan teori konstruktivisme ini perlu
disusun berorientasi lebih kepada kebutuhan dan kondisi siswa, dengan memicu rasa
ingin tahu dan keterampilan memecahkan masalah melalui inquiri learning, reflective
learning dan problem-based learning.
Hakikat
pembelajaran konstruktivisme oleh Brooks dan Brooks dalam Degeng mengatakan
baha pengetahuan adalah non-obyektif, bersifat temporer, selalu berubah, dan
tidak menentu. Belajar dilihat sebagai penyusunan pengetahuan dari pengalaman
konkret, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. Mengajar
berarti menata lingkungan agar si belajar termotivasi dalam menggali makna
serta menghargai ketidakmenentuan. Atas dasar ini maka si belajar akan memiliki
pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung pada pengalamannya, dan
perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya. (Mohammad Jauhar, 2011:
36).
Ciri-ciri
dari pembelajaran konstruktivisme adalah bahwa belajar merupakan proses aktif
untuk mengkonstruksi pengetahuan dan bukan proses menerima pengetahuan. Proses
pembelajaran yang terjadi lebih dimaksudkan untuk membantu atau mendukung
proses belajar, bukan sekadar untuk menyampaikan pengetahuan (Cunningham &
Duffy, 1996, p.172). Sehingga penekanannya bukan pada bagaimana “mentransfer”
ilmu sebagaimana menyuapi siswa dengan makanan jadi, tetapi pada cara
“mentransform” struktur berpikir dan pengetahuan, dimana siswa mengolah
pemahamannya dari yang disiapkan guru.
2.2 Premis Dasar Teori Belajar
Konstruktivisme
Asumsi-asumsi
dasar dari konstruktivisme seperti yang diungkap oleh Merril (1991) adalah
sebagai berikut.
1)
Pengetahuan dikonstruksikan melalui
pengalaman.
2)
Belajar adalah penafsiran personal
tentang dunia nyata.
3)
Belajar adalah sebuah proses aktif di
mana makna dikembangkan berdasarkan pengalaman.
4)
Pertumbuhan konseptual berasal dari
negoisasi makna, saling berbagi tentang perspektif ganda dan pengubahan
representasi mental melalui pembelajaran kolaboratif.
5)
Belajar dapat dilakukan dalam setting
nyata, ujian dapat diintergrasikan dengan tugas-tugas dan tidak merupakan
aktivitas yang terpisah (penilaian autentik) (Suyono dan Hariyanto, 2011:106).
2.3 Prinsip – Prinsip Belajar
Konstruktivistik
Prinsip –
prinsip yang sering diambil dari konstruktivistik (Trianto, 2011: 75), antara
lain:
1)
Pengetahuan dibangun oleh siswa secara
aktif
2)
Tekanan dalam proses belajar terletak
pada siswa
3)
Mengajar adalah membantu siswa belajar
4)
Penekanan dalam proses belajar lebih
kepada proses bukan hasil akhir
5)
Kurikulum menekankan partisipasi siswa
6)
Guru sebagai fasilitator
Secara umum,
prinsip – prinsip tersebut berperan sebagai referensi dan alat refleksi kritis
terhadap praktik, pembaharuan, dan perencanaan pendidikan.
2.4
Jenis-jenis
Teori Belajar Konstruktivisme
Pemahaman orang
tentang konstruktivisme beragam, karena konstruktivisme memang mempunyai
beberapa perwujudan tergantung dari sisi mana dilihatnya. Untuk dapat memahami
perspektif konstruktivisme dengan utuh, maka perlu dibahas dua sisi bentuk
konstruktivisme, yaitu konstruktivisme individual (individual constructivism) dan konstruktivisme sosial (social constructivism). Menurut
perspektif konstruktivis suatu pengetahuan dibangun sendiri oleh siswa dengan
menggunakan pengalaman dan struktur kognitif yang sudah dimiliki. Tetapi hal
ini tidaklah berarti tidak dimungkinkannya pemahaman bersama atau pemahaman
yang sama terhadap suatu realitas. Sekelompok orang dapat mempunyai pemahaman
yang sama terhadap suatu fenomena atau realitas tertentu melalui interaksi
sosial dan kolaborasi bersama dalam membangun makna.
Penjelasan di
atas juga selaras dengan teori yang dikemukakan oleh Piaget dan Vygotsky dalam
menjelaskan tentang belajar.
2.4.1 Teori Konstruktivisme Individual
dari Piaget
Piaget (1990)
menjelaskan pentingnya berbagai faktor internal seseorang seperti tingkat
kematangan berpikir, pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya, konsep diri,
dan keyakinan dalam proses belajar. Berbagai faktor internal tersebut
mengindikasikan kehidupan psikologis seseorang, serta bagaimana dia
mengembangkan struktur dan strategi kognitif, dan emosinya.
Piaget
menjelaskan bahwa perkembangan kognitif manusia sesuai urutan atau sequence tertentu. Kemampuan berpikir
pada satu tahapan yang lebih tinggi merupakan perkembangan dari tahapan-tahapan
sebelumnya. Pada tahapan yang lebih tinggi seseorang lebih mampu berpikir
terorganisasi dan abstrak. Piaget menyebutnya sebagai kemampuan untuk
mengembangkan skema berpikir.
Misalnya sekelompok
anak TK diberi mainan berupa potongan-potongan kayu dengan berbagai bentuk dan
bermacam warna. Mereka bebas melakukan apa saja dengan potongan-potongan kayu
tersebut. Ternyata yang dilakukan anak-anak tersebut beraga, ada yang
mengelompokkan berdasarkan warna merah saja, ada juga yang mengambil atau
mengumpulkan potongan kayu yang mempunyai bentuk bintang apapun warnanya.
Tetapi ada pula anak yang mengumpulkan potongan kayu yang berbentuk kotak dan
hanya yang berwarna kuning saja. Hal ini menunjukkan perkembangan skema
berpikir yang berbeda . Pada tahap lanjut mereka dapat menggambar sendiri
berbagai bentuk tersebut dengan pilihan warna tertentu, dan menempatkannya
dalam konteks yang relevan, misalnya entuk bintang dengan latar belakang
langit, atau bentuk bulat bebatuan di taman dan lainnya.
Menurut Piaget,
proses berpikir melibatkan dua jenis proses yang saling berhubungan, yaitu
mengorganisasikan dan mengadaptasi atau mengubah informasi (pengetahuan).
Ketika mengorganisasikan pengetahuan, yang dilakukan seseorang adalah
membedakan informasi yang penting dari yang tidak penting, atau konsep utama
dengan jabarannya, serta melihat saling keterkaitan antara satu konsep dengan
konsep lainnya. Di samping itu, seseorang akan melakukan proses adaptasi ketika
belajar, yaitu melalui asimilasi dengan cara mengaitkan pengetahuan baru dengan
struktur kognitif yang telah dimiliki, atau melalui proses akomodasi terhadap
pengetahuan baru, dengan sedikit banyak mengubah struktur kognitif yang telah
dimiliki (Udin S. Winataputra, 2007).
2.4.2
Teori
Konstrutivisme Sosial dari Vygotsky
Seorang psikolog
dari Rusia yang terkenal bernama Vygotsky adalah penganjur konstruktivisme
lainnya. Vygotsky berpendapat bahwa pengetahuan dibangun secara sosial, dalam
pengertian bahwa peserta yang terlibat dalam suatu interaksi sosial akan
memberikan kontribusi dan membangun bersama makna suatu pengetahuan. Dengan
demikian proses yang terjadi akan beragam sesuai dengan konteks kulturalnya.
Proses dan
konteks kultural yang beragam juga menghasilkan ‘belajar’ yang beragam pula.
Sebagai contoh kita dapat mengamati bagaimana anak-anak kita mempelajari suatu
konsep melalui modus tertentu. Sebelum media visual banyak digunakan, anak-anak
mempelajari nilai-nilai yang berlaku melalui apa yang di dengar dari orang
lain. Sebelum tidur, ayah atau ibu akan menceriterakan cerita yang memuat
pengajaran nilai kepada anak-anaknya, dan dalam kesempatan itu anak biasanya
banyak bertanya tentang mengapa demikian, apa yang tejadi dan sebagainya. Dalam
masyarakat modern dewasa ini, pada umumnya orang tua hampir-hampir tidak punya
waktu lagi untuk berceritera kepada anaknya. Anak-anak lebih mengandalkan
tayangan televisi (yang didengar dan dilihat) untuk membentuk pemahaman tentang
nilai-nilai tertentu. Besar kemungkinan pemahaman anak terhadap suatu nilai
sebagai hasil belajar tidak akan sama melalui kedua proses yang berbeda
tersebut. Kesempatan berdialog melalui menonton program televisi kalaupun
terjadi kadarnya tidak terlalu tinggi.
2.4.3
Teori
Konstruktivisme di Indonesia
Perspektif
konstruktivisme buka merupakan teori belajar yang asing bagi perspektif
pendidikan di Indonesia. Ki Hajar Dewantoro, seorang tokoh pendidikan nasional,
sudah lama memperkenalkan pendekatan pendidikan yang diungkapkan melalui tiga
prinsip utama peran pendidik, yaitu “ing ngarso sungtulodo” (bila berada di
depan anak didik, guru harus memberikan contoh atau tauladan), “ing madyo
mangun karso” (bila ditengah-tengah siswa, bangunkan keinginan anak untuk
belajar) dan “tut wuri handayani” (bila berada di belakang anak didik, beri
dorongan semangat). Dalam wawasan ini, sebenarnya siswalah yang mempunyai
peranan penting dalam belajar, sedangkan guru secara fleksibel menempatkan diri
sebagaimana diperlukan oleh siswa dalam proses emahami dunianya. Pada suatu
saat, guru memberi contoh atau model bagi siswanya, dan pada saat yang lain
guru membangun rasa ingin tahu dan keinginan anak untuk mempelajari sesuatu
yang baru. Pada saat-saat tertentu guru membiarkan anak mengeksplorasi dan
bereksperimen sendiri dengan lingkungannya, guru cukup memberi semangat dan
arahan saja.
2.5
Karakteristik
Pembelajaran Konstruktivisme
2.5.1 Karakteristik
Perspektif Konstruktivisme
Beberapa
Karakteristik yang juga merupakan prinsip dasar perspektif konstruktivisme
dalam pembelajaran adalah sebagai berikut.
1)
Mengembangkan strategi alternatif untuk memperoleh dan
menganalisis informasi.
2)
Dimungkinkannya perspektif jamak (multiple perspective) dalam
proses belajar.
3)
Peran siswa utama dalam proses belajar, baik dalam mengatur atau
mengendalikan proses berpikirnya sendiri maupun ketika berinteraksi
denganlingkungannya.
4)
Penggunaan scaffolding dalam pembelajaran.
5)
Peranan pendidik/guru lebih sebagai tutor, fasilitator dan mentor
untuk mendukung kelancaran dan keberhasilan proses belajar siswa
6)
Pentingnya kegiatan belajar dan evaluasi belajar yang otentik
Prinsip-prinsip dasar tersebut dapat diterapkan
guru dalam pembelajaran, misalnya dengan:
1)
Menyeimbangkan Strategi Alternatif untuk Memperoleh dan
Menganalisis Informasi
Siswa perlu dibiasakan
untuk dapat menemukan (mengakses) informasi dari berbagai sumber, seperti buku,
majalah, koran, pengamatan, wawancara, dan dengan menggunakan `internet; yang
sekarang sedang giat dikampanyenya oleh pemerintah. Sesuai dengan tingkat
perkembangan berpikir siswa, mereka perlu belajar menganalisis informasi,
sejauh mana kebenarannya, asumsi yang melandasi informasi tersebut, bagaimana
mengklasifikasikan informasi dan menyederhanakan informasi yang banyak. Atau
dengan istilah lain siswa dilatih bagaimana `memproses informasi.' Ketika
mempelajari suatu materi, siswa dapat mencoba untuk membuat ringkasan dengan
mengidentifikasi inti atau esensi mated, membuat pertanyaan berkaitan dengan
materi, mencoba membuat penjelasan lanjut dari materi yang dipelajari, atau
bahkan membuat prediksi atau perkiraan apa yang akan terjadi pada penerapan
konsep materi yang dibahas. Dalam hal ini guru perlu aktif dan kreatif dalam
memberikan penugasan kepada siswa. Dalam proses belajar, kesalahan berpikir
yang dilakukan siswa secara positif dapat dilihat sebagai indikator bagaimana
cara berpikir siswa sehingga guru dapat memancing atau mendorong siswa untuk
mencari alternatif berpikir lain, yang dinilai lebih baik.
2)
Dimungkinkannya perspektif jamak (multiple penspective) dalam proses
belajar
Sebagai
suatu proses dialogis baik antara siswa dengan guru maupun dengan siswa yang
lain, dalam belajar akan muncul pendapat, pandangan dan pengalaman yang
beragam. Dalam menjelaskan suatu fenomena, di antara siswa pun akan terjadi
perbedaan pendapat yang dipengaruhi oleh pengalaman, budaya dan struktur
berpikir yang dimiliki. Sebagai contoh, ketika anak-anak belajar tentang
aktivitas letusan gunung Merapi di Jawa Tengah bulan Mei 2006 yang lalu, sosok
Mbah Marijan sebagai `penunggu' gunung Merapi mungkin akan menarik perhatian
siswa saat membicarakan tentang pentingnya mengungsi pada saat dinyatakan `awas
Merapi' oleh Badan pengawas Gunung Merapi. Mengapa Mbah Marijan meholak untuk
mengungsi, bahkan ketika dihimbau dan dibujuk oleh berbagai pihak yang
mengkuatirkan keselamatannya? Dalam kesempatan diskusi siswa ini, pendapat yang
diwarnai pemikiran ilmiah akan bertemu dan berinteraksi dengan pendapat yang
berlandaskan kultural, kebiasaan dan kepercayaan setempat. Dalam hal ini tidak
ada `hanya satu' kebenaran yang berlaku. Siswa perlu diperkenalkan dan
diizinkan berpikir plural, supaya dapat memahami kenyataan yang berlaku dengan
lebih baik.
3)
Siswa mempunyai peran utama dalam proses belajar, baik dalam
mengatur atau mengelola proses berpikirnya sendiri maupun ketika berinteraksi
dengan lingkungannya
Dalam usaha untuk
menyusun pemahaman, siswa harus aktif dalam kegiatan belajar bersama. Dalam hal
ini siswa perlu terlatih untuk `mendengarkan' dan mencerna dengan baik pendapat
siswa lain dan guru. Sesuai dengan tahap perkembangan emosi dan berpikirnya dia
perlu dapat menganalisis pendapat tersebut dikaitkan dengan pengetahuan yang
dimilikinya. Dia perlu mampu bertanya evaluatif seperti, `apakah pendapat yang
ini sama atau berbeda dengan pendapat saya?' `mengapa berbeda?', `mengapa dia
berpendapat seperti itu?, dan sebagainya. Dan pada akhirnya dia mampu menyusun
pengertian dan pendapat yang bersifat inklusif, yang merupakan rekonstruksi
pemahaman sendiri dan dengan mempertimbangkan pendapat lain yang berbeda.
4)
Penggunaan scaffolding dalam proses pembelajaran
Scaffolding merupakan proses memberikan tuntunan atau bimbingan kepada siswa untuk mencapai apa yang harus dipahami dari apa yang sekarang sudah diketahui.
Scaffolding merupakan proses memberikan tuntunan atau bimbingan kepada siswa untuk mencapai apa yang harus dipahami dari apa yang sekarang sudah diketahui.
Berdasarkan
pemahaman guru terhadap kemampuan siswa, siswa didorong dan ditugaskan untuk
mengerjakan tugas yang sedikit lebih sulit, dan selangkah lebih tinggi dari
kemampuan yang saat ini dimiliki dengan intensitas bimbingan yang semakin
berkurang. Dengan cara ini kemampuan berpikir siswa akan berkembang, di samping
sesuai dengan perkembangan intelektual siswa, juga dipengaruhi oleh `tantangan
berpikir' dalam penugasan dari guru.
5)
Peranan pendidik/guru lebih sebagai tutor, fasilitator dan mentor
untuk mendukung kelancaran dan keberhasilan proses belajar siswa
Dalam hal ini
terjadi perubahan paradigma dari `pembelajaran berorientasi guru' menjadi
`pembelajaran berorientasi siswa.' Siswa diharapkan mampu untuk secara sadar
dan aktif mengelola belajarnya sendiri, dalam arti mempunyai pemahaman tentang
tujuan belajarnya dan pengertian yang jernih mengapa tujuan belajar tersebut
mempunyai nilai bagi dirinya, serta bagaimana dia akan mencapainya.
Perhatikan cantoh berikut ini.
Perhatikan cantoh berikut ini.
Guru menugaskan
siswa untuk mencari informasi tentang daya saing produk kosmetik Indonesia
dibandingkan dengan produk negara lain, khususnya untuk kelas menengah ke
bawah.
Siswa tersebut jelas dengan tujuan yang harus dicapai, dan bahwa metalui tugas ini dia akan dapat melakukan riset sederhana dan membuat kesimpulan berdasarkan data yang diperoleh: Sebagai hasil akhir dia harus dapat menjelaskan bagaimana daya saing produk kosmetik Indonesia dibandingkan dengan produk dari negara lain. Dia berpendapat tujuan belajar ini cukup bernilai baginya karena kemampuan melakukan riset akan berguna bagi perkembangan pengetahuan dan keterampilan akademisnya.
Untuk mencapai itu, dia merancang untuk mencari data melalui kliping koran dan mengecek asal negara produk kosmetik langsung di lapangan: Untuk itu dia merencanakan, pergi ke swalayan dan mencatat negara mana yang memproduksi suatu produk. Ternyata hasil catatan dia menunjukkan banyak sekali produk yang 'made-in' Thailand atau Malaysia, dan hanya sedikit jenis barang yang dibuat di Indonesia. Dari data ini dan kliping koran yang relevan maka siswa tersebut dapat memberikan presentasi yang cukup bagus, rinci dan informatif, dan menyimpulkan bahwa saat ini daya saing produk Indonesia benar-benar ditantang oleh produk negara-negara tetangga di Asia Tenggara, yaitu oteh Thailand dan Malaysia, belum lagi kalau memperhitungkan banjir produk dari China.
Siswa tersebut jelas dengan tujuan yang harus dicapai, dan bahwa metalui tugas ini dia akan dapat melakukan riset sederhana dan membuat kesimpulan berdasarkan data yang diperoleh: Sebagai hasil akhir dia harus dapat menjelaskan bagaimana daya saing produk kosmetik Indonesia dibandingkan dengan produk dari negara lain. Dia berpendapat tujuan belajar ini cukup bernilai baginya karena kemampuan melakukan riset akan berguna bagi perkembangan pengetahuan dan keterampilan akademisnya.
Untuk mencapai itu, dia merancang untuk mencari data melalui kliping koran dan mengecek asal negara produk kosmetik langsung di lapangan: Untuk itu dia merencanakan, pergi ke swalayan dan mencatat negara mana yang memproduksi suatu produk. Ternyata hasil catatan dia menunjukkan banyak sekali produk yang 'made-in' Thailand atau Malaysia, dan hanya sedikit jenis barang yang dibuat di Indonesia. Dari data ini dan kliping koran yang relevan maka siswa tersebut dapat memberikan presentasi yang cukup bagus, rinci dan informatif, dan menyimpulkan bahwa saat ini daya saing produk Indonesia benar-benar ditantang oleh produk negara-negara tetangga di Asia Tenggara, yaitu oteh Thailand dan Malaysia, belum lagi kalau memperhitungkan banjir produk dari China.
Penugasan seperti
ini jelas akan membuat siswa menjadi aktif dan termotivasi untuk belajar,
karena dia dapat melihat manfaat atau nilai tugas bagi perkembangan
intelektualnya. Dalam hal ini peran guru lebih sebagai wasit, atau mediator
bila diperlukan, untuk memfasilitasi siswa memperoleh data dan melakukan
analisis dengan cermat.
6)
Pentingnya kegiatan belajar dan evaluasi belajar yang otentik
Yang dimaksudkan
dengan kegiatan belajar yang otentik adalah seberapa dekat kegiatan yang
dilakukan dengan kehidupan dan permasalahan nyata (sesungguhnya) yang terjadi
dalam masyarakat, yang akan dihadapi siswa ketika berusaha menerapkan
pengetahuan tertentu. Dalam berbagai contoh kondisi riil ini siswa perlu
belajar bahwa tidak ada cara pemecahan masalah tertentu yang tepat digunakan
untuk berbagai kondisi tersebut. Siswa pada tahap perkembangan intelektual
tertentu cenderung menyederhanakan masalah yang kompleks dan menganggap cara
pemecahan masalah yang umum sudah akan memadai. Demikian pula ketika guru
menguji hasil belajar siswa sebaiknya juga menggunakan pendekatan yang otentik,
misalnya menggunakan kasus yang terjadi atau mendekati kenyataan.
2.5.2 Mengembangkan
Komunitas Pembelajar Di Kelas
Suasana
dan kegiatan pembelajaran dapat dikemas bersifat kompetitif atau kolaboratif,
tergantung tujuan yang ingin dicapai. Pembelajaran yang bersifat kompetitif
dapat menggunakan perlombaan atau pertandingan untuk mencari dan menentukan
hasil kerja siapa yang terbaik. Pendekatan ini dapat saja dipilih dengan
catatan ada kondisi tertentu yang harus dipenuhi, yaitu bahwa setiap individu
siswa mempunyai kemampuan yang setara dan bahwa keberhasilan ditentukan
sepenuhnya oleh usaha siswa dan bukan oleh faktor-fahtor lain di luar kendali
siswa (Stipek, 1999). Secara individu siswa berusaha untuk `mengonstruksi'
sesuatu, dapat berupa produk IPA, ceritera, hasil penelitian, dan sebagainya.
Pendekatan ini dapat menghasilkan hasil terbaik siswa, tetapi terkadang juga
dapat menimbulkan hambatan psikologis pada siswa, sebab mereka lebih
mencemaskan bagaimana supaya menang dan tidak merasa malu kepada guru daripada
bagaimana dapat mempelajari suatu kemampuan atau pengetahuan secara optimal.
Pembelajaran
dapat juga dikemas sebagai suatu kegiatan kerja sama (cooperative efforts).
Dalam tim siswa bekerja sama untuk mengonstruksi suatu hasil kerja bersama.
Dalam suasana kerja sama siswa biasanya merasa lebih termotivasi untuk belajar
dan berprestasi, karena mereka beranggapan kemungkinan untuk berhasil lebih
besar (C.Ames, 1984). Dalam proses belajar bersama siswa berpikir dan bekerja
bersama dan saling mengamati, atau bahkan meniru, strategi pemecahan masalah
dari yang lain. Mereka berbagi informasi dan saling mengoreksi, bahkan berperan
sebagai tutor sebaya (peer tutoring) untuk temannya. Dalam proses seperti ini
jelas bahwa pemahaman yang dihasilkan akan lebih baik dibandingkan dengan
pemahaman seorang siswa yang belajar sendiri. Dalam auasana belajar bersama
yang kooperatif seluruh siswa membentuk suatu masyarakat pembelajar untuk
tumbuh bersama.
Dalam
pembelajaran collaboratif ada lima aspek yang perlu dipenuhi supaya proses
pembelajaran menjadi efektif, yaitu: saling ketergantungan yang positif,
tanggung jawab individual, proses kerja kelompok, keterampilan sosial, dan
tugas yang spesifik (Johnson, R. & David, 1998). Guru perlu dapat
menciptakan kondisi yang mendukung dan melatih atau membiasakan siswa supaya
terampil bekerja dalam kelompok.
2.5.3 Model Pembelajaran
Konstruktivistik
Dalam
praktek seringkali tidak selaras antara tujuan pembelajaran dengan model
pembelajaran yang digunakan. Meskipun secara sadar guru menganggap penting
tujuan pembelajaran yang berupa kemampuan berpikir analitis-kritis, atau sikap
pribadi yang toleran menghargai keragaman pendapat, tetapi model pembelajaran
yang digunakan guru tanpa disadari justru dapat menekan pertumbuhan sikap
analitis-kritis siswa, misalnya sikap guru yang otoriter. Mungkin sekarang
sudah bukan zamannya lagi guru merasa tersinggung atau marah apabila
pendapatnya dibantah oleh siswa, atau bersikap meremehkan ketika siswa
mengemukakan gagasan yang kedengaran aneh.
Demikian
pula halnya dengan prinsip-prinsip pembelajaran konstruktivisme. Pembelajaran
seperti apakah yang dapat mendukung proses belajar siswa untuk dapat
mengonstruksi pemahaman dan pengetahuan melalui penalaran individual dan dialog
dengan teman, guru dan lingkungannya. Dalam hal ini guru perlu kreatif untuk
dapat menciptakan berbagai proses pembelajaran yang dimaksud, tentunya
dilandasi dengan pemahaman yang memadai tentang pembelajaran yang baik dan
konstruktivistik.
Pada
bagian berikut ini akan disajikan contoh suatu model pembelajaran
konstruktisitik, yang disusun dengan mempertimbangkan berbagai karakteristik
yang dibahas sebelumnya. Dua model pembelajaran konstruktivistik yang sering
digunakan adalah pembelajaran menemukan (discovery
learning) dan pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning).
Cobalah
ingat sesuatu yang pernah Anda pelajari dari pengalaman atau percobaan yang
Anda lakukan sendiri, bukan dari bacaan. Apakah pengalaman seperti itu
memberikan kesan yang lebih mendalam bagi Anda dibandingkan dengan sekadar
membaca atau mendengar dari orang lain?
Sewaktu masih sekolah dasar kami pernah
melakukan percobaan lab kimia, yaitu mencampur zat-zat kimia yang berbeda dan
melihat reaksi yang terjadi. Saya kebagian untuk mencampur zat kalsium sulfida
dengan air, dan tiba-tiba mencium bau yang mPmbuat mual. Teman - teman lain
satu kelompok mulat tertawa-tawa dan saling tuding, dasar anak-ariak. Saya baru
paham bahwa bau itu dihasilkan oleh asam sulfida. Sampai tua bau yang khas itu
saya ingat, dan kesannya akan lain kalau hanya membaca dari buku teks.
Percobaan
ini dapat dikategorikan sebagai discovery
learning karena dalam kesempatan tersebut siswa berinteraksi dengan
lingkungan fisik atau sosialnya, yaitu dengan melakukan percobaan lab dan
melihat implikasinya pada kehidupan sosial. Siswa mencoba untuk mencari tahu
dan menjelaskan apa yang terjadi, dan mengapa sesuatu terjadi, dengan
menggunakan berbagai sumber belajar, misalnya dengan melakukan studi literatur,
atau melakukan wawancara. Supaya percobaan yang dilakukan bermanfaat, sebaiknya
siswa telah terlebih dahulu memahami berbagai konsep atau prinsip yang
dibutuhkan. Dalam discovery learning
siswa dapat saja melakukan kesalahan (trial
and error), dan kesalahan ini justru menjadi bagian dari proses belajar.
Daiam
beberapa penelitian ditemukan bahwa seseorang akan mengingat dan menggunakan
kembali pengetahuan yang diperoleh, apabila pengetahuan tersebut dihasilkan
dari upaya mengonstruksi sendiri. (McNamara & Healy, 1995).
Belajar melalui pengalaman (leaniuzg by doing) dalam bentuk eksplorasi dan memanipulasi akan menjadikan sesuatu yarb dipelajari diingat untuk waktu lama (long-term memory). Dan khususnya bagi anak-anak usia sekolah dasar, sesuai dengan tahap perkembangannya, mereka lebih mudah memahami suatu fenomena melalui pengalaman konkret, dibandingkan hanya mendengar dari guru saja.
Dalam pembelajaran melalui menemukan intinya adalah kerja kelompok, penugasan dan berbagi informasi. Dalam hal ini guru perlu merancang langkah-langkah sebagai berikut.
Belajar melalui pengalaman (leaniuzg by doing) dalam bentuk eksplorasi dan memanipulasi akan menjadikan sesuatu yarb dipelajari diingat untuk waktu lama (long-term memory). Dan khususnya bagi anak-anak usia sekolah dasar, sesuai dengan tahap perkembangannya, mereka lebih mudah memahami suatu fenomena melalui pengalaman konkret, dibandingkan hanya mendengar dari guru saja.
Dalam pembelajaran melalui menemukan intinya adalah kerja kelompok, penugasan dan berbagi informasi. Dalam hal ini guru perlu merancang langkah-langkah sebagai berikut.
1)
Menentukan hasil belajar siswa dan merancang tugas
2)
Merancang tahapan atau langkah-langkah sebagai pedoman kegiatan
siswa.
3)
Memastikan siswa telah memahami konsep dan prinsip yang relevan
(prior knowledge)
4)
Menugaskan siswa dalam kerja kelompok atau individual.
5)
Memberi kesempatan siswa melaporkan temuannya, dan mendorong
mereka mengidentifikasi bagaimana mereka dapat menerapkan temuan mereka dalam
konteks yang lain.
6)
Memberi balikan dan pengayaan sebagaimana diperlukan.
Agar proses pembelajaran menjadi efektif, guru
perlu mempunyai sikap sebagai berikut.
1)
Pada awal proses pembelajaran siap menjawab pertanyaan siswa dan membantu mereka memulai kegiatan.
2)
Mendorong siswa untuk membuat keputusan sendiri
3)
Mendorong siswa membuat pertanyaan `apa yang akan terjadi,
bila...' (what-if questions)
4)
Mendorong siswa menggunakan metode atau cara belajarnya
sendiri
5)
Memfasilitasi diskusi, guru perlu bersikap netral tidak menganggap
dan langsung mengkoreksi pendapat dan pemikiran siswa yang `salah' tetapi
usah.akan pendapat tersebut didiskusikan oleh siswa.
6)
Memasukkan unsur yang tidak diperkirakan sebelumnya (surprise).
7) Mengusahakan suasana
belajar yang menyenangkan.
2.6
Penggunaan
Teori Belajar Konstruktivisme dalam Pembelajaran
Adapun implikasi
dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak adalah sebagai berikut
:
a. Tujuan
pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu
atau anak yang memimiliki kemampuan berpikir untuk menyelesaikan setiap
persoalan yang dihadapi;
b. Kurikulum
dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan
pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu,
latihan memecahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan
menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan;
c. Peserta
didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi
dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitator dan teman yang
membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri
peserta didik (Poedjiadi, 1999: 63).
Implikasi teori
belajar konstruktivisme dalam proses pembelajaran yaitu, pertama pengetahuan
tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif
siswa. Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian
melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak. Kedua teori belajar konstruktivisme
menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif dalam proses
pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui
lingkungannya. Bahkan secara spesifik mengatakan bahwa seseorang lebih mudah
mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada apa yang telah diketaui
orang lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi baru, pengalaman
belajar yang lalu dari seseorang akan mempengaruhi terjadinya proses belajar
tersebut (Hudoyo 1990: 4).
Dalam upaya
mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, mengajukan beberapa saran
yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut : (1) memberi
kesempatan pada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, (2)
memberi kesempatan pada siswa untuk berpikir tentang pengalamannya sehingga
menjadi lebih kreatif dan imajinatif (3) memberi kesempatan kepada siswa untuk
mencoba gagasan baru, (4) memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan
yang telah dimiliki sisa, (5) mendorong siswa untuk memikirkan perubahan
gagasan mereka, dan (6) menciptakan lingkungan belajar yang kondusif (Tyler,
1996:20).
Pembelajaran
yang mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih memfokuskan pada
kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan
siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru.
Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri
pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.
2.7 Konstruktivisme
Dalam Pembelajaran Bidang Studi
1)
Konstruktivisme
dalam Pembelajaran IPA
Contoh Proses Pembelajaran Fisika
Berikut ini adalah
pengalaman pembelajaran yang dilakukan oleh Pak Adam ketika membahas pokok
bahasan 'gerak, kecepatan dan bidang' dalam mata pelajaran fisika. (Diadaptasi
dari Leonard & Garace, 1996)
Digunakan dua pipa yang sejajar sama tinggi, meskipun panjangnya tidak sama karena pada pipa 2 terdapat lekukan yang dalam. Pada ujung pipa 1 dan 2 diluncurkan bola yang sama besar dan beratnya. Pertanyaannya adalah apabila kedua bola tersebut dilepaskan pada saat yang sama, bola pada pipa manakah yang akan mencapai ujung pipa atau garis finish lebih dulu?
Pada awalnya banyak siswa yang menjawab bahwa bola pada pipa 1 akan lebih cepat mencapai ujung pipa. Pipa 2 lebih panjang sehingga jarak yang ditempuh bola juga lebih lama.
Digunakan dua pipa yang sejajar sama tinggi, meskipun panjangnya tidak sama karena pada pipa 2 terdapat lekukan yang dalam. Pada ujung pipa 1 dan 2 diluncurkan bola yang sama besar dan beratnya. Pertanyaannya adalah apabila kedua bola tersebut dilepaskan pada saat yang sama, bola pada pipa manakah yang akan mencapai ujung pipa atau garis finish lebih dulu?
Pada awalnya banyak siswa yang menjawab bahwa bola pada pipa 1 akan lebih cepat mencapai ujung pipa. Pipa 2 lebih panjang sehingga jarak yang ditempuh bola juga lebih lama.
Siswa lainnya memperkirakan
kedua bola akan mencapai ujung pipa pada saat yang sama, karena bola pada pipa
2 meskipun akan bergerak lebih cepat pada bidang yang menurun, akan melambat
ketika sampai pada bidang yang menanjak.
Tidak ada seorang pun
yang memperkirakan bahwa bola pada pipa 2 akan lebih cepat daripada pada pipa
1.
Ketika dicobakan,
anak-anak menjadi terheran-heran, karena setiap kali dilakukan percobaan bola
pada pipa 2 setalu mendahului bola pipa 2. Apa yang ada di dalam pikiran mereka
tentang apa yang terjadi? Mengapa demikian? Apa ini rahasianya?
Saya sampaikan kepada
mereka bahwa ini bukan sulap, dan saya minta mereka untuk berpikir ulang
mencermati apa yang terjadi pada bola tersebut ketika mencapai bagian-bagian
pipa tertentu.
Pada mulanya mereka merasa segan mengemukakan pendapat, mungkin karena merasa diuji guru sehingga takut memberi jawaban yang salah.
Pada mulanya mereka merasa segan mengemukakan pendapat, mungkin karena merasa diuji guru sehingga takut memberi jawaban yang salah.
Tapi saya katakan
kepada mereka bahwa yang saya inginkan adalah mereka mau berbagi pendapat
dengan teman-temannya yang lain, mendiskusikan dengan bebas apa yang terjadi.
Satu dua siswa mulai berbicara dan akhirnya menjadi riuh karena hampir semua
ikut bicara. Ada yang mengoreksi, ada yang menyatakan setuju, mereka merasa
bebas mengemukakan apa yang mereka pikirkan. Dan akhirnya mereka sampai pada
kesimpulan sebagai berikut.
Kedua bola mencapai
titik A pada saat yang sama dengan kecepatan yang sama. Bidang miring dari
titik A ke B mempercepat gerak bola sehingga mencapai titik B lebih cepat daripada
bola pipa 2.
Ketika mencapai titik C bola mana yang lebih cepat? Ananda menjawab bahwa keduanya akan tiba pada saat yang sama. "Mengapa kamu berpikir begitu?" "karena bola pipa 2 meskipun bergerak cepat pada bidang menurun, akan. melambat ketika melalui bidang yang menanjak," sahutnya. Pendapat ini ternyata mengundang pendapat pro dan kontra, karena hasil pengamatan menunjukkan bola pada pipa 2 selalu mendahului bola pipa 2.
Ketika mencapai titik C bola mana yang lebih cepat? Ananda menjawab bahwa keduanya akan tiba pada saat yang sama. "Mengapa kamu berpikir begitu?" "karena bola pipa 2 meskipun bergerak cepat pada bidang menurun, akan. melambat ketika melalui bidang yang menanjak," sahutnya. Pendapat ini ternyata mengundang pendapat pro dan kontra, karena hasil pengamatan menunjukkan bola pada pipa 2 selalu mendahului bola pipa 2.
Melalui
pertanyaan-pertanyaan saya berusaha mengarahkan pemikiran mereka pada panjang
pipa yang merupakan jarak yang ditempuh bola. Dan pada akhirnya mereka dapat
menemukan kuncinya, yaitu bahwa bola pipa 2 bergerak lebih cepat daripada bola
pada pipa 1, dan kecepatan itu memungkinkan dia untuk melalui jarak yang lebih
panjang dengan waktu lebih pendek, sehingga sampai lebih cepat. Ada yang
langsung menerima, ada juga yang tidak mudah percaya. Nah, terjadilan debat dan
diskusi di antara siswa. Yang penting adalah bahwa pada akhirnya anak-anak
dapat memahami bagaimana proses berpikir seorang ahli fisika ketika berusaha
menjelaskan suatu fenomena.
(Diadaptasi dari Leonard, W. & Gerace, W. (1996)
(Diadaptasi dari Leonard, W. & Gerace, W. (1996)
Berdasarkan pembahasan
pada Kegiatan Belajar 1 dan 2, menurut Anda karakteristik pembelajaran
konstruktivistik apa saja yang Anda temukan pada contoh pembelajaran di atas?
Kasus pembelajaran di
atas merupakan contoh pembelajaran konstruktivisme yang cukup baik. Guru
nampaknya menggunakan pendekatan “pembelajaran melalui menemukan.” Siswa aktif
berpikir dan mendiskusikan pemikirannya untuk dapat memahami fenomena fisika
yang dihadapi. Kita akan mencermati strategi yang digunakan guru dalam proses
pembelajaran tersebut.
Dalam proses
pembelajaran tersebut guru melakukan kegiatan sebagai berikut.
(1) Guru memberi suatu kasus untuk dianalisis oleh
siswa secara bersama.
(2) Guru menugaskan siswa untuk mfngamati suatu
fenomena yang merupakan perwujudan konsep atau prinsip terter.tu.
(3) Guru mengundang dan mendorong siswa untuk
be-pendapat.
(4) Guru meminta siswa menjelaskan pendapatnya
melalui pertanyaan¬pertanyaan, tanpa memberikan penilaian bahwa suatu pendapat
`salah' atau `benar'.
(5) Guru memberikan bimbingan sampai siswa akhirnya
dapat membuat kesimpulan sendiri.
Dalam melaksanakan pembelajaran diskoveri guru
perlu memperhatikan beberapa saran sebagai berikut.
(1) Pastikan siswa telah mengenal dan memahami
beberapa konsep dasar yang diperlukan yang relevan dengan tugas yang diberikan
guru.
(2) Perlu menyusun struktur kegiatan sebagai acuan
siswa. Hat ini diperlukan misalnya untuk kegiatan lab ipa, kalau tidak ada
prosedur yang jelas percobaan yang dilakukan siswa dapat menjadi tidak bermakna
atau bahkan berbahaya.
(3) Bimbing siswa untuk menghubungkan hasil
pengamatan dan analisis mereka dengan berbagai konsep dan prinsip lain. Dengan
ini guru menggunakan `pembelajaran tematik' (thematic instruction) untuk
mendorong.siswa membuat kaitan hubungan dan berpikir makro.
2) Pembelajaran Konstruktivistik dalam Bidang IPS
Dalam
suatu pelajaran IPS guru menugaskan siswa untuk membentuk kelompok. Guru
kemudian memberi foto kopi peta provinsi Lampung kepada setiap kelompok.
Setelah beberapa saat memberi kesempatan setiap anggota mencermati peta
tersebut, guru bertanya "Coba, apa yang menarik dari nama-nama tempat di
peta itu?" Siswa bergantian menjawab bahwa banyak nama desa berbahasa Jawa,
di 'antaranya seperti 'Pringsewu', `Sukohardjo', dan 'Kalirejo'. 'Menurut
kalian mengapa terjadi demikian?'.
Guru berusaha untuk
membimbing arah berpikir siswa, mengaitkan kenyataan tersebut dengan aspek
sosial, ekonomi dan budaya, seperti 'transmigrasi', 'hubungan sosial antar
budaya' atau multikultural, dan sebagainya.
Dalam kesempatan berdiskusi dengan kelompok, siswa berusaha mengembangkan pemahaman tentang interaksi berbagai konsep IPS melalui nama desa.
Dalam kesempatan berdiskusi dengan kelompok, siswa berusaha mengembangkan pemahaman tentang interaksi berbagai konsep IPS melalui nama desa.
Menurut Anda dapatkah
pembelajaran di atas dikategorikan sebagai pembelajaran tematik, yaitu
pembelajaran yang dikembangkan dari suatu tema/topik? Apabila ya, kira-kira
tema apa yang sesuai dengan contoh pembelajaran di atas?
Perhatikan pula contoh
berikut ini!
Dalam suatu
pembelajaran matematika, guru bertanya kepada siswa. Saya perlu mengisi bensin
mobil saya, dan saya hanya mempunyai uang Rp100.000,00. Harga bensin sekarang
Rp4000,00 per liter. Dengan uang tersebut berapa liter bensin yang akan saya
peroteh?' Siswa sibuk menghitung dan sating mengecek hasil hitungan dengan
teman di dekatnya. `Mirna, jawabnya bagaimana?"
“Hampir 23 liter,
Pak," sahut Mirna. 'Tepatnya berapa?' "2,222 liter, Pak. "
"Bagus. Nah,
sekarang, menurut kalian harga bensin saat ini mahal atau murah?"
Melalui pertanyaan ini
Pak Guru membawa siswa berpikir tentang berbagai penyebab perubahan harga
bensin, kaitannya dengan ketersediaan sumber daya alam, dan sebagainya. Dalam
pembelajaran ini siswa mendapat kesempatan untuk berhitung, membahas prinsip
ekonomi (naik turunnya harga merupakan fungsi permintaan dengan persediaan
barang), dan . pentingnya pengelolaan sumber daya alam dengan baik.
Dalam pembelajaran ini siswa dilatih berpikir lintas disiplin (interdisipliner) dan multi disiplin. Kedalaman dan kompleksitas tujuan pembelajaran tentunya akan bervariasi sesuai dengan jenjang pendidikan.
Dalam pembelajaran ini siswa dilatih berpikir lintas disiplin (interdisipliner) dan multi disiplin. Kedalaman dan kompleksitas tujuan pembelajaran tentunya akan bervariasi sesuai dengan jenjang pendidikan.
3) Evaluasi dalam Pembelajaran Konstruktivisme
Secara fundamental terdapat
perbedaan antara tujuan dan cara mengevaluasi hasil belajar antara pendekatan
konstruktivis dengan pendekatan lain yang lebih tradisional. Pada pendekatan
tradisional, misalnya pendekatan behavioristik, focus perhatian evaluasi lebih
kepada hasil belajar berupa pengetahuan atau kemampuan yang dikuasai. Sedangkan
pada pendekatan konstruktivis yang menjadi fokus hasil belajar bukan hanya
hasil tetapi juga proses yang teijadi ketika siswa berusaha mengkonstruksi
pemahamannya. Den-an demikian perkembangan strategi berpikir siswa juga perlu
dievaluasi, apakah siswa telah dapat mengembangkan kemampuan berpikir tinggi (analisis,
pemecahan masalah), sebagaimana diharapkan oleh pendekatan konstruktivistik.
Tes pengetahuan yang
dilakukan sebaiknya juga lebih banyak menggunakan soal berbasis kasus,
portofolio, dsb. Di samping itu sebaiknya evaluasi siswa tidak terbatas kepada
pengetahuan saja, tetapi hasil belajar (kinerja) siswa secara utuh, dengan
merrlperhitungkan juga aspek lain seperti keterampilan sosial (yang diperlukan
dalam berkolaborasi dalam proses belajar), serta perkembangan afektif (sistem
nilai, sikap terhadap behijar, dan sebagainya).
2.8 Keunggulan dan Kelemahan Teori
Belajar Konstruktivisme
1)
Keunggulan
Teori Belajar Konstruktivistik
a)
Berfikir dalam proses membina pengetahuan baru, murid
berfikir untuk menyelesaikan masalah, menjana idea dan membuat keputusan.
b)
Paham, karena murid terlibat secara langsung dalam
mebina pengetahuan baru, mereka akan lebih faham dan boleh mengapliksikannya
dalam semua situasi.
c)
Ingat, karena murid terlibat secara langsung dengan
aktif, mereka akan ingat lebih lama semua konsep. Yakin Murid melalui
pendekatan ini membina sendiri kefahaman mereka. Justeru mereka lebih yakin
menghadapi dan menyelesaikan masalah dalam situasi baru.
d)
Kemahiran sosial diperoleh apabila berinteraksi dengan
rekan dan guru dalam membina pengetahuan baru.
e)
Menyenangkan, karena mereka terlibat secara terus,
mereka paham, ingat, yakin dan berinteraksi dengan sehat, maka mereka akan
merasa senang belajar dalam membina pengetahuan baru.
2)
Kelemahan
Teori Belajar Konstruktivistik
a)
Siswa
mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, tidak jarang bahwa hasil konstruksi
siswa tidak cocok dengan hasil konstruksi sesuai dengan kaidah ilmu pengetahuan
sehingga menyebabkan miskonsepsi;
b)
Konstruktivisme
menanamkan agar siswa membangun pengetahuannya sendiri, hal ini pasti
membutuhkan waktu yang lama dan setiap siswa memerlukan penanganan yang
berbeda-beda;
c)
Situasi
dan kondisi tiap sekolah tidak sama, karena tidak semua sekolah memiliki sarana
prasarana yang dapat membantu keaktifan dan kreatifitas siswa;
d)
Meskipun
guru hanya menjadi pemotivasi dan memediasi jalannya proses belajar, tetapi
guru disamping memiliki kompetensi dibidang itu harus memiliki perilaku yang
elegan dan arif sebagai spirit bagi anak sehingga dibutuhkan pengajaran yang
sesungguhnya mengapresiasi nilai-nilai kemanusiaan;
e)
Dalam
proses belajarnya dimana peran guru sebagai pendidik itu sepertinya kurang
begitu mendukung; siswa berbeda persepsi satu dengan yang lainnya;