PENDAHULUAN
Keberadaan seni tari keagamaan pada umumnya selalu
dikaitkan dengan upacara keagamaan karena tarian ini hanya difungsikan untuk
itu. Para pendukung tari keagamaan pada umumnya tidak berani mengubah dan
meninggalkan tarian keagamaan itu begitu saja. Pementasan tari keagamaan
dipergunakan sebagai media persembahan dan pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Pementasan tari sakral keagamaan tidak boleh
dibawakan oleh sembarang orang, melainkan dipilih dengan ketentuan sebagai
berikut:
a) Hendaklah
para penarinya masih gadis.
b) Jika
mereka telah berkeluarga atau berumahtangga, hendaklah mereka telah mencapai
menopause. Artinya, tidak mengalami datang bulan (haid) lagi.
c) Para
penarinya membawa sarana upacara, seperti Canang Sari, Pasepan, Sampian,
Salaran, dan lain sebagainya.
d) Gerak
pada tari sakral sangat sederhana, mengikuti gerak alam, seperti
tumbuh-tumbuhan, binatang, peredaran matahari, dan lain sebagainya.
e) Ada
suasana mistik, magis, dan religius. Misalnya, pada Tari Sanghyang. Penarinya
terjun kedalam api unggun, namun ia tidak terbakar.
f) Tari
sakral biasanya diperagakan secara kolektif. Tarian sakral dapat menggugah
emosional keagamaan.
Secara mitologi dikisahkan bahwa
Dewa Sivanataraja dalam menggerakkan alam semesta ini, beliau dikatakan menari.
Lukisan tentang gerak seni tari
tertata pada monumen atau candi-candi yang ada di Indonesia, seperti di candi
Prambanan, Borobudur, Kalasan, Sewu, Plawosan, candi Sari, dan candi Sukuh.
Para penari dilukiskan sebagai makhluk kahyangan yang disebut Gendarwa dan Apsari.
Tarian keagamaan yang melukiskannya adalah tari Rejang, tari Pendet, dan tari
Topeng Sidhakarya.
Mengenai seni tari dalam
perkembangannya dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan, yaitu tari Wali,
tari Bebali, dan tari Balih-balihan.